webnovel

Pulang Lebih Awal

Kehidupan malam di ibu kota memang selalu menarik perhatian, terlebih bagi sebagian orang yang memang sudah menghabiskan harinya dengan bekerja. Mereka akan memanjakan dirinya dengan berbagai hal. Salah satunya, menikmati gemerlapnya dunia malam.

Sebuah bar di pinggiran kota yang terkenal, dihuni banyak sekali kalangan. Mereka berpesta setiap hari, melepaskan beban dengan cara seperti itu. Tidak ada yang salah, karena terkadang, kerasnya kehidupan hanya kita yang bisa tahu. Suara musik yang keras, teriakan, tawa, dan bahkan tangisan dari orang-orang putus asa sudah menjadi penghias suasana di tempat itu.

Danger Room — Indonesia. Sebuah bar nasional yang terkenal, bahkan sudah mendunia. Mereka menyediakan banyak sekali minuman langka dari berbagai belahan dunia. Pelayanan memuaskan dengan tempat yang sangat strategis, membuat siapa pun betah berada di sana.

"Hei, Dilbar! Minumanku mana?!" Sosok yang dipanggil itu pun mengambil sebotol minuman, dia berjalan dengan wajah tanpa ekspresi.

Semua orang selalu memandangnya dengan bahagia. Selain karena laki-laki itu datang dengan minuman, dia juga sosok yang sangat digandrungi para kaum hawa. Lihatlah, tanpa ekspresi saja dia sangat mempesona. Tidak ada satu pun yang pernah melihat senyuman laki-laki itu.

"Bawakan aku segelas wine lagi, ya!"

Masih tidak ada jawaban. Bartander tampan bernama Deo Heidi itu hanya mengangguk pelan. Tidak ada yang tersinggung, semua orang sudah tahu bagaimana sifat Deo.

Deo kembali berjalan bar konter. Dia meracik minuman untuk orang yang memasangnya tadi. Saat Deo tengah mengocok minuman tersebut, seseorang datang dan menyapanya. "Pulang dari sini kau free? Ada tamu yang menginginkanmu," ucapnya.

Tanpa melirik, Deo sudah tahu siapa itu. Wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang. Senyuman sudah mengembang sedari tadi, pertanda kalau dirinya menyukai apa yang ada di depannya itu.

"Dilbar, ayolah. Dia memberi harga mahal untuk tubuhmu," ujarnya.

"Hari ini aku ada janji dengan Dale."

"Kamu bisa menitipkannya pada Rea, kan?" bujuk Zeline terus-menerus.

Deo memberikan minuman yang sudah dia racik itu pada temannya. "Meja nomor 15, ruangan B!"

"Aku tidak bisa terus merepotkan wanita itu, Ze. Dia juga punya kesibukan sendiri. Lagian—"

"Aku hanya akan memotong 10% saja. Bagaimana?"

Deo melirik Zeline, itu penawaran yang langka dan sangat bagus. Namun, Deo sudah berjanji pada putrinya kalau dirinya akan pulang lebih cepat. Mata Deo mengatakan dia menginginkannya, tetapi dia tidak bisa mengingkari janjinya pada Dale.

"Dia berani bayar berapa?"

"Kamu mau, Deo?" Deo menggeleng dengan kuat, dia mengelap tangannya yang basah karena sisa minuman tadi.

Segelas wiski disodorkan Deo pada Zeline. Laki-laki tampan itu membereskan rambutnya menggunakan jari-jari lentiknya itu. "Ini gratis atau bayar?"

"Memang biasanya kamu suka bayar?" tanya balik Deo yang membuat Zeline tertawa renyah.

Sementara di sudut lain, satu pasang mata mengawasi pergerakan Deo. Orang itu lantas merogoh ponselnya dari dalam saku, melaporkan apa yang dilihatnya saat ini.

***

"Rea, Ale mau makan dulu, ya."

Edrea yang saat itu tengah fokus pada layar laptopnya pun, seketika melirik Dale. "Mau makan? Dale mau makan apa, biar Rea pesankan, ya?"

Edrea langsung bangkit, dia mengambil ponselnya, berniat untuk memesankan makanan untuk Dale. Dengan cepat Dale menggeleng. Dia menolak membeli makanan di luar, karena Dale sudah terbiasa memakan masakan ayahnya.

"Ale makan di rumah aja. Ayah udah masakin tadi pagi," ujar Dale

Mata Rea melirik jam di dinding kamarnya. Dia pun mengangguk, lantas mengantarkan Dale untuk pulang ke rumahnya. Tepat saat Rea membawa Dale keluar, di saat itu juga dia melihat Deo menaiki anak tangga.

"Ayah!" seru Dale.

"Ayah pulang cepat?" Deo hanya mengangguk dan itu membuat Dale melepaskan tangan Rea, lantas berpegangan pada Deo.

Rea tersenyum tipis, dia pun meminta izin untuk kembali masuk ke kamarnya. Namun, sebelum dia berhasil membuka pintu, Deo menghentikannya.

"Rea! Terima kasih, maaf merepotkan."

"Tidak apa, Pak Deo. Aku senang—" Kalimat Rea terhenti, karena Deo sudah pergi membawa Dale ke unitnya.

Padahal saat itu, Rea belum selesai mengucapkan kalimatnya. Dia pun membuang napasnya, lantas menutup pintu kamar.

Sementara itu, Deo sudah membawa Dale masuk ke rumahnya. Dia menghidupkan lampu, membereskan sisa mainan Dale yang berserakan di lantai. Dale melihat itu, dia hanya menepuk keningnya karena lupa membereskan semuanya.

"Ayah marah? Dale lupa membereskannya, tadi siang sempat main di rumah, tapi ...." Kalimat Dale terhenti saat Deo berjongkok di depannya.

Senyuman Deo membuat Dale mengerucutkan bibirnya. Dengan cepat, Ayah satu anak itu menarik bibir putrinya yang tampak seperti bebek itu. Deo menggeleng, baginya tidak ada yang merepotkan, dan membuatnya marah. Dale adalah segalanya bagi Deo.

"Ayah, apa besok Dale boleh libur sekolah?"

"Kenapa? Bukannya besok ada kunjungan ke museum?" tanya balik Deo.

Tangan Deo dengan cekatan menyiapkan makan malam untuk putrinya. "Makan ini, Ayah baru beli tadi pagi."

"Katanya ada makanan yang tinggal dipanaskan?"

"Kamu makan ini saja. Biarkan itu Ayah yang habiskan," ucap Deo yang kini memberikan dua potong kebab pada Dale.

Dale mulai mengambil makannya, dia terus menatap ke arah Deo seakan ingin mengutarakan sesuatu. Deo membawa semangkuk nasi dan lauknya. Dia duduk di depan Dale.

"Kenapa?"

"Teman Dale semuanya berangkat sama orang tuanya. Jadi, apa Ayah bisa ikut?"

Deo berhenti mengunyah. Selama ini dia memang tidak ada waktu untuk urusan sekolah Dale. Untuk pertama kalinya Dale meminta hal ini. Namun, seperti biasanya besok pagi dia harus kembali bekerja. Bahkan, besok ada jadwal mengantarkan koran ke setiap rumah di beberapa kompleks.

"Apa Ayah harus menghubungi ibumu?"

"Kenapa harus dia? Kenapa tidak Rea saja?" ujar Dale yang membuat Deo terdiam sesaat.

Dale?

Itu bukan ide yang buruk dibandingkan harus mencari ibu pengganti untuk Deo. Selama ini Dale tidak tahu yang mana ibu kandungnya. Jadi, setiap Dale membutuhkan sosok Ibu, maka Deo akan menyewa seseorang untuk itu.

"Dia sibuk bekerja. Pagi-pagi dia menjadi pengantar makanan, kan? Nah, sepulang itu dia harus menyelesaikan naskah-naskahnya itu."

"Kalau tidak Rea, maka tidak sama sekali." Dale mencoba bersikap tegas, kalau dia memang hanya menginginkan Rea menemaninya.

Deo pun mengangguk, dia berjanji akan meminta Rea melakukannya. Namun, Deo juga berkata, "Kalau Rea gak bisa, Dale pergi sendiri saja. Kalau mau bolos juga terserah, tapi Ayah gak tanggungjawab kalau semisal nanti nilai kamu jelek, terus gak naik kelas. Ujung-ujungnya, nanti Dale gak bisa masuk sekolah dasar yang Dale mau."

"Ayah," rengek Dale.

Dale kemudian mengangguk saat Deo hanya menjawab dengan menggerakkan alisnya saja.

Setelah mencuci piring, Deo juga menidurkan Dale. Gadis kecil itu selalu ingin mendengarkan dongeng sebelum dia terlelap. Itulah kenapa, di kamarnya itu banyak sekali buku dongeng.

Deo memastikan kalau putrinya itu sudah tertidur pulas. Dia menyelimutinya, lantas berjalan keluar dari unitnya itu. Deo ragu mengetuk pintu rumah Rea, ini sudah malam, bukankah tidak sopan untuk bertamu di malam hari?

Saat tangan Deo bersiap untuk mengetuk, tiba-tiba seseorang datang dari belakangnya.

"Pak Deo, ada apa?"

Tangan Deo menyerahkan selembar undangan kunjungan ke museum. Rea awalnya kebingungan, tetapi beberapa saat dia mengerti dengan maksud Deo. "Apa aku diminta untuk menemani Dale?"

"Itu pun kalau kau tidak sibuk," ujar Deo.

Rutinitas pagi yang dijalankan Deo sebagai Ayah tunggal, selalu berjalan dengan lancar. Sebelum Dale terbangun, sarapan sudah siap di meja, bahkan air hangat sudah siap untuk mandi Dale.

Dale memanggil Deo, laki-laki itu tengah membersihkan rumah sebelum dia berangkat. "Di sini Dale. Kenapa, Sayang?"

"Apa Dale akan berangkat sendirian?"

"Ayah sudah minta Rea, tapi tidak tahu dia akan berangkat atau tidak," ungkap Deo yang masih setia memegang gagang sapu dan pel-an.

"Aku siap!" seru seseorang dari arah pintu yang membuat Dale melebarkan senyumannya.

Next chapter