webnovel

Sembilan

Ada yang pernah berkata, nasib buruk yang kau dapatkan sekarang, biasanya sebagai penebus dosa di masa lalu.

Kalau memang begitu, apa artinya semua orang yang menjadi korban hari ini berarti memiliki kesalahan seperti itu?

"Hei! Sadarlah!" Seseorang terdengar berteriak sambil menampar pipinya berkali-kali, wajahnya bahkan nampak memerah karena hal itu, apa boleh buat sulit menyadarkan orang yang baru saja mengalami tragedi seperti ini.

Dia adalah Mave, pemuda itu jatuh terduduk di depan mayat sang ibu. Hanya berselang beberapa menit yang lalu, hal yang menakutkan pun terjadi. Ibunya mati di tebas tepat di muka umum, tepat di hadapannya.

Bukan hanya dia, bahkan orang-orang lainnya juga ikut menjadi korban. Ada Wisley yang tangannya berlumuran darah, ia membuka baju lusuhnya untuk menutup leher sang ibu yang terus mengeluarkan darah. Sementara kepalanya sudah terpisah tentu saja. Tangisannya bahkan membuat tubuhnya bergetar hebat.

Semuanya seperti mimpi buruk yang sayangnya kenyataan. Tepat ketika orang-orang di atas sana menjadi korban. Muncul segerombolan orang dengan tindakan anarkis menyerbu para penjaga. Sebagian dari mereka juga turut serta membebaskan orang yang terkurung.

Hingga akhirnya kedua belah pihak saling menyerang. Tak peduli berapa banyak korban jiwa nantinya.

Mereka tidak lain adalah penyintas, sekumpulan pria dewasa yang kerap menjarah uang pejabat korup. Walau begitu, mereka dikenal baik oleh warga distrik. Mereka kerap kali membagikan makanan, dan pakaian layak pakai.

Walau terkesan ganas dan sulit berbaur.

Sekarang semuanya dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Bocah sadarlah! Lihat adikmu di sana!" Bentakan itu akhirnya sayup-sayup masuk ke panca inderanya yang sebelumnya tak bereaksi. Pupil matanya bergetar hebat, berusaha mencerna ucapan barusan.

Mave dan teman-temannya yang berdekatan menunduk sedih menatap mayat keluarga masing-masing, mereka sama terpukulnya.

Mendengar kata adik, Mave lantas menoleh pelan ketika melihat adiknya masih meringkuk di dalam kurungannya. Gadis itu tak berani keluar dari sana. Ia terlihat menutup telinganya, tak ingin mendengar suara jeritan atau tebasan pedang. Hanya ia satu-satunya orang yang tersisa di dalam kurungan. Mengingat sebagian besar orang lain sudah berpencar entah ke mana, mungkin kakinya tak lagi bisa menapak saking syoknya.

"Kalian pergilah dari sini, kalian tahu kuburan tak terawat bukan? Pergi ke sana dan tembus ilalangnya." Pria yang tak diketahui identitasnya kemudian pergi, dan ikut bertarung kembali. Setelah mengatakan hal itu. Hanya suara itu yang dapat mereka dengar juga netra tajam dan pekat, hanya itu saja, karena penyintas menggunakan penutup wajah berwarna gelap demi menyembunyikan identitasnya dirinya.

Mave menyadarkan dirinya dan langsung menuju ke tempat adiknya berada, sekarang bukan saatnya bagi dia untuk bersedih, ucapan terakhir ayah dan ibunya tergiang di kepalanya, ia masih punya seseorang yang harus dilindungi, sekarang bukan saatnya untuk berduka. Ia meninggalkan mayat ibunya sambil mengucapkan maaf karena tak bisa berbuat apa-apa.

Karena jaraknya yang tak jauh, sekarang ia sudah berada di dalam kurungan. Dapat ia lihat dengan jelas tubuh adiknya gemetar hebat, ia mendekat dan mengatakan bahwa adiknya tidak perlu takut, karena ada dirinya. Sang adik tak bereaksi apa pun, setelahnya ia menggendong adiknya di punggung dengan cepat. Situasi makin memanas di bawah sana. Sementara Wisley masih berada di atas sana.

Sambil menggendong adiknya, ia menendang Temannya agar cepat sadar. Namun sayangnya mereka hanya menatap kosong ke bawah.

"Cepatlah, keluarga kalian tak akan senang jika kalian ikut mati!" Mave berteriak setengah frustrasi.