webnovel

Part 4

BBBRRRAAAAKKKKKKK

Seketika para penghuni kelas itu menoleh kearah pintu yang sudah terbuka lebar akibat tendangan Yara barusan. Bersyukur lah pada saat itu waktunya istirahat, sehingga hanya tersisa beberapa anak yang berada di kelas.

Bukan tanpa sebab Yara menendang pintu kelasnya tersebut, ia melakukan itu semata-mata untuk melampiaskan emosinya. Ingin sekali ia menendang wajah tampan yang sudah membuatnya sakit hati, namun ia masih memiliki hati untuk tidak melakukan hal tersebut. Maka jadilah pintu kelasnya yang menjadi sasaran amukan Yara, awalnya ia ingin menendang pintu itu hingga mengenai Vano yang kebetulan melintas di depan kelasnya. Tetapi sayang, tujuannya itu tidak tersampaikan karena pintu yang ditendangnya hanya mengenai Anton yang merupakan salah satu teman dekatnya Vano.

Anton mengaduh kesakitan, tetapi Vano nampak tak peduli dan berlalu begitu saja meninggalkan Anton di depan kelas Yara. Melihat itu, Yara semakin emosi. Kedua tangan Yara sudah terkepal erat di samping badannya dan nafasnya pun sudah memburu seakan-seakan ingin mencekik leher Vano hingga cowo itu mati.

"Sabar sistaah, istighfar woy. Lo itu udah berhijab, masa kelakuan lo masih kaya gitu." Tegur Aul karena Yara yang masih belum bisa mengontrol emosinya.

"Demi apa pun gue benci banget sama manusia yang namanya VANO!! Gue benci dia, gue bener-bener benci sama dia. Dasar cowo nyebelin, cowo sialan!!!"

BBBRRAAAAKKKKK

Maki Yara di depan pintu kelasnya sambil menggebrak pintu tersebut untuk meluapkan emosinya.

"Duhduhduh kasian banget nih pintu, nggak salah apa-apa tapi udah kena tendang sama gebrakan dari lo Yar." Aul mengelus permukaan pintu tersebut karena merasa kasihan kepada pintu itu yang menjadi sasaran luapan emosi Yara.

Melihat itu, Yara semakin naik pitam. Masa iya Aul lebih peduli sama pintu yang dia tendang+gebrak tadi ketimbang dirinya selaku sahabatnya.

"Lo tuh gimana sih Ul, disini temen lo lagi kesel gara-gara tuh cowo sialan yang berani-beraninya lewat depan kelas gue dengan muka nggak berdosanya itu setelah dia nyakitin gue." Teriak Yara penuh emosi di depan wajah Aul.

"Omongan tuh di jaga mbak, nggak malu lo sama tuh kerudung. Percuma aja lo pake kerudung tapi omongan sama kelakuan lo masih kaya gitu. Lagian suka-suka si Vano lah mau lewat sini atau enggak, ini koridor umum, milik sekolah, lo nggak punya hak buat ngelarang siapapun lewat depan sini. Dia jalannya juga biasa aja, nggak ngehalangin jalan lo juga, kenapa jadi lo yang repot." Balas Aul sinis kepada Yara agar ia sadar akan perbuatan tak pantasnya barusan.

"Udah eh udah...nggak enak kalo sampe anak kelas lain tau, nanti lo berdua jadi bahan omongan." Sesil berusaha menjadi penengah diantara Yara dan Aul.

"Bodo amat!" Jawab Yara ketus dan berlalu meninggalkan Sesil serta Aul.

"Tuh anak bener-bener harus di ruqyah deh kayanya. Biar dia sadar kalo dia udah mulai jauh dari agamanya."

"Sabar Auull, mending kita susulin si Yara. Gue takut tuh anak ngelakuin hal macem-macem." Usul Sesil yang kemudian di setujukan oleh Aul.

Begitulah Yara, dia memang temperamen orangnya dan sangat sulit untuk mengendalikan emosi nya. Apapun bisa menjadi sasaran amukannya, bukan hanya pintu kelas, bahkan Yara pernah menggebrak lemari pakaian di ruang paskib hingga beberapa piala yang berada di atasnya ikut bergerak dan hampir terjatuh akibat gebrakannya itu.

Yara memang sudah berkerudung sejak ia duduk di bangku SMP, namun ia hanya mengenakannya saja. Terkadang ia masih suka menampakkan beberapa auratnya seperti menggulung lengan bajunya hingga 3/4 lengannya, menggulung bagian pinggang rok nya dan mengenakan kaus kaki di bawah mata kaki hingga terlihat beberapa senti tungkai kakinya. Terkadang pula beberapa helai rambutnya terlihat menyembul dari dalam kerudungnya itu, dan ia seringkali mengenakan kerudung segiempat berbahan tipis serta menyampirkan kedua sudut bagian kerudungnya ke bahu persis seperti pemudi jaman sekarang. Yara tidak perduli dengan cara berpakaiannya itu, yang terpenting baginya adalah ia telah melakukan salah satu perintah Allah untuk menutup aurat, meskipun beberapa auratnya masih sering terlihat.

***

"Semuanya jadi 18.000" Ujar ibu koperasi setelah mentotal semua jajanan Yara.

"Tumben belinya sebanyak ini, lagi ngeborong atau gimana deh?" Ibu koperasi bertanya kepada Yara yang tumben-tumbenan membeli choki-choki 10 dan 4 ice cream strawberry favorit nya.

"Lagi stres nih saya bu, lagi emosi. Bawannya mau nonjok orang aja." Ucap Yara berapi-api karena masih merasa kesal akibat Vano dan Aul tadi.

"Ya ampun kids jaman now yaa, kerjaannya kalo nggak stres ya galau-galau nggak jelas gitu. Beda banget sama jamannya ibu dulu, jaman ibu dulu tuh yaa, waktu seumuran kalian itu ibu lagi asik-asik nikmatin masa SMA ibu sama temen-temen. Main bareng, ke sawah bareng, nyari belalang bareng di kebun orang. Pokoknya dulu tuh nggak ada tuh yang namanya galau-galau trus stres nggak jelas kaya kamu ini."

"Ya beda lah bu, jaman ibu remaja aja saya belom lahir. Lagian saya stres karna pelajaran bu, bukan karena stres gajelas kaya yang ibu maksud gitu." Ketus Yara.

Enggan menanggapi omongan lanjut dari ibu penjaga koperasi itu, Yara bergegas menuju ke koridor lantai bawah sekolahnya. Namun saat ia hendak balik badan, tak sengaja tubuhnya bertabrakan dengan tubuh tegap seseorang dengan cukup keras hingga membuat hidungnya kesakitan.

"Elah lo kalo jalan tuh liat-liat napa!" Bentak Yara kesal kepada orang itu sambil mengelus hidungnya yang terasa sakit.

"Lo nya aja yang bego, makanya kalo mau balik badan tuh liat-liat dulu di belakang lo ada orang apa enggak?!" Balas orang itu tak mau kalah.

Merasa tak asing dengan suara itu, Yara memutuskan untuk melihat wajah orang yang bertabrakan dengannya barusan.

Namun ia menyesali keputusannya barusan, melihat wajah itu membuat emosinya naik kembali. Orang yang sedang ia hindari sekarang berada tepat di hadapannya, orang yang ingin sekali dibunuhnya kini berada tepat di hadapannya. Rasanya ingin sekali ia menampar wajah tampan itu hingga meninggalkan bercak lima jari di sana, namun ia urung melakukan itu.

Mereka saling tatap, Yara menatap wajah tampan itu dengan penuh amarah dan kebencian, sedangkan yang di tatap hanya membalas dengan tatapan malas. Hal itu semakin membuat Yara emosi, tangannya benar-benar sudah gatal ingin menampar wajah itu.

Belum sempat Yara menampar wajah tampan tersebut, tiba-tiba saja Yara merasakan tubuhnya ditarik menjauh dari hadapan orang yang sudah menabraknya menuju ke koridor lantai dasar oleh Aul dan Sesil yang datang tepat sebelum Yara benar-benar membuat keributan di sana. Yara hanya patuh saat tubuhnya di tarik paksa menjauhi wajah tampan itu, dan begitu mereka sampai di koridor lantai satu, mereka duduk di salah satu kursi panjang yang tepat menghadap ke arah lapangan dan pos guru piket.

"Aaarrrrgggggghhhhhhh sial banget sih gue hari ini.." Keluh Yara sambil membuka 2 bungkus ice cream favorite nya, sedangkan yang 2 nya lagi ia letakkan di pangkuannya bersamaan dengan ke 10 choki-choki miliknya yang dibeli tadi.

"Ya gimana nggak sial, tadi pagi pas waktunya tadarusan lo malah tidur di kelas. Itu tandanya Allah negur lo biar lo inget sama dia." Kembali Aul menceramahi Yara agar gadis itu sadar dengan segala perbuatannya hari ini.

"Lo tuh bacot banget ya Ul dari tadi, sebel aja gue dengernya." Yara memakan ice cream dengan rakus tanda ia masih dalam keadaan emosi.

"Udah napa, dari tadi kalian berdua itu adu sinis terus. Nggak capek apa kalian kaya gini terus hah?" Lelah Sesil melihat kedua sahabatnya yang sedari tadi saling berargumen dan tidak satu pun dari mereka berdua yang terlihat ingin mengalah.

"NGGAK!" Jawab keduanya serempak sambil melipat kedua lengannya di depan dada dan membuang wajah mereka ke arah yang berlainan. Yara yang memang sedang memegang ice cream di kedua tangannya merasa kesusahan dengan posisinya saat ini.

"Hadeeehhh bodo amat dah sama lo berdua, sekalian aja tuh kalian saling tonjok di lapangan, mumpung lagi kosong tuh lapangannya."

Hampir 10 menit mereka saling diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Aul sadar tak seharusnya ia seperti ini ke Yara, biar bagaimanapun caranya untuk membimbing Yara kembali kejalan Allah itu salah. Rasul mengajarkan kita untuk mendakwah secara baik-baik tanpa paksaan dan kekerasan sedikitpun, dan apa yang telah ia lakukan hari ini itu salah terhadap Yara. Tak seharusnya emosinya ikut tersulut karena Yara, dan ia merasa bersalah akan hal itu. Dan begitupun dengan Yara, ia sadar. Tak seharusnya ia berkata seperti itu kepada sahabatnya, karena biar bagaimanapun sahabat adalah orang terdekat kita selain keluarga. Dan lebih baik kehilangan pacar dari pada harus merasakan kehilangan seorang sahabat.

"Gue minta maaf." Ucap Yara dan Aul berbarengan setelah terdiam cukup lama.

Melihat hal itu, mereka saling tatap dan tertawa karena apa yang ingin mereka ucapkan di ucapkan secara bersamaan. Itu artinya mereka masih memiliki perasaan yang sama terhadap sahabatnya. Sesil yang menyaksikan kejadian itu ikut tertawa, akhirnya perang dingin yang terjadi sudah berakhir juga pikir Sesil dalam hatinya.

Begitulah mereka bertiga, bagi mereka, pertengkaran bukanlah akhir dari segalanya. Melainkan dimulainya babak baru perjalanan persahabatan mereka, dan menjadi acuan agar mereka semakin dekat satu sama lain.