webnovel

Pengantar Koran

Deo tengah memandikan Dale, ponselnya malah berdering yang membuat Rea di sana segera meraihnya. "Pak! Ada telepon," ujar Rea.

Rea menyerahkan ponsel milik Deo, yang dengan cepat langsung disambar laki-laki itu. Sebelumnya, Deo membersihkan tangannya yang basah itu ke pakaiannya sendiri.

"Halo, Pak!"

[Pergilah lebih pagi, ada karyawan yang tidak bisa datang. Jadi, tugasnya saya serahkan sama kamu. Tenang saja, untuk bayaran hari ini akan jauh lebih banyak.]

Kalimat itu menutup panggilan. Deo melirik ke arah Rea. "Saya—"

"Pergi saja Pak, urusan Dale biar aku yang urus." Rea melebarkan senyumannya, saat tahu kalau Deo harus segera pergi saat ini juga.

Deo awalnya ragu, dia tidak biasa pergi sebelum putrinya siap. Namun, lagi-lagi ini demi uang lebih yang harus dia dapatkan. Mata Deo melirik Dale yang masih asyik bermain air, lantas pandangannya kembali mengarah pada sosok Rea.

Anggukan Rea membuat Deo pun kembali merasa tidak enak. Dia pergi setelah berpamitan dengan Dale. Sementara Dale tidak pernah mempermasalahkan kepergian ayahnya itu. Gadis kecil yang sangat pengertian.

***

Deo mengendarai sepedanya, menuju tempat kerja. Sebenarnya Deo memiliki satu unit motor, yang sebenarnya itu pun motor lama. Namun, sudah seminggu ini motornya ditahan oleh si penagih hutang karena Deo belum bisa membayar sisa hutangnya.

Sepanjang perjalanan, sambil mengayuh sepeda, Deo memikirkan masa depan Dale. Dia ingin sekali kalau kehidupan putrinya bisa lebih baik dari sekarang. Semoga dia bisa segera mengumpulkan uang, membayar semua hutang mantan istrinya, lantas bisa menyisihkan tabungannya untuk Dale nanti.

"Deo!"

"Dilbar?!" Beberapa orang yang dilewati Deo menyapa dengan berbagai panggilan.

Tidak ada senyuman atau sapaan balik, yang ada hanya suara lonceng dari sepeda tua milik Deo. Di era modern ini, laki-laki yang dikenal karena sikap cuek dan acuhnya itu bahkan tidak peduli dengan tanggapan orang mengenai dirinya.

Banyak rumor tentang kehidupan Deo yang beredar di luar sana. Namun, jangankan menanggapinya, Deo bahkan tidak menghiraukan semua itu. Dia selalu memasang ekspresi yang sama, yakni acuh.

Sepeda milik Deo terparkir di deretan sepeda motor modern. Dia berjalan menuju tempat pengambilan koran. "Hai, Deo. Bagaimana harimu?"

"Baik," jawabnya Deo dengan singkat.

Deo mengemasi dua paket koran, ya dia mengambil jatah koran temannya yang hari ini izin. Tanpa basa basi, Deo langsung menatanya di atas sepeda. Saat berniat untuk pergi, pemilik tempat itu malah menghentikannya.

"Deo, tunggu!" Sontak kaki Deo batal mengayuh sepeda.

Laki-laki tua dengan perut buncit itu menyodorkan sebuah kunci. Deo tidak bertanya, tetapi tampaknya laki-laki tersebut mengerti. "Ini kunci motor saya. Pakai saja, rute kamu kali ini agak jauh. Saya tahu kamu tidak hanya bekerja di sini bukan? Jadi, gunakan ini dan kamu bisa kembali lebih cepat."

Awalnya Deo ragu, tetapi tampaknya wajah bosnya itu meyakinkan Deo, kalau apa yang dilakukannya kali ini tidak akan mengurangi bayarannya.

"Bensinnya penuh. Kamu tidak perlu membeli bahan bakar lagi, jadi pakai saja. Anggap saja ini hadiah dari saya, karena kamu selalu rajin," ujarnya yang dengan cepat membuat Deo menyambar kunci motor tersebut.

Pak Bram hanya menggeleng melihat tingkah Deo. Dia sudah mengenal pemuda itu cukup lama, jadi sangat tau bagaimana watak seorang Deo Heidi.

"Koran! Koran pagi?!" teriak Deo sepanjang jalan. Dia mulai mengayuh sepedanya menuju rute yang biasa dia lalui.

"Tumben masih pagi, Mas Deo."

"Saya ada bagian ke tempat lain, Mbak. Permisi!" Deo berusaha ramah pada semua pelanggannya.

Kerasnya hidup di ibu kota memang memaksa Deo harus lebih kuat dan berani. Segala pekerjaan dia ambil, tanpa peduli pekerjaan jenis apa itu. Halal atau tidak, itu hanya persepsi orang lain. Bagi dirinya, semua halal, asalkan putrinya bisa makan, dan kebutuhannya terpenuhi.

Saat Deo melemparkan koran ke salah satu rumah. Bertepatan di saat pemiliknya membuka gerbang. Sontak, koran itu menimpa kepala si pemilik rumah.

"Eh, dasar brengsek. Turun kamu?!" teriaknya.

Deo menghentikan motornya, dia tidak ingin berdebat, tetapi kalau dia pergi begitu saja, yang ada urusannya akan semakin berantakan. Laki-laki bertubuh tinggi itu menghampiri Deo.

"Maaf Pak, saya tidak sengaja. Tadi saya—"

Bugh

Koran yang tadi menimpa laki-laki itu, kini sengaja dipukulkan ke kepala Deo. Tidak ada perlawanan, Deo hanya menunduk karena tahu ini memang kesalahannya. "Jadi tukang koran aja belagu kamu. Kalau kerja itu yang bener, jangan asal lempar. Kamu tahu siapa saya, hah?"

"Sekali lagi saya minta maaf, Pak."

"Siapa nama kamu?" tanyanya.

Deo mengangkat kepalanya, dia tahu kalau hal semacam ini akan dilaporkan. Tentu saja itu akan merugikan dirinya. "Jangan laporkan saya, Pak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Deo dengan tulus.

"Pa, kenapa ini? Kok, ribut-ribut." Seseorang keluar dari gerbang dan bertanya tentang kegaduhan di pagi itu.

Deo meliriknya sebentar, sontak wanita itu membulatkan matanya. Deo sedikit tersenyum, ternyata itu wanita yang pernah memesan jasanya beberapa waktu lalu.

"Pa, udahlah, gak usah diperpanjang. Kita masuk, yuk!" ajaknya.

Setelah kepergian mereka, rasanya Deo ingin berteriak dan mengetakan kalau istri orang sombong itu pernah tidur dengannya. Namun, Deo tidak ingin privasinya sebagai seorang laki-laki panggilan rusak dan terbongkar hanya karena masalah semacam ini.

Deo kembali melanjutkan pekerjaannya. Jam 10 siang, dia baru kembali ke tempat kerjanya. Melaporkan semuanya, juga sedikit menjelaskan apa yang terjadi padanya tadi.

"Itu bukan masalah, sekarang pergi bantu Pak Mario membereskan bengkelnya. Dia bilang, ada mobil yang ingin kamu tangani," ucap Bram.

Deo melirik jam di tangannya, dia masih ada waktu 2 jam untuk datang ke bar. "Sana pergi, nanti belikan saya minuman boba kalau kamu dapat upah."

"Baik Pak, terima kasih banyak."

Deo mengantongi uang dari Bram, lantas pergi dengan sepedanya menuju bengkel yang ada di sebrang tempat itu. Deo orang baik, dia juga sangat rajin, walaupun upah dari hasil kerja paginya tidak seberapa, dia tidak keberatan. Baginya, itu uang yang cukup.

***

Memilki paras yang tampan dan juga berprofesi sebagai bartender, memang sangat menguntungkan. Deo selalu mendapatkan banyak uang tambahan, dari para wanita yang menyukai kerjanya.

"Dilbar! Kau melihat Zeline?"

Deo mendongak, dia bisa menebak kalau wanita itu membutuhkan dirinya. "Dia belum datang," jawab Deo.

"Aku menginginkan kamu malam ini. Apa kau ada waktu?"

"Tanyakan pada Zeline, saya belum mengecek jadwal," jelas Deo.

Semua urusan pekerjaan di atas ranjang, sudah Deo serahkan pada Zeline. Dia hanya tinggal masuk ke kamar, tanpa tahu bagaimana prosedur mendapatkannya. Jadi, sekalipun ada yang memintanya secara langsung, Deo tidak akan menyetujuinya.

"Kabari aku kalau Zeline datang!" ucap wanita seksi itu, sembari mengedipkan sebelah matanya.

Akan tetapi, bukan mengiyakan kalimat itu, Deo malah memberikan kartu nama milik Zeline pada wanita tersebut. Seperginya wanita itu, Deo kembali fokus membersihkan semua meja yang ada di sana.

"Kamu liatin siapa?" tanya seseorang pada wanita yang sedari tadi mengamati Deo.

"Ah, Mas Gavin. Tidak, aku hanya sedang mengawasi para pekerja saja," ungkapnya memberi alasan.

"Kamu menyukai Deo?"

Sontak wanita itu membulatkan matanya. Dia dengan cepat menggeleng, tahu kalau tatapan sinis dari suaminya itu memiliki arti lain. "Apa Deo itu adalah Deo mantan suamimu, Helena?"

Helena terdiam, matanya kembali melirik ke arah Deo yang masih sibuk pada pekerjaan. Gelengan kepala Helena membuat Gavin merasakan sesuatu yang lain. Dia yakin, kalau Helena menyembunyikan sesuatu darinya.

"Kamu bukan lagi istrinya, jangan menatapnya seperti itu, atau kamu tahu akibatnya," ancam Gavin sembari menarik pipi Helena. Bukan sikap gemas, itu adalah cubitan yang menyakitkan.