webnovel

ACE

HAPPY READING

"Deuce!"

Para penonton langsung berdiri dan bersorak marah saat mendengar seruan dingin penjaga garis itu. Suasana lapangan tenis itu memanas dan semakin tegang karena menit-menit terus berlalu sedangkan nilai yang diperoleh kedua pemain yang sedang sibuk berlari dalam lapangan terus saja berkejar-kejaran. Aroma persaingan yang bercampur keringat tampak membasahi tubuh kekar kedua pemain pria itu seperti feromon yang memancing emosi dalam diri semua penonton yang sedang memadati lapangan yang berkapasitas puluhan ribu orang itu.

Sambil mengunyah permen karetnya, Marcus Stewart mengabaikan semua makian kasar, teriakan marah, sorakan senang, dan bahkan pujian berlebihan yang terus dilantunkan bergantian oleh beberapa penonton yang duduk disekitarnya. Tatapan matanya tetap focus pada permainan keras yang sedang berlangsung didepannya, terutama pada pria tampan berkulit gelap yang terus bergerak cepat ditengah lapangan yang sudah menjadi saksi kebangkitan maupun kejatuhan seorang pemain tennis pro.

"Dasar bodoh! Seharusnya dia tidak melompat ke kiri!" gumam Marcus pelan dengan bibir mencibir. "Ck, Dia pasti kurang berlatih!" Komentarnya lagi tanpa mengalihkan sedikit pun perhatiannya dari pria yang pasti akan langsung membunuhnya jika tahu dia sedang duduk diantara para penonton yang mulai anarkis ini.

Hanya dengan melihat bibir tipis Max Sutherland yang terkatup rapat, dia tahu pria yang dijuluki Thunder oleh media itu sedang menahan diri. Menahan kemarahannya yang seperti bom waktu yang bisa meledak setiap saat. Semuanya tidak berubah ternyata. Waktu memang berlalu, namun sosok jangkung yang sedang melempar tinggi bola, mengayunkan lengannya kuat sebelum mengirimkan servis mematikan dengan tangan kirinya itu tetap sama, dingin dan tidak pernah mengampuni lawannya.

Tapi, akan kupastikan dia tidak akan bisa menolakku kali ini, batin Marcus dengan seringai kecil dibibirnya tepat saat penjaga garis berseru kuat,"Fault!" Yang sontak kembali membuat seisi lapangan dipenuhi teriakan kesal penuh emosi.

Trevor, blasteran Korea-Amerika, lawan sekaligus sahabat Max itu memang tidak pernah menjadi lawan yang mudah. Dia cepat, kuat, tidak kenal lelah dan sepertinya punya segudang taktik licik yang tidak boleh diremehkan. Menyeringai dingin saat melihat Max sedang bersiap di baseline, bersiap untuk melakukan servis lagi. Tidak terlihat takut sedikit pun dalam mata pria yang wajahnya sering menghiasi sampul majalah gossip itu.

Pukulan ace itu meluncur cepat, kuat dan hampir tidak berhasil ditangkis oleh Trevor yang masih mampu tersenyum menggoda. Dropshot, backhand, spin, groundstroke, silih berganti dilakukan kedua pemain yang sedang mengejar waktu itu. Decit sepatu yang mengesek lapangan dan bunyi dentuman bola yang membentur raket mengisi keheningan lapangan yang para penontonnya sedang sibuk menahan nafas. Seperti biasanya, Max bermain dengan dingin, cepat dan tanpa sedikit pun ekspresi diwajah tampannya yang sedikit tirus.

Tepat saat waktu akan berakhir, Max melakukan lompatan tinggi sebelum men-smash kuat bola kecil itu hingga jatuh jauh di luar baseline yang membuat Trevor tidak bisa menjangkaunya lagi. Ditengah emosi dan adrenalin penuh ketegangan yang memuncak itu, pertandingan final di siang hari yang panas terik itu selesai dan lapangan dipenuhi teriakan dan sorakan nama Max yang membahana.

Max Sutherland, untuk ke 3 kalinya menjadi juara Tennis US Indoor!

Dengan gaya arogannya, pria berusia 30 tahun dengan tubuh tinggi menjulang itu tersenyum tipis dan sedikit membungkuk pada para fansnya sebelum berjalan menghampiri Trevor yang memasang ekspresi kesal untuk bersalaman. "Minum-minum kita batal!" gumamnya tegas pada sahabat sekaligus rivalnya itu seraya melirik cepat ke satu titik yang sudah membuat jantungnya berdebar kencang meski pertandingan brutal tadi sudah selesai.

"Dia terlihat panas." Bryan Trevor tersenyum lebar saat melihat tatapan membunuh dalam mata dingin salah satu sahabat terbaik yang dimilikinya. "Selamat berjuang." Tambahnya jahil sebelum berbalik dan langsung mengumbar senyum malaikatnya kearah media yang selalu menunggu dan siap memujanya, baik dia kalah maupun menang.

Memangnya siapa yang bisa menolak pesona mematikan Trevor, putra sang billioner?

.

.

Dengan langkah lebar Marcus berusaha keluar dari stadium yang masih dipenuhi lautan orang itu. Dia memang ingin menemui si tampan itu, tapi bukan sekarang. Di saat dia masih terlihat seperti remaja konyol karena hanya menggenakan hodie kebesaran, jeans hitam dan topi baseball. Hanya dalam 10 detik tadi, saat tatapan tajam Max seperti memakunya untuk tidak bergerak, Marcus sadar jika untuk kali ini dia tidak akan bisa lari dan tidak mau lari lagi.

"Mr. Stewart,"

Panggilan keras itu diabaikan Marcus yang terus berjalan cepat diantara kerumunan penonton tanpa peduli pada beberapa orang yang menabraknya. "Tunggu, Mr. Stewart!" Kali ini setelah menghela nafas kesal dan sedikit menghentakkan kakinya, Marcus berbalik cepat dan langsung menatap dingin pada manager Max yang sudah berdiri didepannya dengan senyum bodoh.

"Silakan ikut saya."

Lelah untuk berargumen yang pasti tidak akan dimenangkannya, Marcus hanya mengangguk kecil dan mengikuti langkah pria berambut pirang itu menuju ruang ganti pemain yang terletak disisi lain lapangan yang mulai sepi. Melihat ke sekeliling tempat yang penuh kenangan manis itu sebelum mendesah pelan saat menyadari kali ini dia harus memperbaiki semuanya, mengambil kembali apa yang sejak awal adalah miliknya.

Pintu terbuka dengan suara berderit pelan sebelum Marcus melangkah masuk dalam ruangan luas yang terdapat beberapa bilik yang ditutupi kain tebal. Ruang pijit. Tangan Marcus tiba-tiba saja terasa dingin saat bayangan tak terlupakan itu menari dalam benaknya dan membuatnya tanpa sadar berbalik, berpikir untuk pergi sejauh mungkin.

Jantungnya berdebar kencang, antara perasaan ingin dan takut. Pipinya memanas saat memikirkan jika hanya dalam beberapa langkah dia akan kembali dalam hidup pria yang paling berpengaruh untuknya. Seluruh tubuh Marcus bahkan mulai menggigil saat mengingat aroma sitrus bercampur keringat pria sombong yang tidak pernah ragu untuk memilihnya itu. Semua kenangan yang pernah mereka lalui bersama sebelum badai yang dibencinya itu datang dan menghancurkan semuanya.

"Sedang berpikir untuk kabur lagi, Marcus."

Suara datar yang familiar itu seperti menghipnotis Marcus yang tanpa sadar terkesiap sebelum perlahan melangkah maju dan langsung masuk dalam pelukan hangat yang sudah begitu dirindukannya. "Tentu saja tidak," jawabnya pelan dengan senyum yakin sebelum membiarkan sekat dibelakang mereka tertutup dan pria yang masih memeluknya kuat sudah menunduk untuk menciumnya.

"Aku kembali, Max." Gumam Marcus pelan sebelum mulai membalas ciuman hangat pria yang seluruh tubuhnya masih dibasahi keringat itu. "Bau-mu seperti sapi!" gerutunya asal untuk menutupi perasaan aneh yang membuat kakinya terasa lemas karena tatapan intens dari Max yang seperti sedang menelanjanginya.

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

Creation is hard, cheer me up!

Like it ? Add to library!

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

AphroditeThemiscreators' thoughts