webnovel

SEMANGAT HIDUP

Ray dan Jake duduk di kursi bandara. Mereka menunggu Ryan Cox datang. Si Dolphin bisa melihat dengan jelas Jake sedang berpikir berat. Raut wajahnya terlihat cemas.

Dia merasa lega bisa membuat Jake ikut walaupun harus susah payah membujuk dan membuat kesepakatan. Ray sama sekali tidak menyangka jika Jake mengajukan syarat keikutsertaannya adalah menyadap sesi terapi Florence. Akhirnya dia mengiyakan meski dengan berat hati.

Sebenarnya apa pun syarat dari Jake Ray akan tetap menyanggupinya. Apa saja, asalkan si Shark mau bergabung. Ia merasa sedih melihat Jake hancur. Ditambah lagi pengangguran. Tentu saja semakin memperburuk keadaan.

Jake terlihat tidak terlalu peduli tentang skorsing ini. Bahkan dia berani mengambil resiko disuntik mati jika misi mereka gagal karena jati dirinya terbongkar. Hal yang membuatnya sangat merasa sakit adalah saat wanita yang dicintainya menghindarinya.

Jake menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, dia menatap langit-langit bandara yang membumbung tinggi. Tatapan matanya kosong.

"Hei, tenanglah. Tak akan terjadi apa-apa padanya. Dia baik-baik saja. Dia dan Bella terlihat bahagia." Ray tersenyum sambil menyentuh pundak Jake.

"Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Jika dia baik-baik saja, dia tidak membutuhkan terapi."

"Tidak papa, Jake. Dia pasti sembuh dengan terapi. Dia mengambil keputusan yang tepat. Jadi berhentilah khawatir." Ray menatap dalam mata hijau milik Jake.

Jake tersenyum hambar sambil mengangguk pelan, "Terima kasih." Jake menarik Ray ke dalam pelukannya dengan cepat lalu mengecup puncak kepalanya.

"Hei!" Ray mendorong tubuh Jake, "Lepaskan aku! Orang-orang akan berpikir kita kekasih." Ray kesal. Mereka semua sama, memperlakukannya seperti adik kecil.

"Yes, you are my lover." Jake tertawa.

"Jake, kenapa kau menyuruh Ryan yang mengatakan pada Florence untuk menghapus tatonya. Kau membawanya jauh-jauh ke Thailand hanya untuk mengatakan hal itu? Kenapa tidak kau sendiri saja yang bilang begitu?" tanya Ray heran.

Ray tidak habis pikir. Berapa banyak uang yang harus Jake keluarkan untuk membiayai Ryan Cox hanya demi berkata, "Flo, hapus tatomu! Berbahaya." Ray menggelengkan kepalanya.

"Dia bisa ketakutan jika melihatku. Aku dan Edward satu paket. Aku dan kisah tragisnya satu paket." Jake menarik napas dalam-dalam.

"Kami yang bilang seperti itu. Sama saja." Ray berkomentar.

"Tidak bisa. Aku yakin saat dia melihat kalian, dia akan berpikir aku ada di situ. Dia tidak tahu kau ada di sana, bukan?"

"Tidak. Dia tidak tau." Ray berkata dengan yakin.

"Kau yakin?" Jake menatap penuh selidik.

"Iya!" Ray kesal.

"Hemmm kau mencurigakan, Ray. Kau ingat beberapa bulan yang lalu? Harusnya dia tidak perlu tahu hal-hal mendetail. Kau malah ceritakan semua." Jake masih tak percaya.

"Sudahlah kalau kau tidak percaya!" Ray melipat tangan ke dada. Dia kesal. Dalam hati dia berharap semoga Florence tidak tahu beberapa hari yang lalu dia mengunjunginya.

Tak lama kemudian Jake mengangkat tangan. Dia melambai pada Ryan .

"Kalian sudah lama?" tanya Ryan .

"Tidak juga." Jake tersenyum, "Maaf merepotkanmu."

"Tidak sama sekali. Aku berhutang sepuluh kali lipat gajiku," ucap Ryan sambil tertawa. Mereka semua tertawa bersama.

Ketiganya pun memasuki ruang tunggu di depan gerbang keberangkatan. Mereka membicarakan hal lain. Hingga tidak terasa waktu keberangkatan telah tiba.

***

Ray, Jake dan Ryan menaiki taksi online menuju villa Dexter. Dalam perjalan mereka berusaha untuk tidur sebentar. Belasan jam di pesawat membuat mereka sangat kelelahan.

"Villa siapa ini?" tanya Jake kepada Ray.

"Ini villa klien kita. Dia bahkan punya beberapa," terang Ray cuek.

"Wah, dia sangat kaya rupanya." Jake memandangi villa super mewah yang terletak di pinggir pantai.

"Mari, Ryan , Jake." Ray melangkah lebih dulu. Mereka berjalan masuk menuju ruang tamu.

Jake terkejut melihat semua teman-temannya sudah berada di sana. Dia memandangi Ray dengan geram, "Kau menipuku?! Sialan!"

"Menipu? Tidak begitu ceritanya. Kau datang karena Florence, bukan? Tidak karena kami." Ray menjawab dengan sangat cuek dan dramatis.

"Jake, hei?! Apa kabarmu? Jadi apa, kami menipu? Begitukah setelah kita lama tidak bertemu?" Oscar menggelengkan kepalanya dengan raut wajah kecewa.

"Tentu saja tidak., Kawan." Jake membuka tangannya. Dia memeluk Oscar dengan erat.

"Jake, kami sangat merindukanmu, Teman." Daniel memeluk erat Jake, "Kenapa kau menjauh?" Starfish menepuk punggung Jake dengan hangat.

"Aku merasa bersalah pada kalian semua. Kalian kehilangan pekerjaan karena itu, aku jadi malu bertemu kalian." Jake menatap mereka satu per satu.

"Kau bicara apa?" Arlo menggelengkan kepala mendengar perkataan Jake.

Jake memandangi Arlo si Octopus Dark Ocean. Mata birunya terlihat cemas. Rambutnya yang berwarna putih platinum terlihat berantakan. Si Octopus terlihat tampan dalam kondisi apa pun bahkan saat berantakan sekali pun.

"Maafkan aku." Jake juga memeluk Arlo.

"Berhentilah meminta maaf!" Arlo menepuk punggung Jake.

"Mari kita bekerja seperti dulu." Oscar berkata dengan optimis.

"Halo, Ryan ." Oscar menyalami si detektif asuransi.

"Halo ... Kehormatan bagiku bisa bertemu Tim Dark Ocean yang legendaris," ucap Ryan sambil menyalami mereka bergantian.

"Terima kasih sudah mau datang," ucap Daniel tersenyum ramah. Dia jadi teringat pertemuan pertama mereka di makam Florence lalu baku hantam di gudang penyimpanan gandum. Di dalam hati dia tertawa, tidak menyangka mereka justru bisa sedekat ini.

"Oke, Ryan , Jake. Mari kita istirahat dulu. Aku sangat kelelahan besok pagi kita temui Florence," ucap Ray sambil menguap. Matanya terlihat merah dan berair.

***

Ray dan Jake berdiri di seberang jalan memperhatikan sebuah sekolah. Mata mereka tidak lepas memperhatikan halaman di luar pagar sekolah. Ryan sudah berada di halaman sekolah, lebih tepatnya di parkiran. Dia berdiri di sudut agar mendapatkan sudut pandang yang sempurna.

"Florence datang," ucap Ray. Dia bicara di alat komunikasi mereka.

"Siap," sahut Ryan .

Ray melihat ke arah Jake yang berdiri di sisinya. Si Shark memandangi mobil Florence yang berhenti di area parkiran. Ray bisa melihat raut wajah Jake berubah.

Mereka memperhatikan Florence. Wanita masih belum keluar dari mobil. Ryan juga begitu. Dia menunggu Florence segera keluar dari mobilnya.

"Dia biasanya keluar?" Jake mulai cemas.

"Dia pasti keluar. Anak-anak tidak diperbolehkan keluar dari pagar. Jika yang menjemput tidak memiliki kartu wali murid anak tidak boleh dibawa pulang. Tenanglah. Kau pasti bisa melihatnya," seloroh Ray menggoda Si Shark.

"Tidak, bukan begitu. Bagaimana Ryan memberitahunya jika dia tidak keluar dari mobil. Terlalu mencurigakan jika Ryan tiba-tiba mendatangi mobilnya." Jake berargumen.

"Dia pasti keluar dari mobil. Kau tidak mau melihatnya dari dekat?" Ray menatap wajah Jake.

"Kau mau melihatnya? Aku bisa menahannya cukup lama." Ryan menimpali. Mereka berkomunikasi secara paralel.

"Tidak. Aku di sini saja." Jake menolak.

Pintu mobil Florence dibuka dari dalam.

Jake menahan napas. Dia akan segera melihat wanita yang begitu dicintainya. Ia merindukan Florence siang dan malam. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mempertahankan wanita itu agar tetap di sisinya. Jake menanggung rasa itu sendirian. Menahan rindu yang mendalam sementara Florence justru menghindarinya sejauh mungkin.

Tatapan mereka segaris lurus melihat di depan, ke arah Florence yang baru keluar dari mobil. Florence berdiri dan bersandar di sisi kanan pintu mobil. Melihat ke pagar menunggu Bella. Terlihat putrinya berlari dari kejauhan. Menyongsong dirinya.

"Aku bergerak." Ryan memberi informasi.

"Pergilah, Jake." Ray mendorong tubuh Jake.

Jake melihat ke arah Ray, "Pergilah. Lihatlah dia mumpung kau di sini. Jangan sia-siakan kesempatan," bujuk Ray memandangi iris hijau Jake.

Jake mengangguk pelan. Dia menurunkan topi dalam-dalam lalu melangkah ke seberang jalan. Jake melihat ke arah Florence di seberang sana. Jantungnya berdebar cepat. Jake sangat khawatir Florence melihatnya. Namun, dia tidak sanggup lagi. Rasa rindu setiap hari semakin kuat menghimpit dadanya.

Ray melihat Ryan berjalan lebih cepat ke arah Florence. Jake juga sudah sampai di area parkiran sekolah. Ray menghela napas panjang di gugup dan tegang. Hanya Florence yang mampu merubah pendirian Jake dan membuat laki-laki itu pada akhirnya keluar dari persembunyian.

Jake memperlambat langkahnya. Ryan hanya berjarak lima meter dari Florence. Begitu pula dirinya.

"Hei, Florence!" Jake melihat Ryan menyapa Florence dengan nada dan wajah terkejut.

"Hai, Ryan?! Wow. Oh, My God. Ini sangat mengejutkan. Kau di sini? Kau tidak mengejarku, bukan? Masalah asuransiku sudah beres, bukan?" Florence sangat terkejut. Senyuman terkembang di bibirnya. Jake tersenyum ketika melihat senyuman Florence dengan mata memerah.

"Apa?! Hahahaha. Tentu saja tidak." Ryan menggeser tubuhnya saat melihat Jake hampir tiba di depan mereka. Dia menutupi pandangan Florence agar tidak memperhatikan seseorang yang hampir berlalu di depannya.

Angin bertiup lembut menyapu rambut blonde Florence. Rambut itu sudah terlihat panjang sepundaknya. Jake memandanginya dalam diam. Perasaan cinta membuncah hebat di dalam dadanya. Betapa dia ingin memeluk erat Florence ke dalam dekapannya.

Langkah Jake terasa berat. Tanpa dia inginkan tubuhnya seperti hendak diam di tempat saat beberapa langkah lagi ia mencapai Ryan yang berdiri tepat di depan Florence. Wanita yang dicintainya itu tidak melihatnya. Dia terfokus pada Ryan .

"Apa kabarmu, Ryan ? Apa yang kau lakukan di sini?" Florence memandangi wajah Ryan . Tepat di saat yang sama Jake melintas di depannya. Dia belakang tubuh Ryan .

"Aku sedang mengejar nasabah. Kabar yang kudengar, dia ke sini dan membuat identitas baru," ucap Ryan sambil menggelengkan kepala seolah gusar. Dia merasakan ada seseorang yang berlalu di belakangnya.

Jake menundukkan wajah dalam-dalam. Tubuhnya bergetar saat mendengar suara wanita yang sudah memeluk erat hatinya sejak bertahun-tahun lalu. Air mata Jake menetes tanpa dia kehendaki. Rasa rindu. Cinta, sedih dan juga haru menyatu di dalam hatinya. Perasaannya sedikit lega mengetahui Florence baik-baik saja. Sepertinya Florence hidup dengan baik saat berjauhan dengannya. Florence sudah bisa tersenyum setelah sekian lama dia tidak pernah lagi melihat senyuman itu.

"Oh, tidak! Florence, kau harus menghapus tatomu itu." Ryan menunjuk pergelangan kaki kanan Florence, "Sangat berbahaya jika kau masih memilikinya," kata Ryan dengan nada tegas sarat kecemasan.

"Ya, aku akan segera menghapusnya. Terima kasih, Ryan ." Florence mengangguk dan Jake semakin menjauh dari mereka.

"Segera, Florence!" Ryan menegaskan.

"Ya, aku hanya memikirkan Bella. Siapa yang mengurusnya saat aku menjalani masa penyembuhan setelah operasi." Suara Florence mulai terdengar sayup-sayup di telinga Jake.

"Jika kau ditangkap Don Juan, siapa yang akan mengurus Bella? Mereka ada di sini, Florence." Ryan berkata penuh penekanan.

"Baiklah, hari ini aku akan mendatangi dokter bedah plastik," ucap Florence. Terdengar nada khawatir di dalam suaranya.

Jake mengangguk pelan saat mendengarnya. Suara Florence sudah hampir tidak terdengar lagi, tapi dia sudah merasa tenang saat mendengar Florence mengatakan akan segera menghapus tatonya.

Jake tidak mendengar lagi pembicaraan mereka berdua. Dia melangkah mendekati Ray. Perasaannya menghangat. Dia menarik napas panjang dan dalam.

Ray menanti Jake kembali ke sisinya. Dia bisa melihat sinar kebahagiaan mulai terlihat di mata Jake. Setelah sebelumnya yang terlihat hanya kehampaan dan kekosongan. Ia bahagia bisa membuat si Shark kembali bersemangat.

"Bagaimana? Dia masih secantik dulu?" tanya Ray sambil tersenyum saat Jake kembali ke sisinya.

"Dia selalu cantik," kata Jake sambil tersenyum.

Ray tertawa melihat senyuman Jake. Dia tampak sangat jauh berbeda dibanding kemarin saat Ray melihat Jake di kelab malam dan di bandara. Ketika itu dia terlihat begitu hancur.

"Oke. Misi hari ini selesai. Besok kita selesaikan Aran. Kau siap?" tanya Ray.

"Aku selalu siap." Jake menimpali.

Ray tertawa saat mendengarnya. Dia bahagia. Sangat bahagia. Dia berhasil memberikan keinginan hidup pada Jake meski harus lewat Florence.

Ray dan Jake melihat ke arah Ryan dan Florence di kejauhan. Florence melambaikan tangan kepada Ryan saat melihat Bella sudah menunggu di pagar.

Florence berjalan mendekati pagar sekolah. Bella berlari ke pelukannya. Florence pun memperlihatkan kartu pada petugas keamanan. Mereka mengangguk, Florence menggenggam tangan Bella yang mungil. Menuntunnya menuju mobil.

"Terima kasih, Ryan ." ucap Jake. Mereka semua pergi dari tempat itu.