At ALVARO'S Mansion. NY - USA | 03:38 PM.
Diego Alvaro baru keluar dari Helicopternya ketika Mi Lover dan Dilan sudah berdiri beberapa meter dari tempat pendaratan--backyard mansion--sembari menatapnya, terlihat juga Christian yang berdiri di samping pintu Helicopter--menunggu kedatangan Diego.
"Beri tahu aku lokasinya. Sekarang." ucap Diego pada Christian--to the point. Mata biru Diego berkilat--kilatan amarah--seakan api besar tengah membara didalamnya, membuat Christian menunduk takut--tidak berani untuk sekedar menatap.
"Dia berada di Pennsylvania Station, Sir... Butuh waktu setengah jam untuk kesana." ucap Christian.
Setelah mendengar jawaban Christian, Diego langsung berjalan--langkahnya cepat. Nyaris berlari jika Mi Lover tidak menghalangi jalannya.
"Menyingkir dari jalanku, Mi Lover." nada suara rendah Diego terdengar--membuat Mi Lover menahan napas sesaat.
Mi Lover bersidekap, matanya menatap Diego kesal. "Kau ini! Apa kau tidak mau menemuiku yang berdiri disini untuk menunggumu? Setengah jam yang-"
"Hentikan." potong Diego cepat--memejamkan mata sebelum menghujami Mi Lover dengan tatapannya yang tajam.
Diego melanjutkan langkahnya--mengabaikan Mi Lover, tapi Mi Lover langsung menghentikannya, wanita itu mencekal tangan Diego.
"Tunggu, Diego! Aku belum selesai bicara!" ucap Mi Lover tegas.
"Damn it! Jangan halangi aku!"
"Kau ingin pergi kemana? Tunggulah sebentar... aku merindukanmu, Diego!" rengek Mi Lover, mencebikkan bibir.
Lagi. Diego memejamkan matanya--menahan diri dari luapan emosi. Tapi Diego tidak ingin wanita ini melupakan perbuatannya.
"Pergilah... " ucap Diego dingin--sedingin tatapannya. "Cari tempat persembunyian yang aman, sebelum ada orang lain yang menemukanmu."
"Diego! Apa maksudmu? Tempat persembunyian? Memangnya apa yang aku lakukan?!"
"SAMPAI KAPAN KAU BERTINGKAH BODOH DENGAN KATA-KATAMU, SIALAN!"
Mi Lover tertegun. Diego tidak pernah membentaknya sekeras itu. Diego menghempaskan pegangan tangannya, menatapnya tajam. Lalu, balik mencekal pundak Mi Lover sembari menggertakkan rahangnya. "How dare you...." bisik Diego. Rendah. Menikam. Mengerikan.
Mi Lover menahan napas, meneguk ludahnya. Entah kemana rasa marah dan keberaniannya tadi, Mi Lover tidak tahu. Cekalannya di pundak Mi Lover makin menjadi, mencengkramnya, terlalu kuat--Mi Lover meringis.
"Di-diego...."
"Mengusirnya dari rumahku. Irene milikku. Milik Diego Alvaro. Kau pikir kau siapa?" geram Diego, nadanya mengancam. "Katakan, sampai kapan kau menyadari seperti apa dirimu bagiku? Sampai aku membuang cincin pertunangan kita? Sampai aku melubangi kepalamu?"
"Diego....sakit," rintih Mi Lover.
Diego melonggarkan cekalannya, tapi bukan berarti Mi Lover bisa lepas.
"Dengar baik-baik....," ujar Diego, mendekatkan wajah mereka. "Aku akan mendapatkannya lagi, Mi Lover. Lalu setelah itu, tidak ada yang bisa menolongmu. Tunggu saja tanggal mainnya."
Mi Lover merinding. Kata-kata Diego, pandangan matanya, bahkan helaan napasnya--semuanya, menakutinya. Rasanya seperti bukan Diego... Diego Alvaro yang dulu dia kenal tidak seperti itu. "Kau bukan siapa-siapa. Seharusnya kau sadar hal itu."
Lalu, cekalan itu lepas--Diego membebaskannya. Mi Lover menghela napas, merasa lega. Tapi, kelegaannya tidak bertahan lama. Diego sudah mengetahui semuanya. Semuanya. Ancamannya kepada Irene, lelaki itu mengetahuinya.
Diego berlalu--berjalan memasuki mansion yang langsung disambut sejumlah orang berpakaian hitam, sekitar belasan, mungkin puluhan, Mi Lover tidak menghitungnya.
Mi Lover mematung ditempat, merasakan sakit di pundaknya--meninggalkan rasa nyeri akibat cekalan itu. Mi Lover jatuh bersimpuh di atas tanah--kakinya mendadak lemas... saat dia mengingat kembali kata-kata Diego.
"Katakan, sampai kapan kau menyadari seperti apa dirimu bagiku?"
"Tunggu saja tanggal mainnya."
"Kau bukan siapa-siapa. Seharusnya kau sadar hal itu."
Air mata Mi Lover jatuh. Dasar bajingan. Diego benar-benar brengsek! Jika dia bukan siapa-siapa, lalu untuk apa lelaki itu melamarnya dan bertunangan dengannya?! Dia bukan Diego yang dengan mudah menggantikannya. Menggantikannya dengan Irene.
Lalu... Perkataan Diego yang "Tunggu saja tanggal mainnya." Hah? Lelaki itu ingin membalasnya? Lucu sekali.
Tapi sungguh. Apa Diego benar-benar sejahat itu?
Mi Lover tidak tahu... Diego akan seburuk ini kepadanya. Lalu, apa arti dari pertemanan masa kecil mereka? Tidak berarti sama sekali kah? Apakah Diego begitu mudah melupakannya begitu perempuan lain datang di kehidupannya?
Mi Lover tidak salah. Dia hanya mempertahankan apa yang sudah menjadi miliknya. Diego Alvaro miliknya! Bukan Irene!
"Lovelyn, kau baik-baik saja?" tanya Dilan, menatap Mi Lover khawatir, lelaki itu mengangkat pundaknya--membuatnya berdiri.
"Aku baik-baik saja. Tapi kakakmu sedang tidak baik." ucap Mi Lover tepat di telinga Dilan. Dilan merangkulnya--menghelanya masuk ke dalam.
"Dia memang tidak baik, dia saja jahat kepadaku." ucap Dilan sarkatis. Mi Lover menghembuskan napas, merasa lega--ternyata Dilan hanya melihat interaksinya dengan Diego tapi tidak mendengar percakapan mereka. Syukurlah. Setidaknya dia tidak harus berurusan dengan dua orang sekaligus.
"Tapi aku punya rencana untuk membuatnya kembali menjadi baik." ucap Mi Lover disela-sela langkahnya--tersenyum sinis. Dilan mendengar itu, dia mengernyit. "Rencana?"
"Ambil peluru, lalu tembakkan di titik terlemah. Itu mudah bagiku."
***
Sepuluh menit kemudian, Diego sudah mengendarai Lamborghini Veneno Roadster hitamnya di jalanan kota Manhattan. Mi Lover menghubunginya berkali-kali, namun Diego mereject-nya, dia lebih memilih menghubungi Irene yang tidak kunjung menjawab. Diego mencoba lagi--dua kali, tiga kali--hingga dua puluh kali tidak ada jawaban. Padahal disisi lain, bodyguard yang dia perintahkan terus mengirim gambar Irene berdua dengan pria itu!
Diego menggeram, memukul stir. Amarahnya memuncak, dia menghantamkan ponselnya ke kaca depan sembarangan, menginjak pedal gas keras-keras, mengemudi dengan gila--nyaris menyentuh kecepatan maksimal, berkali-kali membanting stir--nyaris celaka, tapi Diego tidak peduli.
Ini soal miliknya, kematian tidak akan membuat seorang Diego Alvaro berhenti.
***
"Al... Alva?" Irene menutup mulutnya, dia terkejut. Sangat. Sosok pria yang dahulu menjadi cinta pertamanya kini tengah berdiri dihadapannya--menatapnya.
"Yeah, it's me. Aku kembali padamu." gumam Alva dengan senyum diwajahnya.
"Ta-tapi... kenapa?" Irene merasakan suaranya bergetar, ditatapnya lagi wajah tampan Alva dengan lekat.
"Karenamu. Karena wanita milikku bersama dengan pria lain, aku benci itu." sekilas tatapan Alva menggelap, tapi dia dengan cepat merubahnya. "And i will get my princess again."
Mendengar nada serius dari Alva membuat Irene takut--entah apa yang akan terjadi jika Diego mengetahui semua ini. Lelaki itu ternyata masih mencintainya.
Alvaro Samuel berjalan mendekat, menghampiri Irene yang masih terpaku ditempatnya. "So... can I touch you?
Irene melangkah mundur, entah kenapa dia melakukan ini--seakan dia takut dengan lelaki itu. "No! You are not Alva!" Irene menggeleng, dia bukan Alvaro Samuel yang dia kenal! Irene yakin, Alva tidak akan pernah memasang tato di tubuhnya, Alva benci tato! Tapi lelaki yang mirip Alva ini... kedua tangannya bertato.
"Semua orang bisa berubah, Irene. Termasuk aku dan kau." ucap Alva, makin mendekati Irene.
"Ti-tidak! Jangan sentuh aku!" Irene meraih tasnya, lalu mengangkat tas itu tepat di depan wajah Alva. "Jangan mendekat! Kalau tidak aku akan teriak!" ancam Irene, sesaat gadis itu menatap ke sekeliling--berharap menemukan Diego sekalipun itu mustahil.
"Teriak saja, sayang. Orang-orang yang berada disini mengenalku, mereka tidak akan berani." Alva terkekeh.
"Kau!" geraman rendah Irene terdengar, dia mengepalkan tangan. "Jika kau berani melangkah satu kali, aku akan menabrakkan diriku dikereta!" ancam Irene lagi, dia mengubah posisinya--tepat beberapa langkah dari letak rel kereta.
Sementara itu, kereta yang ditunggu Irene sebentar lagi akan datang--lima menit dari sekarang.
"Lima menit lagi kereta akan datang, dan aku akan mati." Irene tahu ini gila. Tapi, dia tidak ingin bersama orang yang berpura-pura menjadi Alva itu.
Alva menatap Irene, menatap gadis yang ia cintai yang berani melawannya, bahkan mengancam untuk membunuh dirinya. Damn! Apa gadis itu tidak berpikir bahwa nyawanya sangat berharga?!
"Baiklah. Aku tidak akan mendekat, tapi kumohon jangan melakukan itu. Kau tidak boleh mati, Irene." mohon Alva, menghentikan langkahnya.
Irene menghela napas, merasa lega. Dia pun mengambil ancang-ancang untuk berlari, tapi gagal. Sepasang tangan kekar nan bertato dengan sigap menangkap tubuhnya--memeluknya dari belakang. Irene menjerit--tapi jeritannya tenggelam karena sesuatu yang menembus lehernya. Rasanya sakit, tapi entah kenapa itu membuat pandangannya kabur--semuanya pun menjadi gelap.
Alva menyutikkan obat bius ke leher Irene begitu memeluknya. Irene langsung pingsan.
Alva menggendong Irene ala bridal style, membawanya ke luar stasiun yang langsung dikerumuni para bawahannya--menutupinya agar tidak terlihat. Mereka semua menghelanya ke depan--tepat menuju ke arah mobil putihnya yang terparkir. Satu anak buahnya dengan sigap membukakan pintu--mempersilahkannya. Alva pun meletakkan Irene yang tak sadarkan diri didalam mobilnya.
"Diego Alvaro sedang menuju kesini, Tuan. Kita harus cepat." ucap Tom--anak buah Alva yang membukakan pintu tadi.
"Baiklah. Lakukan semuanya sesuai rencana." perintah Alva.
Tapi, sepertinya keadaan berbanding terbalik. Gagal. Karena setelah itu puluhan mobil hitam berplat nomor A L V A R O sudah berjejer di depan mobilnya. Puluhan orang keluar darisana--ralat. Ratusan. Mereka memakai seragam hitam dengan kacamata berwarna senada--memegang pistol--menghadang Alva dan anak buahnya.
"Lepaskan. Atau peluru ini akan menembus kepala Anda."
Alva baru akan masuk kedalam mobilnya ketika begitu dia mendengar suara Lucas. Lucas ternyata sudah menodongkan pistol di pelipis Alva. Tatapannya dingin dan menyeramkan.
Alva membatu, sedikit terkejut. Rasa takut sempat menghampirinya--tapi tak berlangsung lama, karena setelah itu anak buahnya--Tom, juga menodongkan pistolnya ke arah Lucas.
Melihat perlawanan dipihak Alva, sontak kedua kelompok yang berjumlah sangat banyak itu saling menodongkan pistol. Hal itu juga tak luput dari perhatian warga yang ada di stasiun--bahkan ada seorang warga yang teriak ketakutan. Anak buah Diego dan Anak buah Alva--mereka saling beradu pandang sengit seraya menodongkan pistol mereka. Namun hanya Alva yang tidak bersenjata.
"Dimana atasan kalian? Dimana dia?! Dasar pengecut!" teriak Alva begitu menyadari tidak ada pria bernama Diego Alvaro disini.
Hening sesaat, tapi kemudian tawa Alva mengudara. Lelaki itu tertawa keras--menertawakan Diego yang tidak berani datang dan hanya menyuruh anak buahnya untuk menggagalkannya.
Well, sepertinya dugaan Alva salah besar! Ternyata saat itu tampak sebuah mobil berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi tengah berjalan kearah mereka--suara decitan nyaring terdengar--karena seseorang didalamnya menekan rem keras-keras sembari melakukan gerakan drift menawan yang membuat mobil itu berputar dan berhenti dengan anggun.
"Oh Jesus! Lihat.... Lihat... Sepertinya dia Diego Alvaro! Astaga.... Dia benar-benar datang?!" bisik-bisik serta decak kagum disekelilingnya semakin terdengar begitu Diego keluar dari mobilnya.
Orang-orang yang semula menjauhkan diri karena takut melihat aksi todong-menodong pistol di antara sekelompok orang itu seketika lenyap--berganti rasa penasaran kepada sosok yang membawa mobil itu, bahkan masyarakat setempat semakin berkumpul melihat aksi drift mobil menawan itu. Suara teriakan heboh pun terdengar--saling bertabrakan karena suara jeperetan kamera. Entah itu mengambil foto orang-orang berbaju hitam memegang pistol atau wajah Diego yang memukau.
Well, sebenarnya tanpa dia keluar pun semua orang pasti akan tetap tahu siapa orang yang berada di dalam mobil Lamborghini Veneno Roadster keluaran terbaru itu. Plat nomor A L V A R O di mobil itu tentu saja tidak menipu.
Diego menembus kerumunan, lantas para warga itupun langsung menyingkir--tidak berani menghalang langkah pria yang sosoknya sangat dominan itu.
"Well.... Long time no see, Diego." ucap Alva ketika Diego sudah berdiri dihadapannya.
Diego berdecih. "Daripada berbasa-basi denganku lebih baik kau siapkan dirimu untuk pertumpahan darah ini saja, Alva. Dan siapkan juga nyalimu untuk menghadapiku, kami tidak sebodoh dirimu. Bawa Irene padaku, lepaskan dia. Sekarang." Diego berucap datar tanpa senyum.
Alva terkekeh sinis, dia geleng-geleng kepala--tidak percaya dengan apa yang lelaki itu katakan. Sungguh, dia tidak akan melepaskan Irene kepadanya. Apalagi ini Diego! Seseorang yang selama ini menjadi target hitamnya untuk segera dilenyapkan.
"Apa katamu?" tanya Alva dengan tawa sumbang. "Aku tidak akan pernah memberikan dia kepadamu! Tidak akan pernah!" ucap Alva setengah membentak.
"Lalu pistol ini melobangi kepalamu, begitu? Well, pilihan yang menarik." Diego menyeriangi, mengangkat tangan--lalu Lucas segera menarik pelatuk--siap menembak kepala Alva--tinggal menunggu instruksi Diego selanjutnya.
Diego menatap ke sekeliling--melihat satu persatu anak buah Alva. "Kau hanya membawa tiga puluh orang. Masih ingin melawan kami yang lebih dari seratus?" tanya Diego, menyeriangi jahat.
Alva berkeringat. Tenyata benar. Jumlah mereka sangat banyak, kedatangan Diego ternyata membawa beberapa orang lagi--membuat jumlahnya semakin banyak. Alva melirik ke belakang--puluhan pria berpakaian hitam juga tengah menodongkan pistolnya. Mereka dikepung. Tidak mungkin melawan mereka dengan jumlahnya yang sedikit--mereka kalah jumlah. Sial. Diego Alvaro benar-benar sialan!
"Oke," ucap Alva serak, mundur perlahan seperti anjing yang ketakutan--moncong Lucas terus mengikutinya. Alva menelan ludah. "Aku akan melepaskan Irene. Tapi bukan berarti aku menyerah, aku akan berusaha keras mencari waktu untuk mengambilnya darimu lagi, Diego Al-"
"Peluru saya juga bisa mencari waktu yang tepat untuk menembus kepala Anda." potong Lucas dengan nada tajam.
Alva mengalihkan matanya--membalas tatapan menusuk Lucas yang menghujamnya. Tatapan sengit dan was-was beradu, membuat ketegangan melanda. Akhirnya Alva bergerak mundur--mendekati mobilnya--lalu membuka pintu, mengangkat tubuh Irene dan menggendongnya.
Diego mengepalkan tangan, rahangnya mengeras melihat Irene yang tidak sadarkan diri. "Berikan Irene padaku, bajingan." desis Diego.
Diego mulai berhitung mundur, dan Alva yang mendengarnya merasa kesal. Sialan! Sekarang lelaki yang memiliki nama depan sama dengannya itu memakinya, bahkan berani menyuruhnya. Fine.... ini hanya awal. Alva harus tetap bersabar, masih ada kesempatan lain untuk membalasnya. Pasti, Alva jamin itu akan terjadi--tak lama lagi.
Alva memindahkan Irene kedalam gendongan Diego. Diego lantas menghela napasnya--merasa lega. Dia sudah mendapatkan Irene-nya kembali.
"Kali ini aku melepasmu, Alva. Jangan ulangi." Diego berkata dingin, Alva yang masih mendaratkan matanya pada Irene menoleh, hanya untuk mendapatkan tatapan tajam Diego.
"Kurangha-"
"Hukumanku sangat pedih. Sekali lagi kau mengambilnya, kau akan tamat." potong Diego rendah, mengancam. Alva bergidik.
"Aku memperingatkanmu, Alvaro Samuel."
To be continued.
Well, 2210 kata lebih, aku kebablasan ngetiknya gais, terlalu semangat. Ngebet lagi up nya:'v jadi Ina minta kalian cuma pencet like sama ketik komenan kalian, gitu aja. Bisa kan?:)
OKE, TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA!
See you soon, sayang kalian!
With love, Ina.