"Kali ini aku melepasmu, Alva. Jangan ulangi." Diego berkata dingin, Alva yang masih mendaratkan matanya pada Irene menoleh, hanya untuk mendapatkan tatapan tajam Diego.
"Kurangha-"
"Hukumanku sangat pedih. Sekali lagi kau mengambilnya, kau akan tamat." potong Diego rendah, mengancam. Alva bergidik.
"Aku memperingatkanmu, Alvaro Samuel."
***
The Next Day...
ALVAROS Private Airport, Berlin - German. | 6:45 AM.
Irene masih terlelap ketika dia merasakan tubuhnya melayang lagi. Kali ini Irene membuka mata dan menemukan wajah Diego Alvaro di dekatnya. Lelaki itu menggendongnya, gaya bridal.
"Sudah bangun?" tanya Diego rendah.
Irene melotot. "Astaga, Diego! Turunkan aku!" Diego mengangkat satu alisnya. Tapi dia menurut, menurunkan Irene di sofa.
Irene mengedarkan pandangan, menemukan ranjang tidak jauh dari mereka. Ah, wait a minute... Ini seperti bukan kamarnya dengan Diego, tidak mungkin jendela kecil yang suka ia lihat hanya berada didalam pesawat juga berada didalam kamarnya. Oh God! Jadi itu artinya... mereka di dalam pesawat?!
"Diego! Kita berada di pesawat?!" tanya Irene panik--langsung sadar dari tidur lamanya. Rupanya mereka berada di kamar utama pesawat. Tapi landasan pacu yang terlihat dari jendela menunjukkan mereka sudah mendarat. Diluar juga sudah terang.
Bukannya menjawab, Diego malah tersenyum. Menyeringai. Lalu mengulurkan tangannya--hendak membuka pakaian Irene. Tersenyum nakal. "Yeah, kita memang disini. Di pesawatku, hanya kita. Tadi malam juga kau mengigau namaku, aku benar-benar terkejut." ucap Diego serak.
Irene mendongak--menatap Diego tak percaya, ikut terkejut--wajahnya terlihat konyol. "Tunggu... Apa?!"
Diego berjongkok, "Kau bermimpi tentangku?" tanya Diego lagi, kali ini sembari mengecup sudut bibir Irene. Irene mengerutkan hidungnya--merasa kesal. "Tentu saja tidak!" sangkal Irene, membuang wajah--menyembunyikan rona merah dipipinya.
Diego terkekeh, dia sudah selesai melepaskan baju Irene--wanita itu ternyata membiarkannya. Hanya tersisa bra dan jelana jeans ditubuh Irene.
Irene terdiam--mendadak berpikir. "Tapi bagaimana kau bisa bersamaku? Tadi aku-" Irene menghentikan ucapannya--mengalihkan pandangan--lalu menangis. Teringat kejadian itu. Sosok Alva tiba-tiba muncul didepannya. Irene benar-benar terkejut.
Tangan bertato itu merangkul tubuhnya--memeluknya erat--tapi Irene merasa sakit sekaligus sesak. Irene berusaha melepaskan diri--tapi sesuatu yang tajam tiba-tiba menembus lehernya--membuatnya lemah. Sialan. Irene tidak bisa melupakan kejadian itu.
"Maaf, seharusnya aku datang lebih cepat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang dilakukan Al-"
"Ssttt...." potong Irene cepat--menempelkan telunjuknya dibibir Diego. "Jangan ungkit nama itu lagi... Please..." mohon Irene, menatap Diego lewat matanya yang berair.
Diego menghembuskan napas pelan--emosinya mulai tak terkendali. Amarahnya belum juga mereda--Alvaro Samuel benar-benar ingin ia habisi. "Baiklah. Aku akan berusaha melupakannya, tapi dia tidak akan ku maafkan. Tidak akan..." geram Diego, suara rendahnya benar-benar menyeramkan--Irene bisa merasakan itu.
"Lalu tubuhmu? Apa ada yang sakit?" tanya Diego, matanya memperhatikan seluruh tubuh Irene, sementara tangannya mengelus bahunya. Irene menahan napas--sentuhan Diego tidak sampai disitu, tapi turun--meraba dari pundak--hingga ke lengan, berpindah ke lehernya--memeriksanya. Irene melenguh--Diego menyentuh dadanya--mengelus lembut lekukan tubuhnya. Irene nyaris gila.
"Tidak... tapi aku merasa sakit dileherku, sakitnya seperti ditusuk jarum." ucap Irene serak--menahan desahan. Dia hanya memakai bra, sentuhan Diego tadi benar-benar langsung menyentuh kulitnya.
"Itu suntikan. Kau dibius. Membuatmu tidur selama ini." ucap Diego serak, lalu bangkit, medekati lemari--membukanya. Mengambil pakaian bersih dan jaket tebal untuk Irene.
"Huh?" Irene mengernyit. "Memangnya berapa lama aku tidur?" tanya Irene. Badannya tiba-tiba terasa sakit, sepertinya dia tidur lama sekali.
"Sekitar sepuluh jam lebih. Kau tidur seperti orang mati," ucap Diego, berjalan menghampiri Irene, lalu berjongkok, memakaikan baju untuk Irene.
"Selama itu? Jam berapa sekarang?" tanya Irene, lalu menempelkan keningnya dipundak Diego. Menguap--kantuk menyerangnya lagi. Kepala Irene berkabut--dia tidak bisa berpikir. Irene hanya diam ketika Diego memakaikan baju untuknya--lalu disusul jaket tebal. Hangat. Irene nyaman.
"Hampir jam tujuh." Diego menggeram--giginya bergemelatuk. Alvaro sialan! Bisa-bisanya dia memberikan obat itu pada Irene--itu tidak baik bagi bayi-bayi mereka.
"Aku tidak ingin ini terjadi lagi, Irene. Aku ingatkan... Kau tidak boleh pergi dari rumah. Apalagi dariku."
Irene mengangguk pelan--meskipun dia tidak mengerti maksud Diego. Dia hanya mendengar tapi tidak mencerna--asal menjawab. Ah, sepertinya otaknya ini tidak mau diajak berpikir. Dia hanya diam ketika Diego mengangkat tubuhnya dalam satu gerakan dan menggendongnya keluar.
"Langit Kota Berlin tampak indah, kau tidak mau lihat?"
"Tunggu! Jadi kau benar-benar membawaku ke-" ucapan Irene terpotong, dia mendongakkan kepala, tersadar sepenuhnya. Tapi sayangnya, kesadarannya datang diwaktu yang salah.
"Diego! Kau ini benar-benar ya!" erang Irene kesal.
Tepat diluar pesawat, sekumpulan wartawan sudah menunggu--bahkan puluhan mobil milik acara tv ternama sudah terparkir diluar sana. Para wartawan itu membombardir mereka dengan kilatan blitz kamera ketika Diego membawanya menuruni undakan tangga pesawat. Irene menutup mata, memeluk leher Diego erat untuk menyembunyikan wajahnya dipundak Diego. Oh God! Kenapa mereka semua ada disini?!
"Mr. Alvaro, siapa wanita yang ada digendongan Anda?"
"Kami barusan saja mendapat kabar jika Anda akan datang, tapi kami terkejut dengan wanita yang Anda bawa. Siapakah dia Mr. Alvaro?
"Tunggu Tuan! Bukankah Anda sudah bertunangan dengan Miss. Mikhailova? Lalu siapa wanita ini, Tuan?"
Sahutan-sahutan pertanyaan memenuhi telinga Diego dan Irene. Diego yang merasa kesal dan tidak berniat untuk menjawab langsung mempercepat langkahnya--mengabaikan mereka.
"Suruh mereka tidak mengganggu kami, Chris. Janjikan wawancara eksklusif saja dengan mereka dua hari ke depan."
"Baik, Tuan muda."
Irene tidak memedulikan ucapan Diego dan Christian. Telinganya sudah terlalu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan para wartawan itu. Tapi untungnya beberapa saat kemudian Diego sudah memasukkannya kedalam limousine.
Bebas dari kejaran wartawan.
Akhirnya limousine Diego beserta iringannya melaju meninggalkan pesawat. Irene ingin berbicara pada Diego tapi Diego malah sibuk berbicara dengan Christian lewat partitur yang terbuka. Mereka membicarakan hal yang tidak Irene mengerti. Irene hanya sedikit menangkap pembicaraan mereka tentang persiapan berkas-berkas penting yang harus segera diberikan ke pengadilan agama.
Selebihnya Irene tidak tahu, dan dia juga tidak ingin tahu. Irene lebih tertarik menatap kota jalan Berlin yang sudah diselimuti salju. Pikiran Irene kosong--matanya menerawang lembut kedepan. Sebenarnya dia ingin tahu alasan Diego membawanya kesini--sekaligus kenapa mereka harus pergi ke Spanyol. Memangnya negara ini memiliki arti apa bagi Diego.
Huft, sudahlah. Irene tidak ingin kepalanya menjadi pusing karena memikirkan ini. Biarlah arus membawanya, sampai suatu ketika ia akan tau akan seperti apa.
Mobil mereka sudah berhenti didepan pelataran rumah sakit. Diego keluar lebih dulu, melangkah mendekati pintu keluar untuk Irene. Irene menatap Diego, lelaki itu membukakan pintu mobil lalu mengulurkan tangannya. Irene tersenyum, lalu menerima uluran itu.
Irene mengedarkan pandangan--mengerutkan dahi. "Kenapa kita ke rumah sakit?" tanya Irene bingung. Siapa yang sakit? Diego kah?
"Untuk memeriksamu."
"Memeriksaku?" tanya Irene--semakin bingung. Dia tidak sakit sama sekali, untuk apa Diego sampai mengajaknya jauh-jauh hanya untuk ke rumah sakit?
"Well, sebentar lagi juga kau akan tahu." ucap Diego, menyeringai, meraih pinggang Irene. Menariknya mendekat, lalu membawanya masuk.
Diego dan Irene berjalan memasuki lorong, sementara Christian dan Lucas tiba-tiba saja sudah berdiri dibelakang--berjalan dibelakang mereka.
Mereka berhenti tepat didepan pintu dari kayu ek, terdapat tulisan berpahat emas di atas pintu itu. Irene mendongakkan kepalanya, dan melihat kata yang bertuliskan; Dokter Kandungan--Mrs. Nathalie. Wait.... untuk apa Diego membawanya ke dokter kandungan? Dia... dia tidak mungkin hamil 'kan?
"Pertanyaanmu akan ku jawab, tapi nanti. Kita masuk dulu." seperti bisa membaca pikirannya, Irene lantas menoleh--menatap Diego bingung.
Diego balas menatap Irene--tatapan tegas nan serius itu tersamarkan dengan senyum halus diwajahnya. Lelaki itu membuka pintu--lalu membawa Irene masuk, sementara Christian dan Lucas menunggu diluar. Saat itu terlihat seorang wanita berkulit pucat dengan kacamata peraknya tengah duduk anggun dimeja.
Nathalie bangkit, tersenyum, lalu berjalan mendekati mereka. Sambil merapikan rambut dan pakaiannya, Nathalie berbicara dengan bibir sensual yang dibuat-buat. "Perkenalkan, nama saya Nathalie Miche-"
"Kita langsung saja, dokter. Istri-ku sudah menunggu." Diego mengabaikan salam perkenalan dan jabatan tangan Nathalie dengan segera memulai pemeriksaan.
"Istri?" Dokter muda itu tampak terkejut saat Diego mengatakan kata 'istri'.
"Iya. Istriku."
***
Nathalie membaringkan Irene diranjang pemeriksaan, ia juga sempat membalas senyuman Irene yang terlihat kaku kepadanya. "Jangan tegang, nona Irene." ucap Nathalie sembari menekan panggul Irene--memeriksanya. Irene mengulas senyum lagi, namun wajahnya yang cantik terlihat begitu khawatir.
Lalu, Nathalie menyiapakan alat USG dan beberapa alat canggih lainnya. Hal itupun tidak luput dari perhatian Irene. Jantung Irene memompa cepat, bahkan tangannya berkeringat dingin--untuk yang pertama kali, dia tidak pernah setegang ini.
"Kapan Anda terakhir menstruasi?" tanya Nathalie.
Irene menatap langit-langit ruangan, keningnya berkerut--tampak berpikir. Astaga! Jika ia ingat-ingat... ternyata sudah lama sekali dia belum datang bulan. Apakah itu berarti... dia memang benar-benar hamil?
"Kalau tidak salah tiga minggu yang lalu." jawab Irene sembari mengigit bibir bawahnya. Ia lalu mencuri pandang kepada Diego yang duduk tidak jauh darinya, lelaki itu terlihat sedang memperhatikannya--tersenyum kepadanya.
"Kalau begitu... saya akan memastikannya, Nona." ucap Nathalie.
USG transvaginal--tes yang akan dilakukan Nathalie setelah sebelumnya ia telah melakukan tes darah. Wanita itu melepaskan pakaian dari pinggang ke bawah milik Irene dan menggantikannya dengan pakaian khusus setelah ia meminta izin pada Diego.
Nathalie menekuk kedua kaki Irene sehingga terbuka lebar--posisi mengangkang. Kemudian ia memasukkan alat bernama transduser ke dalam vagina Irene, yang telah dioleskan gel pelumas sebelumnya.
Alat itu ternyata bisa menggambarkan keadaan organ produksi Irene secara jelas melalui monitor. Irene speechless, disana terlihat jelas--ada dua buah janin didalam perutnya. Mereka berdekatan. Tak tahan dengan rasa bahagianya--Irene sampai meneteskan air mata. Irene menangis haru--bukan karena sakit karena alat itu tapi melihat ada dua kehidupan didalam perutnya. Anaknya.
"A-aku... hamil?" tanya Irene pelan--terkejut, membiarkan air mata itu membasahi pipinya.
Nathalie tersenyum, mengangguk, lalu mengeraskan suara monitor. Dua suara detak jantung berbeda pun terdengar, membuat Irene menutup mulutnya tak percaya.
Anakku... itu suara detak jantung anakku... Batin Irene penuh haru.
Diego melangkah mendekati Irene, lalu mencium keningnya lama. Ia tersenyum, menatap Irene dengan mata biru yang berbinar--tatapan cinta penuh damba. "Bayi-bayi kita. Kau mengandung anakku, Irene. Anakku." gumam Diego serak, lalu mencium kening Irene lagi--kali ini lebih lama.
Irene meremas seprei kasur, merasakan kebahagiaan yang membuncah didalam dada.
"Kandungan Anda baru mencapai empat minggu, Nona." sahut Nathalie mengucapkan hasil yang ia dapat. Kening wanita itu semakin berlipat kuat ketika dia menyadari satu hal. "Tapi saya benar-benar tidak percaya dengan ini... "
"Maksud Dokter?" tanya Irene, menggenggam erat tangan Diego.
"Ini kuasa Tuhan. Dengan umur Anda yang masih muda dan rentan mengalami kehamilan, fisik yang masih belum matang, tapi Anda bisa mengandung dua janin sekaligus. Janin-janin Anda tampak sehat. Mereka sangat kuat, begitupun dengan detak jantung yang saya dengar. Ini keajaiban." ucap Nathalie panjang lebar.
"Untuk mengetahui jenis kelamin bayi Anda, pemeriksaan lebih mendalam akan dilakukan lima hari berikutnya," ucap Nathalie, tersenyum lagi. "Tapi saya sangat yakin jika mereka kembar. Ini umumnya bisa terjadi." ucapnya lagi.
Diego tersenyum lebar, senyum yang sangat jarang ia perlihatkan kepada siapapun--dan hanya ia lakukan ketika ia merasa bahagia. Itu semua hanya karena Irene-nya dan anaknya. Dunia barunya.
Beberapa menit kemudian, akhirnya tes tersebut selesai, Diego pun langsung membawa Irene keluar.
"Chris. Cepat hubungi Mi Lover, katakan kepadanya jika aku melarangnya datang ke negara ini. Lakukan semua cara untuk menghentikan wanita itu, dia harus tetap disana." ucap Diego setelah dia memasukkan Irene ke dalam mobilnya.
"Baik, Sir..."
"Lucas!" panggil Diego. Lucas yang tengah berdiri disampingnya Christian langsung menunduk--memberi hormat. "Awasi pergerakan Alvaro Samuel. Jangan sampai ada yang terlewat." perintah Diego tegas--suara rendah dan beratnya sempat membuat suasana menjadi tegang. Tatapan mata yang tajam dengan bibir tipis yang merapat kuat membuat laki-laki itu benar-benar menjadi sosok yang sangat ditakuti.
"Jika dia sampai kesini, langsung saja habisi."
To be continued.
I HOPE YOU LKE IT, BABY!
JANGAN LUPA LIKE, KOMEN + SHARE KE TEMAN KALIAN!
With love, Ina🖤
Istri sah Sean O'pry.