webnovel

Derita Wanita Kedua

Blurb: "Wajah saya memang tidak cantik Mas, tapi kalau berproduksi ... Insyaallah masih berkualitas..." "Tapi say tidak mau anak saya mewarisi kejelakan mu itu. Bisa-bisa ketampanan saya ini dipertanyakan dunia.... Masak ganteng2 istrinya jelek." Melani sudah terbiasa mendengar kalimat hinaan dan meremehkan itu. Apalagi dari lelaki yg sudah sah menjadi suaminya. Andai saja ini bukan syarat untuk mendaptkn warisan itu, faisal pun ogah menikahi Melani yg berparas pas-pasan. Tapi mampukah Melani meluluhkan ego Faisal dengan kurangan yg dia miliki? Haruskah dia menjadi cantik hanya agar mendapatkan cinta?

Mrs_Jarsey · Urban
Not enough ratings
12 Chs

Lingkaran Saturnus Meresahkan

SETENGAH JAM SEBELUMNYA...

"Segendut itu ya aku? Sampai dikatain hamil." Melani mengomel sepanjang jalan ke parkiran motor.

Diambilnya kunci dari dalam tas. Bersamaan dengan itu, lagu Kahitna terdengar. Tangan Melani mengacak-acak isi tas. Mencari sumber suara.

"Halo?" Melani menerima panggilan telepon.

"Cint, yu di mana?" Suara bas kemayu membalas. "Sibuk nggak, Shay? Meet up yuk. Gegana, nih. Gelisah galon menganga."

Melani menggigit bibir. Dia sendiri mau langsung pulang. Apalagi anak tirinya sedang di rumah sakit. Masa dia hang out dengan teman cabe-cabean?

"Cint? Helaw? Are you still there? Temenin gue jalan dong." Pria di seberang sana merengek manja. "Gue lagi broken."

"Oke. Di mana?" Melani angkat tangan. Sahabat satunya itu tidak akan berhenti merengek kalau tidak dituruti maunya.

"Mall yang di dekat bioskop yes?"

"Oke. On the way."

Melani mengembalikan ponsep dalam tas. Sejenak, dia terdiam. "Bego, kenapa nggak ketemuan di mall sini."

Mall yang dituju jaraknya jauh dari rumah sakit. Butuh waktu setengah jam dengan kemacetan kota. Melani menelepon sahabatnya. Namun panggilannya tidak terjawab.

Desahan panjang lolos dari mulit Melani. "Ya, sudahlah."

***

"Mel!"

Pria kurus dengan baju ketat berwarna putih bergambar micky mouse, melambaikan tangan. Rambutnya klimis belah kiri. Lalu, ada sedikit poni berwarna maroon menjuntai di dahinya.

Melani melihat jelas sahabat absurdnya. Pria itu jangkung, kurus dengan otot bisep yang menonjol, tapi gesturnya berbeda dari yang lain. Entah, masih bisa disebut pria atau bagaimana.

Namun selama berjakun dan bertelur dua, Melani masih menganggapnya cowok. Tapi kalau Sarah memanggilnya "Sist genit."

"Ya ampun, gue nungguin lo dari tadi."

"Jauh, Jo."

Jo merengkuh lengan empuk Melani. "Rumah lo kan dekat sini, cint."

"Please, aku kan udah nikah. Nggak tinggal di rumah ibu lagi."

Jo menepuk dahi. "Eh iya, lupa. Lo sih nggak undang kita-kita."

Sudut bibir Melani hanya sedikit terangkat. "Harus berapa kali aku bilang, sih, Jo. Sudahlah jangan dibahas. Bikin bad mood."

"Ih."Jo mencubit kecil lengan Melani yang penuh daging. "Lo belum kasih tahu gue apa-apa. Lo kasih tahu Sarah kali."

Melani mengedikkan bahu. "Jangan dibahas sudah."

Tidak ada hal bagus membicarakan tentang pernikahannya. Pernikahan itu bencana. Kenapa juga bisa berjodoh dengan orang setega Faisal. Ada dosa apa sih, dia?

"Shay, lo sudah makan? Gue laper nih."

Melani memegang perut berlemaknya. Kalau biasanya dia tidak akan pikir dua kali untuk makan, tapi kali ini dia harus berpikir lagi gara-gara lingkaran saturnus.

"Kamu aja ya-"

"Mel, restoran Jepang itu kek nya enak. Lo belum pernah coba, kan?" Jo menunjuk salah satu restoran yang berada di sebelah kirinya.

Melani menggeleng.

"Gue pengin. Tapi mahal ya." Pria itu melirik daftar harga yang terpajang di depan resto.

Melani memandangi salah satu restoran yang menyajikan masakan Jepang di mall. Terlihat tidak terlalu ramai dan nyaman.

"Ayo, aku traktir."

Jo melotot. "Lo serius? Mahal lho. Lo ada uang?"

Sebagai sahabat, Jo tahu siapa Melani, apa pekerjaan wanita itu dan bagaimana kehidupannya. Untuk makan di dalam mall, apalagi di restoran ternama, isi dompet Melani tidak cukup untuk makan berdua.

"Ya asal kamu makannya nggak kayak orang kesurupan."

Melani ingat, uang diberikan oleh mertuanya masih ada beberapa ratus ribu. Niatnya mau dikembalikan. Tapi karena jengkel, sebal, bad mood, kenapa tidak dihabiskan saja? Toh katanya uang Faisal masih banyak.

'Enak saja, perempuan lain yang menikmati.' Melani mengulum bibir.

"Oke, gue janji. Porsi makan gue imut kok."

Jo memilihkan tempat duduk di sofa yang berada di pojokkan. Melani tidak heran. Jo suka ambil tempat pojok.

Pelayan resto memberikan menu dan meninggalkan mereka agar nyaman memilih. Manik Jo bergerak-gerak memelototi harga makanan yang tidak receh.

"Mel, gue bingung mau pilih mana. Patungan aja deh."

Melani mengibas tangan. "Apa sih, Jo. Santai. Pilih aja mana yang kamu suka. Tapi nggak lebih dari empat ratus ribu, ya."

Jo menyengir. Bibir berkumis tipis melayangkan cium jauh. "Lo emang sahabat terbaik."

"Dari dulu kali." Melani membalik lembaran menu.

Kalau tidak ada uang di dompetnya, mungkin mata bulat itu juga ikut melotot. Harga sushi saja bisa melebih harga soto di pinggiran jalan.

"Gue pesan ramen ya? Sama udon. Kalo boleh sih." Jo merayu manja.

Melani melirik menu, mencari nama makanan ramen dan udon. Bola matanya beralih ke kanan menuju harga.

"Oke, boleh."

"Minumnya teh hijau aja. Biar murah."

Melani membalik lagi ke menu bagian minuman. Glek! Harga teh hijau lebih mahal daripada teh tawar.

'Ini teh hijau dari Jepang? Mahal banget,' batin Melani gemas.

"Lo pesen apa?"

"Hah?" Melani mendongak. Tangannya menggaruk kepala. "Aku bingung. Kamu aja yang pesenin ya." Buku menu miliknya ditutup.

Bibir Jo mincep. "Hm, dari tadi lo pantengin buku menu, gue kira sudah milih." Dia membuka lagi buku berwarna merah tua. "Samain sama gue aja. Dijamin enak."

"Ramen? Mie? Yang porsinya lebih sedikit ada nggak?"

"Ada. Sushi. Tapi lo nggak bakal kenyang. Porsinya kecil-kecil. Itu cuma camilan buat lo."

Melani merengut. "Sushi itu cukup," jawabnya sengit. Kurang lebih, Jo terdengar menyindirnya. "Tehnya yang tawar aja ya."

Jo melambaikan tangan pada pelayan dan menyerahkan buku menu serta kertas pesanan.

"Lo diet?" tanya Jo tiba-tiba.

"Nggaklah!" Melani menguncir rambut. Pertanyaan Jo membuat dia kepanasan.

"Ih, kok lo sewot?" Dahi Jo mengerut. "Lo ada masalah? Kalo lo tiba-tiba aneh, biasanya ada sesuatu. Ada apa sih?"

Banyak! Masalah punya suami jahat sama istri, suami masih ngurusin mantan. Belum lagi si mantan masih suka nempel mirip cicak. Terus ada ibu-ibu yang bilang aku hamil! Astaga! Dunia macam apa ini!

Melani ingin menjeritkan semua keluh kesahnya. Namun kepalanya berakhir menggeleng.

"Aku nggak apa-apa, Jo."

Jo menyipitkan mata. Melihat Melani dari atas ke bawah. Pria kemayu itu mencibir.

"Gue nggak percaya. Tapi, ya sudah. Lo bisa cerita kapan aja kalau lo butuh teman curhat."

Jo merapikan poninya.

"Gue merasa seperti terasing. Sarah sekarang susah dihubungi. Dia jarang curhat kayak dulu. Eh sekarang lo yang aneh. Herman yes sama para wanita. Gue jadi wanita aja nggak gitu-gitu amat."

Melani menggaruk rambutnya lagi. Dia bukannya mau menyembunyikan masalah dari sahabatnya. Tapi, ini masalah rumah tangga. Bukan selayaknya konsumsi bersama.

"Sarah kenapa? Tadi aku ketemu dia kok sama pacar barunya."

Jari gemulai Jo menggebrak meja. "Apa? Pacar baru? Gilaaasss. Brondong lagi? Apa om-om?"

"Entahlah. Wajahnya bule. Agak tuaan. Tapi siapa yang tahu umurnya kan?"

Mulut Jo menganga. "Bule? Lo serius? Nggak lagi ngerjain gue, kan? Si Sarah kan bahasa inggrisnya zero." Jari Jo melingkar. "Kok bisa dia pacaran sama bule?"

"Pakai google translate kali." Melani mengedikkan bahu. "Udah lah. Sarah kan sahabat kita. Nggak usah ngomongin dia di belakang, Jo."

"Nggak gitunya, Mel. Gue kesel ma dia. Uda ada pacar baru, eh temennya dicuekin."

Mereka bukan orang yang saling cocok. Apalagi Sarah dan Jo. Lebih pas disebut predator dan makanan. Anehnya, kenapa mereka masih saja berteman dekat?

Mata Melani tidak sengaja melihat ke arah pintu masuk restoran. Wajah chubbynya menegang.

"Astaga! Jo, Jo. Cepet, tuker tempat."