webnovel

Dibalik Kegelapan yang Mencekam

Seluruh cerita berasal dari imajinasi penulis. Tidak boleh mengcopy, menjiplak ataupun melakukan perbuatan tercela lainya yang dapat merugikan penulis. Terdapat beberapa adegan kekerasan dan berdarah. Harap bijak dalam membaca. Cover by Canva. *** Sinopsis Bau amis tercium mengelilingi tempat itu. Laki-laki, orang tua, bahkan anak-anak yang tidak berdosa tergeletak tak begerak dengan suhu tubuh yang sudah mendingin. Seorang lelaki berdiri dengan acuh di sekitar tempat mayat-mayat itu berserakan. Memegang pedang yang masih berlumuran darah, Ia menuju suatu tempat yang tidak terkena setetespun noda merah yang menghiasi sekelilingnya. Dirinya berlutut untuk membelai pipi pucat seorang gadis yang terlindung di balik perisai yang Ia ciptakan. Melepaskan kain hitam berkibar yang Ia kenakan dan dengan lembut menyampirkan jubah yang telah ternoda kehangatanya itu kepada sang gadis. "Kau lihat." "Mereka mati karena dirimu." "Seharusnya kau tidak pernah kabur dariku." "Ayo kembali Rosalia." bisik pemuda itu lirih diantara hembusan angin malam yang mencekat.

Renza_Lo · Fantasy
Not enough ratings
101 Chs

Bertemu Ratu

"Sudah waktunya makan malam tuan putri." Zizi datang untuk menjemput Rosalia.

"Aku mengerti." Rose memberikan penanda buku pada halaman yang belum selesai dibacanya.

Awalnya gadis itu hanya menbaca untuk menghabiskan waktu. Tetapi buku yang Ia ambil ternyata sangat menarik dan membuatnya melupakan waktu.

"Kemana Hena?" Rose bertanya saat tidak melihat pelayan lainya.

"Dia memiliki tugas lain tuan putri." Zizi menjawab singkat dan padat seperti biasanya.

Rose mengikuti langkah kaki Zizi sampai mereka tiba di ruang makan.

Ceklek

"Silahkan tuan putri. Yang Mulia sudah menunggu." Zizi mempersilahkan peri cantik itu untuk memasuki ruangan.

Rose memasuki ruangan dan mendapati raja muda ras zeros sudah duduk di kursi utama. Merasa bahwa akan sulit menelan makanan jika Ia makan berdua di ruang yang sangat sepi, sang peri memilih untuk duduk di kursi yang agak jauh dari pemuda itu.

"Duduk di sampingku." Stevan memerintahkan sebelum Rose sempat menarik kursinya.

Gadis itu hanya bisa berjalan kembali dan duduk di kursi sebelah kanan sang raja.

"Bagaimana dengan pelatihanmu pagi ini?" Stevan bertanya pada Rose.

"Saya kurang yakin Yang Mulia. Hasil penilaian kekuatan jiwa miliku berbeda dengan yang lain." Rose menjawab dengan jujur. Dirinya tidak terlalu perduli dengan calon ibu pewaris tahta atau yang lainya.

"Kau tidak perlu khawatir. Jika kekuatan jiwamu lemah, aku secara pribadi akan membunuh kerabat darahmu agar kau bisa menyerap kekuatan jiwa mereka." Stevan berkata dengan tenang. Tidak merasa bahwa kata-katanya bisa membuat wajah peri itu memucat.

"Tapi Yang Mulia. Bukankah lebih baik jika Anda memilih wanita dari ras zeros untuk menjadi pendamping hidupmu." Rose bertanya dengan hati-hati.

"Kau tidak perlu memikirkanya. Aku akan melakukan apapun yang aku inginkan." Stevan menjawab dengan bosan.

Keduanya tidak terlibat dalam percakapan sampai makan malam selesai. Hanya fokus pada makanan mereka masing-masing. Rose makan lebih sedikit dari biasanya karena merasa dalam suasana hati yang buruk.

"Kemana kau akan pergi?" Stevan berbicara saat melihat Rose berjalan ke arah yang berlawanan dengan dirinya.

"Saya ingin kembali ke kamar saya, Yang Mulia." Rose menjawab dengan sopan.

"Mulai hari ini dan seterusnya, kau akan tidur bersamaku." Stevan menggenggam jemari lentik Rose saat menuntunya ke kamar raja muda itu.

"Tapi Yang Mulia, tidak seharusnya laki-laki dan perempuan yang belum menikah berada dalam satu ranjang yang sama."

"Itu akan membuat orang lain membicarakanya." Rose menolak permintaan raja muda itu.

"Lalu biarkan saja. Mereka hanya bisa berbicara, tidak bisa benar-benar melukaiku." Stevan tidak terlalu perduli dengan alasan Rose.

"Tetapi aku tidak seperti itu, Yang Mulia. Aku akan terluka jika mendengar orang lain berbicara buruk tentang diriku." Rose menatap Stevan dengan pandangan memohon.

Ia jarang melakukan tindakan seperti ini. Tetapi jika dirinya tidak memberikan alasan yang cukup, pemuda itu pasti akan kembali menyeretnya ke kamar pemuda itu.

"Aku mengerti." Stevan melepaskan genggaman tangan mereka.

"Besok, ikut aku menemui ratu." pemuda itu pergi setelah mengucapkan kata-kata terakhir.

Rose merasa lega sekaligus khawatir. Ia lega karena tidak harus satu kamar lagi dengan Stevan. Tetapi dirinya juga khawatir karena pemuda itu memintanya untuk menemui ratu.

"Apa lagi yang ada dalam benak pemuda itu?"

"Aku hanya perlu menunggu sampai besok untuk mengetahuinya." Rose merasa bingung karena tingkah pemuda itu yang berubah-ubah.

***

Keesokan paginya, Rose tengah menunggu Stevan di ruang tamu yang terletak di dalam kamar kerja raja. Pemuda itu masih belum kembali dari ruang parlemen sehingga pelayan mengantar gadis itu ke tempat pribadi sang raja muda.

Ceklek

"Kau sudah menunggu lama?" terdengar suara maskulin yang bertanya.

Rose menatap pemuda yang baru saja memasuki ruangan. Kali ini Stevan memakai kemeja putih dengan warna biru yang menutupi sebagian dada dan ujung lenganya. Rantai perak terlihat terbentang dari bawah leher sampai ke ujung kanan lengan kemejanya.

"Tidak Yang Mulia." Rose menjawab dengan rendah hati.

"Ikuti aku." Stevan berkata setelah beberapa saat mengamati penampilan peri cantik itu.

Rose melangkah mengikuti irama Stevan. Pemuda itu tiba-tiba menggenggam tanganya saat mereka berjalan. Membuat sang peri tidak mempunyai pilihan selain berjalan di samping raja muda zeros itu.

Pasangan itu berjalan melewati beberapa istana yang mewah. Rose tidak habis pikir bahwa istana seorang ratu akan sangat jauh dari istana utama.

"Lelah?" Stevan bertanya saat merasakan langkah gadis peri itu melambat.

"Sedikit Yang Mulia. Apakah masih jauh?" Rose bertanya karena merasa letih.

"Masih setengah perjalanan lagi." Stevan menjawab gadis itu.

"Kalau begitu, kenapa Yang Mulia tidak menggunakan sayap?" Rose bertanya bingung.

"Hanya ingin." Stevan tersenyum saat menjawab Rose.

Deg

Rose merasa jantungnya berdebar melihat senyuman pemuda itu. Ia tahu sejak awal bahwa sang penguasa malam mempunyai paras yang sangat rupawan. Tetapi Ia tidak menyangka bahwa senyum pemuda itu lebih mematikan.

"Selamat datang, Yang Mulia." seorang lelaki paruh baya terlihat memimpin beberapa pelayan yang berbaris menjadi dua barisan di belakangnya.

"Antarkan aku menemui ratu." titah Steven.

"Baik Yang Mulia." kepala pelayan itu memimpin Stevan dan Rose ke gazebo yang terletak di tengah kolam.

Gazebo itu berbentuk segi enam dengan pondasi gazebo berwarna putih tulang. Terdapat ikan koi dan tanaman teratai yang menghiasi kolam itu.

"Salam, Yang Mulia." terdengar suara berwibawa yang menyapa Stevan.

Rose melihat bahwa ada dua orang wanita yang tengah menanti kedatangan mereka di dalam gazebo. Yang satu kecantikan muda dan yang lainya kecantikan yang terlihat lebih tua.

Sang peri merasa kecantikan yang lebih muda itu terlihat seperti wanita cantik yang bersama Teodhor sebelumnya.

"Irish menyapa Yang Mulia." wanita yang lebih muda tersenyum malu saat menyapa Stevan.

Kedua wanita itu mengabaikan gadis cantik di samping raja muda. Stevan hanya mengangguk untuk menjawab salam mereka berdua.

"Ada yang ingin aku sampaikan kepada ratu." Tanpa berbasa-basi, Stevan langsung menuju topik pembicaraan.

"Ada apa Yang Mulia?" sang ratu menjawab penuh hormat.

"Aku ingin meresmikan gadis ini sebagai ratuku."

"Kau harus segera melepaskan gelar ratumu." Steven mengemukakan alasan kedatanganya.

Ketiga wanita yang berada di sana terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang raja.

"Tetapi Yang Mulia, gelar ratu tidak bisa diberikan begitu saja kepada orang luar." sang ratu menolak untuk mundur dari tahtanya.

"Kau berani menolak perintahku?" Steven menatap ratu dengan dingin.

"Bukan seperti itu Yang Mulia. Tetapi seorang ratu harus mengemban tanggung jawab yang berat. Dia harus bisa mengatur masalah istana dan mengetahui seluk beluk permasalahan di wilayah kami." wanita yang masih menyandang gelar ratu itu memberikan alasanya.

"Kalau begitu, bukankah kau harus melepaskan gelarmu karena membiarkan keluarga Vansizger menguasai setengah dari wilayah kerajaanku." Stevan berkata sinis.

"Itu adalah kelalaian saya, Yang Mulia. Tetapi saya selalu mengurus permasalahan istana dengan baik selama Anda pergi." sang ratu membela diri.

Rose terdiam melihat sikap raja yang sewenang-wenang terhadap ratu. Dia tidak habis pikir kenapa Stevan bersikap begitu dingin kepada ibunya. Dirinya bertanya-tanya apakah ada cerita lain dibalik semua yang terjadi.