17 Trauma Masa Lalu Akhir

Cristine memeluk boneka teddy mini berwarna cokelat dengan erat di dada, mata bulatnya sudah memerah dan berkaca-kaca, siap menangis kencang.

"Bunda~" panggil Cristine mulai terisak.

Warda meraih putrinya, membawanya mendekat ke arah kasur kecil milik Selena. Dan di dudukkannya gadis manis itu dekat Selena yang sudah pingsan. Meski bocah itu tidak sadarkan diri, erangan sakit dari bibir mungilnya masih terdengar.

Warda meneteskan air mata sedih. Melihat keadaan Selena yang mengigau di tempat tidur, membuat dia tidak tega, dan di saat bersamaan juga merasa kasihan. 

"Mas Rayhan, Selena biar di rumah aku saja dulu. Biar aku yang mengobati luka-lukanya." ucap wanita dewasa itu dengan suara bergetar dan sepasang matanya tulus memohon pada pria di sampingnya.

Rayhan mengangguk, matanya sembab karena ketidakberdayaan, dalam keadaan seperti ini, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia meraih Selena yang terus meracau ketakutan dan membawa putrinya tersebut dalam pelukan. Akibat kecerobohan yang tak sengaja pria dewasa itu perbuat, dia melukai putrinya sendiri sampai seperti ini. 

Maafkan Ayah, Selena.

Maafkan Ayah.

Usianya baru saja menginjak sebelas tahun, ketika Selena menerima hukuman untuk yang pertama kalinya. Dari ibu yang dia percayai tak akan pernah melukai. 

"Aku titip bentar anakku ya, Neng. Sampai mbak mu tenang, nanti mas yang jemput ke sini." Rayhan mengecup dahi Selena lalu dia pergi dengan enggan dari rumah Cristine.

"Bunda. Hiks... Selena tolong. Huhuhu..." Cristine masih menangis sesenggukan sambil memeluk tubuh Selena yang bergerak gelisah, mencoba menenangkan.

Malam itu Selena demam akibat luka-luka di sekujur tubuhnya. Dalam tidurnya dia akan bergumam maaf pada Lyana. Cristine yang tidur disebelahnya terus memeluknya erat dan kembali menangis.

Malam itu dia berjanji untuk menjaga Selena, supaya tidak merasakan sakit lagi, seperti yang dialaminya sekarang ini. 

Hampir sebulan lebih Selena berada di rumah Cristine. Wajah mungilnya tremor, matanya di penuhi rasa takut. Saat dia melihat ponsel, Selena akan menangis keras dan meraung-raung kesakitan. Padahal saat itu luka-lukanya sudah sembuh.

Saat Lyana menjemputnya pulang. Selena memeluk erat Warda dan tangannya meraih tangan Cristine, seakan itu merupakan satu-satunya tangan yang tidak akan pernah melukainya.

Namun, saat dia melihat tangan Lyana hampir menyentuh tangan Cristine, Selena mulai berjuang. Dengan air mata mengalir dia meraih tangan Lyana dan memintanya membawanya segera pulang ke rumah. 

Selena takut Lyana akan menyakiti Cristine, seperti bagaimana dia menyakiti dirinya. 

Lyana menggendong Selena, dan mengusap rambut halus putrinya penuh sayang. Bersikap seolah-olah wanita itu tidak lakukan apapun terhadap putrinya sendiri.

Selena membenamkan wajahnya ke bahu sang ibu, menyembunyikan mata sakitnya dari dunia.

****

"Kak."

"Kakak." panggil Marco lagi.

Selena yang sedang melamun langsung terkesiap saat bahunya di tepuk dari sisi kanannya.

Kepalanya menoleh, "Marco..."

Apa aku melamun lagi?

Ketika Selena mengingat tongkat itulah yang menciderai tubuhnya dengan parah. Gadis itu akan terus diingatkan dengan kejadian dari masa kecilnya.

Tongkat itu bukan saja menjadi pengingat ketakutan dari sang ibu. Melainkan sekarang, tongkat itu juga merupakan peringatan yang harus selalu terus dia ingat dan sumber dari ketakutan yang dirinya rasakan.

Tidak membuat malu keluarga. Jangan membuat kecewa dan selalu patuh.

"Kakak terus mengaduk makanan itu. Lihat, sudah seperti bubur." tunjuk Marco pada butiran nasi di atas piring dengan dagunya.

"Kakak sedang bingung dengan pekerjaan yang akan datang. Apa kamu mau makan? Kakak akan ambilkan."

Marco menggeleng, dia ke dapur untuk mengambil gergaji di kotak perkakas milik sang ayah.Saat dia masuk, dia melihat kakaknya menatap linglung tongkat jati yang terpajang di ruang makan.

Bocah cilik itu menghela napas bersalah kemudian. Meskipun dia tidak melihat secara langsung kejadian itu, dia sudah mendengar mengenai kakaknya yang di pecut oleh sang ibu dengan keras. Kejadian itu sangat ramai di bicarakan karena kakaknya itu kedapatan menonton hal tak senonoh bersama dengan temannya.

Walau sejujurnya baginya sendiri, dia tidak memercayai hal tersebut. Kakak perempuannya pemalu, semua orang tahu itu, melakukan tindakan tercela seperti menonton film dewasa, bukanlah sifat kakaknya. Namun sayangnya, selain dia, tidak ada siapapun yang percaya pada kakaknya.

"Apa kamu sudah mulai bekerja ditempat Om Burhan?" tanya Selena pada adiknya setelah ia lihat apa yang Marco pegang.

Dua hari yang lalu, Maya datang ke rumah mereka kemudian memberitahu kalau di rumah Andre sedang melakukan renovasi. Berhubung hanya Marco yang laki-laki, Maya pun meminta Marco supaya datang untuk membantu.

Walaupun Marco masih duduk di bangku sekolah dasar, dia sudah bisa bekerja dan menghasilkan uang yang cukup untuk dia bagi pada Selena.

"Iya. Apa kakak mau ikut. Tante Maya terus menanyakan kakak. Tante bilang kakak sudah jarang ke sana."

Salahkan Andre yang terus menggangguku! batin Selena menggerutu keras.

"Mama di sana kan. Jadi kakak jaga rumah saja. Kasih tahu Tante Maya, kakak akan ke sana hari minggu depan, Dek."

"Akan aku sampaikan. Kalau begitu aku berangkat." pamit Marco. Sebelum dia pergi, dia mencium punggung tangan Selena dengan santun.

Hanya pada kakak perempuannya saja, Marco akan berubah menjadi lemah lembut. Berbeda sekali dengan sikapnya terhadap orang-orang yang tidak dia sukai. Marco akan dengan jelas menunjukkannya.

Pada Lyana contohnya, mana mau Marco bersikap begitu pada ibunya sendiri.

"Hati-hati saat bekerja, Dek." gumam Selena lirih melihat kepergian adiknya. Yang sudah pasti Marco tidak bisa mendengar.

***

Don't forget support for this novel. Please vote, review and comment if you like this story. Thank you, guys.

avataravatar
Next chapter