Kalimat Faisal membuatnya bingung. "T-Terpaksa bagaimana, Mas?"
Mendadak perut Melani terasa tidak nyaman. Ada yang merayap di dalam sana dan memancing Melani meremas perutnya kuat-kuat.
"Papi nggak kasih aku warisan rumah sakit ini kalau nggak menikah sama kamu."
Melani melihat cengo ke arah Faisal. "Kupikir yang seperti ini cuma ada di sinetron."
Faisal menautkan kedua alis. Badannya kembali tegap. "Oh, selamat datang di dunia sinetron kalau begitu. Kamu pikir, aku bisa berpikir waras gara-gara surat wasiat itu?"
Melani bungkam. Sepertinya yang jauh tidak waras adalah dirinya. Kehidupan normal tapi terpaksa masuk ke dunia drama.
"Kenapa orangtuamu melakukannya?"
Faisal melipat kedua tangan. "Bukannya orangtuamu juga terlibat?" Bibir itu tersungging senyum mengejek. "Kamu jelas mau saja nikah sama pria ganteng dan mapan seperti aku."
"Pria seperti kamu?" sergah Melani. Tidak perlu pakai panggilan sopan "Mas Faisal". Nyatanya, pria di depannya memang bertindak kurang ajar. Terang-terangan bermeseran dengan mantan pacar.
"Maksudnya pria yang mudah dibodohi wanita yang bukan siapa-siapanya? Tapi sekaligus tidak bisa menghargai perasaan istri, bagian mananya yang bagus? Maaf ya. Kalau aku tahu dijodohkan sama kamu, aku tidak mau."
Melani berdiri, menyahut tas dan keluar kamar. Masa bodoh dengan anak tiri yang diam saat melihat drama perdebatan mereka tadi.
Melani gondok bukan main. Kaki gempalnya menghentak lamtai. Orang sekitar melihat dirinya seperti ibu-ibu habis menagih utang.
"Dasar cowok. Di mana-mana sama saja. Memang minta dipites ubun-ubunnya." Mulut Melani komat-kamit.
Dia menekan tombol lift ke lantai satu. Kotak besi itu bergerak lambat naik ke lantai tiga. Melani menekan lagi tombol itu berkali-kali.
"Sabar, Bu. Nanti tombolnya rusak."
Melani menoleh. Wanita yang usianya jauh lebih tua darinya, tersenyum. Di belakang wanita itu ada perempuan yang lebih muda darinya dengan perut buncit.
Melani melangkah mundur. Dirinya tidak enak hati kalau merusak properti rumah sakit milik suaminya. Bisa-bisa pria sok kegantengan itu minta ganti rugi.
Tapi kalau Melani pikir-pikir, sepertinya impas dengan rasa sakit hatinya gara-gara Faisal. Melani lalu menekan tombol lift itu sekali lagi dengan kasar, berharap dia benar-benar merusak tombol.
"Ibunya terburu-buru ya?"
Melani menjawab hanya dengan senyuman. Sebetulnya tidak terburu-buru juga. Tapi engap rasanya terlalu lama di rumah sakit itu.
"Dari menjenguk siapa?" tanya wanita tua itu lagi.
"Anak." Melani terpaksa menjawab. Tidak enak mengabaikan keramahan orang lain.
"Ooo, semoga lekas sembuh ya. Memang repot kalau sudah punya anak. Seperti anak saya. Sudah mau punya anak di usia muda. Sendirian lagi."
Melani melirik perempuan yang dia tebak usianya masih remaja.
"Untung anak saya kuat, meski saya malu juga," ucap Ibu itu lagi. "Ibunya juga yang kuat. Hamil saat ada anaknya yang sakit memang capek."
Alis Melani terangkat satu.
"Ibunya hamil berapa bulan?" tanya wanita tua itu sambil mengelus perut Melani.
Hamil?
Melani memandang perutnya. Sebelas tiga belas besarnya dengan perut anak wanita tua itu. Tapi sayangnya perut Melani masih sedikit lebih besar.
"Ini isinya bukan anak, Bu. Tapi lemak." Setelah berucap permisi, Melani berbalik arah dan memilih menaiki tangga.
***
"Totalnya tiga juta, Kak."
Vena menyodorkan kartu debit. Wanita yang bekerja sebagai kasir memproses belanjaan Vena.
Ada tiga shopping bag dengan isi keperluan Vena. Kasir itu mengembalikan kartu debit serta tas belanjaan pelanggan setia. Tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Sekali ringkus, Vena mengambil ketiga tas itu.
"Masih ada dua juta lagi. Belikan apa, ya?"
Dia menyusuri pertokoan. Di depan resto jepang, Vena berhenti. Akhir-akhir ini dia tergila-gila dengan masakan jepang. Menunya cocok untuk dirinya yang sedang diet.
Vena memilih tempat duduk yang nyaman. Sofa-sofa di samping dinding dengan sandaran setinggi kepala. Menjadikan pelanggan memiliki privasi.
Seorang pramusaji wanita berseragam hitam kombinasi rose, memberikan menu dan kertas pesanan.
Vena baru saja menghabiskan tiga juta uang Faisal. Masih ada sisa banyak untuk menyenangkan dirinya.
Dia melambaikan tangan. Pramusaji yang tadi menghampiri dan mengambil kertas pesanan serta menu.
Suara merdu michele bubble terdengar dari dalam tas jinjing Vena. Wanita itu merengut begitu melihat nama pemanggilnya.
"Halo, Om."
Dahi Vena berkerut. Kemudian disusul bibir merah turut mengerut.
"Yah, Om. Vena lagi makan. Nanti aja ya. Iya, Vena sudah minta uanh ke Faisal. Tapi Faisal ga kasih. Ini aja Vena makan murah-murahan soalnya uangnya tinggal sedikit."
Kalau masih penasaran siapa Vena, ikuti terus Derita Wanita kedua. Jangan lupa comment, vote dan sub yess