webnovel

CHAPTER 11 - Ulang Tahun Cio

"Cio?" panggilku setibanya langkahku mendekati wujudnya yang bertapa di dinding koridor.

Tatapannya seketika beralih ke arahku dan tersenyum. "Eireen, kau sudah selesai ternyata."

"S—sedang apa kau di sini?" tanyaku bingung dicampur gugup. "Bukankah kau seharusnya bersama Hawisa dan Enja di kantin?"

"Aku menyuruh mereka menunggu, menempati tempat yang bagus," jawabnya. "Lalu aku—"

Kalimatnya terhenti seketika.

"Aku ingin lebih dekat denganmu. Jadi, aku memutuskan untuk menunggumu sampai kau selesai latihan," lanjutnya. "Aku memperkirakan saja waktunya yang tepat."

Seketika jantungku terasa terhenti. Kali ini diriku dipenuhi bunga bermekaran. Aku tidak peduli jika wajahku kini memerah seperti tomat. Keinginan untuk teriak sangat kuat.

"Tidak!!" batinku bergejolak riang.

"Aku tahu ini konyol—"

"Oh, tentu tidak! Tenang! Makasih banyak, lho sudah menungguku," sela ku di tengah kalimatnya.

Kedua matanya membulat dengan pupil matanya yang bermekaran. Wajahnya tampak malu. Kemudian tersenyum ramah.

"Omong-omong kau terlihat cantik meski hidungmu sedang memar sekalipun," pujinya tiba-tiba.

Seketika wajahku memerah padam, bersiap-siap akan meledak.

"M—makasih ehe—" ucapku gugup total.

"Mau langsung jalan?" tanyaku demi mengalihkan rasa berbunga pada hatiku.

"Mari," jawabnya.

Kemudian kami berdua pun melangkah menyusuri lorong gedung lantai dasar menuju lantai dua untuk ke kantin. Tidak ada percakapan di antara kami. Hanya suara langkah kaki, nafas, dan bunyi alarm elevator setibanya di sana.

Abercio benar-benar memperlakukanku seperti wanita sungguhan, yakni mempersilahkan diriku untuk berjalan terlebih dahulu ketika di pintu elevator.

"Omong-omong latihan apa tadi?" tanyanya tiba-tiba di tengah kecanggungan di dalam elevator.

Seketika otakku kosong.

"Apa ya, sebentar," Aku mencoba memikirkan apa yang terjadi hari ini.

"Oh, iya. Hari ini aku latihan fisik di level Checkpoint Pertama," lanjutku. "Hari ini aku ditantang untuk berlari mengejar bendera hijau dengan melewati tumpukan-tumpukan buku dan getaran yang menyebabkan amblas yang bergerak semakin dekat."

"Wah, itu sangat menguji nyali, ya," ucap Abercio mendengar dan memahami penjelasanku.

"Ya begitulah. Sangat menguji nyali jujur. Syukurlah aku bisa melewati ini semua," kataku.

"Itu keren!" pujinya. "Aku juga tidak suka level itu. Benar-benar mimpi buruk deh. Seram."

Aku terkekeh. "Iya. Omong-omong makasih. Aku masih harus belajar lagi."

"Tidak apa-apa, pertahankan dan tingkatkan!" ucapnya sambil tersenyum tipis.

"Baiklah," ucapku.

Selang dua menit, kami tiba di lantai dua. Setibanya di sana kami disambut oleh harum pasta dan roti, padahal hari sudah sore bukan pagi. Cahaya ruangan yang meredup karena pembiasan cahaya mentari sore dari luar yang tak kalah terangnya.

Tampak wujud Hawisa dan Enja sedang berduduk santai di sebuah kursi dan meja di sisi dekat jendela. Dari jauh sepertinya mereka sedang bercengkrama satu sama lain sambil menunggu kami. Mereka tidak menyadari kehadiran kami di sini.

Aku pun berinisiatif untuk membuat kejutan pada mereka.

"Sssttt," Aku melancarkan sinyal untuk diam ke arah Abercio.

Dirinya pun mengangguk sambil melancarkan jari 'OK'.

Setelah itu, aku mulai melancarkan aksi yang tak kurencanakan awalnya. Langkahku mulai mengendap-endap perlahan. Buku kudukku bergidik seketika melihat aksi Hawisa yang menoleh ke sana kemari. Alhasil aku berusaha menghindar agar tidak ketahuan mereka.

Di waktu yang sesuai. Aku langsung berkata,

"DOR!"

Wajah mereka langsung menatap ke arahku dengan raut wajah terkejut. Lalu Enja dengan suara nyaring berkata, "EIREEN!!"

"Hai, aku kembali!" ucapku.

"Kau membuat kami terkejut!" seru Hawisa sambil menyentuh dadanya.

"Maaf," ucapku terkekeh sambil menggaruk rambutku yang tidak gatal itu.

"Ayo kita pesan makanannya!" seru Enja.

"Aku ikut!" lanjut Hawisa.

Mereka berdua pun beranjak dari kursinya.

Tatapan mereka beralih ke arah Abercio yang baru tiba.

"Kau mau pesan apa, Cio?" tanya Enja kepada Abercio.

Abercio menarik kursi di samping Enja dan mendudukinya. "Apa saja. Yang penting enak!"

"Huh lagi-lagi! Seleramu sungguh membingungkan!" Enja menggerutu kemudian menghela napas.

"Baiklah, aku spaghetti saja," ucap Abercio tenang.

"Nah, gitu dong ada pilihan!" seru Enja.

"Bukannya kantin menerapkan makanan yang sama dalam sehari, ya?" tanyaku bingung.

"Itu berlaku di pagi hari. Di sore hari tidak berlaku karena demi menghabiskan stok lauk yang tersedia," jawab Enja.

"Oh, baru tahu," ucapku mengangguk pelan.

"Wajar, kau baru bangun dari tidur lamamu," ucap Enja sambil melirik ke arahku sekilas dan tersenyum miring.

Pandangannya beralih ke Abercio. "Minum?"

"Air mineral sparkling," jawab Abercio.

"Sip. Pesanan akan hadir dalam 20 menit, Tuan Abercio Griffin!" kata Enja dengan nada angkuh sambil berbalik badan.

"Ayo, para gadisku!" lanjutnya mengajak kami berdua dengan setengah merangkul kami.

Aku dan Hawisa pun ikut berbalik badan dan melangkah menuju stan kantin yang sepi sekali.

"Kau pesan apa?" tanya Enja kepada kami.

"Ada makaroni keju gak?" tanyaku asal.

"Ada. Itu menu hari ini, lho," ucap Hawisa.

"Huh, serius?" Kedua mataku membulat. "Padahal aku hanya bilang asal."

"Syukur deh kalau begitu ada," batinku menyeringai.

Aku sangat mengidamkan makanan kaya rasa itu dua hari ini pasca diriku operasi micro-chip. Jangan tanya diriku mengapa bisa terjadi.

"Yaudah deh, aku itu satu porsi dan air mineral sparkling," ucapku.

"Noted!" seru Enja. "Kalau kau, Hawisa?"

"Um apa ya, sama aja deh dengan Eireen. Tapi minumnya es teh," jawab Hawisa.

"Sip! Aku spaghetti deh lagi favorit banget sekarang. Lalu minumnya es teh boleh juga tuh," kata Enja dengan kedua mata berbinar membayangkan sepiring spaghetti yang lezat dan segelas es teh yang segar.

Setelah berdiskusi memilih menu makanan, kami mengambil nampan kayu satu persatu yang tertumpuk rapi di bagiannya. Seketika koki pria dari balik meja muncul dan siap melayani kami dengan senyuman ramahnya.

"Halo selamat sore, mau pesan apa?" tanya pria paruh baya itu dengan senyuman ramahnya.

"Dua porsi spaghetti bolognaise dan dua porsi cheese cream macaroni ...," jawab Enja sambil menunjukkan jari-jemarinya berjumlah angka dua.

"Baik," ucap pria itu sembari mengambil piring satu persatu dan memasukkan pesanan spaghetti bolognaise dan cheese cream macaroni ke dalam piring putih masing-masing. Karena sudah terbiasa bekerja seperti ini sehingga gerakkan cepat dan lihai.

Kami bertiga pun mengambil satu persatu piring yang sudah terisi pesanan kami ke nampan kayu yang kami bawa.

"Minumannya?" tanyanya lagi.

"Minumannya... Dua air mineral sparkling water dan Dua es teh manis," jawab Enja.

Entah mengapa setiap kali aku mendengar suara Enja ketika menjelaskan sesuatu, terdengar enak sekali.

"Kayaknya jago nih berbicara di depan umum," batinku sambil melirik Enja yang tanpa ada gugup dan lancar dalam berkomunikasi.

Kembali lagi.

Pria itu bergegas mengambil Dua botol kaca air mineral sparkling. Kemudian dua gelas es teh manis.

Kami bertiga mengambil minuman-minuman tersebut dari genggaman tangan pria itu.

"Baik. Sudah lengkap, ya," ucap pria itu.

"Baik. Terima kasih, Pak," ucap Enja yang disusul ucapan Terima kasih dari aku dan Hawisa.

Lalu dengan sekuat tenaga kami membawa nampan kayu berisi pesanan kami berempat ke meja yang sedari tadi ditempati Abercio. Tampak diri Abercio yang sedang bermalas-malasan dengan wajah ditumpu di antara kedua bahunya.

Ketiga nampan ini diletakkan di meja sebelah. Lalu untuk makanan dan minumannya dipindahkan ke meja utama.

Seketika Abercio terbangun dari posisi malasnya dan menatap pesanannya dengan raut wajah lapar.

Kami bertiga pun terduduk di kursi masing-masing. Kini diriku berhadapan dengan Abercio. Jujur setengah gugup menerpa jiwaku hingga timbul sensasi bergerigi.

Kami berempat bersiap-siap makan. Namun sebelum itu, kami mengatakan, "Selamat makan!" secara serentak.

Setelah itu, kami langsung melahap makanan kami.

Tidak adanya percakapan di antara kami.

Hanya suara mengecap dari aksi ngunyah makanan dan suara gelas minuman. Kini kami diselimuti lapar.

Setelah aksi makan-memakan tiap pesanan kami selesai hingga tak tersisa, kami sempat terdiam sesaat.

"Musim gugur kapan, ya?" tanya Enja tiba-tiba.

"Sekitar tanggal 1 September hingga tanggal 30 November," jawab Hawisa.

"Yah sedangkan sekarang masih awal Agustus," ucap Enja.

"Lah, iya udah Agustus?" tanyaku terkejut.

Seketika diriku kembali teringat kejadian yang menimpaku. "Oh, iya ya. Kan, aku tertidur satu bulan."

"Aku kira itu hanya berlaku di dongeng saja. Ternyata di kehidupan nyata ada juga ya begitu," kata Enja.

"Kau unik sekali," ucap Hawisa.

Aku menghela napas panjang. Lalu berkata, "Jujur, aku malah ingin seperti kalian. Bisa mengikuti materi sesuai jadwal.

"Mengikuti materi susulan seperti saat ini membuat waktu bebasku tersita karena harus mengejar ini semua sebelum Desember."

"Ya, aku mengerti perasaanmu," ucap Enja. "Tapi kau sendiri saja yang ambil susulan materi?"

"Tidak. Ada sepasang kembar bernama Andrei dan Andrea," jawabku.

"Oh, dia tidak lolos tahap awal, lho. Kok bisa ambil materi susulan, ya?" tanya Enja bingung.

"Kurasa bisa ngulang, deh, Enja," ucap Hawisa. "Tapi tidak berlaku untuk Pelatih Jane yang super perfeksionis."

"Siapa pelatihmu, Eireen?" tanya Abercio sambil menyimak percakapan. "Aku lupa nama pelatihmu."

"Pelatih Theo," jawabku. "Awalnya aku direkomendasikan Pelatih Jane oleh Ivona. Tapi karena dari awal hatiku menolak jadinya aku memilih Pelatih Theo agar lebih aman."

"Bukannya Pelatih Theo dingin banget, ya?" tanya Enja membulatkan kedua matanya.

"Tahu tidak, sih, Pelatih Theo pernah mendiamkan seorang anak saat dia terluka. Waktu itu jari jempol di tangannya patah karena terjepit pintu di suatu level," lanjutnya.

"Aku pernah mendengar kabar itu," sahut Hawisa.

"Ih, aku bukan dengar lagi. Aku menyaksikannya langsung malah!" tegas Enja meyakinkan.

"Uhm, sejauh ini Pelatih Theo baik, sih. Aku memang belum mengenalnya lebih jauh, ya. Tapi dia pria yang baik dan ramah pula meski rada kaku, ya," jelasku.

"Benar-benar sulit dipercaya!" ucap Enja.

"Mungkin kita belum mengenal jauh karakter Pelatih Theo seperti apa sehingga kita hanya bisa menerka-nerka dan men-cap dirinya dingin," jelasku.

"Iya juga, sih," sahut Enja. "Bagaimana reaksinya ketika hidungmu memar?"

"Dia hanya mengatakan kalau aku sudah terjebak dalam alur level di level tersebut tapi berhasil menyelesaikannya. Lalu dia mengatakan bahwa aku tidak boleh bersenang-senang karena selanjutnya akan lebih sulit," jelasku.

"Oh, begitu," sahut Enja memahami tiap penjelasanku.

Ia menghela napas.

"Pelatih-pelatih di sini sungguh memiliki karakter yang sulit kucerna oleh otakku yang lembek ini," lanjutnya.

"Aku yakin nanti kau akan bertemu pelatih yang lebih baik," ucap Hawisa.

"Ah, semoga saja," sahut Enja.

"Karena kita kan termasuk pemain yang sangat awal sehingga kita perlu bereksplorasi dan mengenal orang-orang di sekitar," jelas Abercio.

"Tumben bijak," ucap Enja sambil menoleh heran ke arah Abercio.

Kemudian mereka berdua terkekeh kecil disertai senyuman lebar.

"Aku memang bijak tahu, cuman aku lebih senang menyimak," ucap Abercio.

"Minggu depan ujian strategi, lho!" seru Enja mengingatkan.

"Wah, tentang apa, tuh?" tanyaku penasaran.

"Bermain puzzle—cara memecahkan suatu masalah melalui puzzle," jawab Enja.

"Aku baru belajar sedikit untuk taktik-taktiknya. Akan tetapi, untuk latihan yang lebih dalam nya belum," kata Hawisa.

"Aku juga belum malah. Terlalu malas," ucap Abercio. "Iyalah, kan hari ini aku mau merayakan hari ulang tahunku bersama kalian."

"Eits, iya benar," ucap Enja.

"Aku kira kalian akan melupakanku," ucapku dengan raut wajah agak menunduk dan murung.

Hawisa yang berada di sebelahku menyentuh bahuku. "Eireen, buat apa kami mengundangmu jikalau kami melupakanmu?"

Aku menoleh ke arahnya dan terdiam.

"Hawisa.... "

"Iya itu benar. Lagian kalau kami lupakan kau, kami tidak akan mengundangmu hadir di sini. Mungkin sekarang kau sudah kembali ke kamarmu," jelas Enja sambil tersenyum tipis dengan tatapan mengarah padaku.

"Hanya karena kau tertidur satu bulan bukan berarti menjadi hal penguat kami melupakanmu," lanjut Hawisa.

Kemudian tatapan Abercio yang berwarna kebiruan itu menatap ke arahku dengan lembut.

Jantung ini mulai berdegup kencang. Namun masih bisa dikendalikan.

"Makasih kawan. Sejak bersama kalian lah aku mulai menemukan kenyamanan yang berarti," ucapku.

"Berjanji menjadi pemenang?" seru Enja sambil mengulurkan punggung tangan kanannya ke area tengah kami. Tatapan matanya yang memancarkan yakin dan ambisi mengarah kepada diriku, Hawisa, dan Abercio secara bergantian.

"Janji!" seru Hawisa ikut mengulurkan punggung tangan kanannya.

"Janji gak bohong!" seru Abercio ikut mengeluarkan punggung tangannya menimpa tangan Hawisa.

Kini giliranku menyatakannya.

Aku mengangguk yakin. "Janji!"

Kubalas uluran tangan mereka.

"Ayo kita bilang 'Pemenang permainan takdir ke-519 !' tapi berbisik saja, ya," ucap Enja.

"Baiklah!" sahutku.

"Satu dua tiga. "

"Pemenang permainan takdir ke-519 !" seru kami berempat serentak secara berbisik.

Setelah itu kami diselimuti gelak tawa mengingat perjanjian yang baru saja terikat itu.

Halo, terima kasih ya sudah membaca cerita aku. Kalian sangat memotivasi aku untuk terus menulis lebih baik ^_^

Jangan lupa tambahkan ke library jika kalian suka yaa!

Have a nice day y'all!

angelia_ritacreators' thoughts