Ketiganya mulai melihat ke lorong sebelahnya dan ada bankar yang bergerak perlahan menuju ke arah mereka. Tadi kursi roda sekarang bankar pikir mereka bertiga.
"Kalau seperti ini kita yang akan nginap di sini menggantikan Nona," cicit Ian.
"Aku tak tahu, kalau Nona berkata benar. Jangan keluar," kata Paijo.
"Sudah, jangan berisik. Ayo kita pergi sekarang. Jangan lihat bangkar itu. Ruangan Nona sudah dekat, ayo cepat," sambung Dino.
"Dino, mulai bergerak dia," cicit Ian.
Bangkar yang bergerak maju mulai berjalan dengan cepat. Suasana sunyi mulai terasa dan makin mencengkam.
Srettttt!
"LARI!" teriak Ian dengan kencang.
Ian yang sudah pipis di celana lari dengan kaki seribu, dia lari ke sana ke mari tak jelas. Ian malah putar lorong dan lari lagi melewati bangkar tadi. Dino dan Paijo mengangga melihat Ian yang lari tak tentu hale alias tak tentu arah. Bukannya masuk dalam ruangan Nona, dia malah muterin lorong.
Bangkar itu berhenti di sebelah Paijo. Paijo tak sadar kalau bangkar itu di sebelah dirinya dan melintang.
"Ian kesambet ya?" tanya Paijo.
"Dia lari kenapa mutar saja, kan dia bisa masuk kamar Nona," kata Dino.
"Kalian sedang apa?" tanya seseorang dari belakang.
"Hantuuuuu!" teriak Paijo dan Dino bersamaan.
Kerah baju keduanya ditahan sama sang empunya suara. Alhasil keduanya tak bisa lari.
"Ampun, tolong jangan ganggu aku, aku hanya tamu eh salah aku hanya pasien, salah lagi. Kami hanya sebentar di sini, besok kami akan pulang. Janji deh," lirih Paijo.
"Ini saya, Mang Dadang. Kalian kenapa? Dan bangkar ini kenapa ada di sini?" tanya Mang Dadang.
Keduanya terduduk dengan suara ngap, Mang Dadang yang melihat Ian berlari menahannya.
"Mang, tolong ada yang mengejar saya," kata Ian yang ngos-ngosan.
Ian yang duduk di lantai rumah sakit melihat ke arah sudut Winarsih sedang bawa Golok.
"Aku mau balik kamar Nona, kalian mau ikut atau tidak," Ian berbalik dan merangkak sampai ke pintu kamar Nona. Namun di kunci.
"Dinosaurus, mana kunci kamar ini?" tanya Ian.
"Aku tak menguncinya. Aku cuma tutup saja," kata Dino.
Dino mendekati kamar dan benar sekali kamarnya terkunci.
"Mang gimana ini?" tanya Dino.
"Kau yakin tak kunci?" tanya Paijo.
"Iya lah, buat apa aku kunci. Kalau dari dalam iya," kata Dino.
Krekk!
Para lelaki melihat sumber suara. Golok mengenai kaca yang dia lewati. "Kakinya ngambang," bisik Ian.
"Kalau nggak ngambang itu berarti manusia, kayak kamu tuh manusia aneh," balas Paijo.
"Mang, bagaimana?" tanya Dino.
"Mamang juga takut atuh, jadi kita kabur saja," kata Mamang.
Ian sudah tak bisa bangun akhirnya pingsan. Dia melihat darah dari golok dan juga yang keluar dari kepala.
"Neng, mau apa lagi?" tanya Mang Dadang.
Mang Dadang mau tak mau bertahan. Dia kasihan sama anak muda ini. Mereka tak bersalah, tapi di ganggu sama Winarsih.
"Balaskan dendamku. Bram harus mati. Dia harus bisa di temukan," kata Narsih.
"Mbak, sabar kami juga sedang cari dia dan yang lainnya. Jangan Mbak ganggu kami, kasihanilah kami Mbak, kami itu bukan pembunuhnya, kami niat bantu. Benarkan Mang?" tanya Dino.
Mang Dadang kaget di tanya seperti itu. Dia tak tahu apa-apa tapi ikut terlibat.
"Kok saya Den, saya kan tidak tahu apa-apa," cicit Mang Dadang.
Paijo mendekati Mang Dadang dan berbisik. "Ikuti saja dulu, jika tidak kita tak selamat, lihat goloknya itu. Mau Mamang lehernya lepas dari kepala Mamang?" tanya Paijo.
Mamang Dadang memegang lehernya dan melihat golok itu. Akhirnya dia mau tak mau ikut terlibat.
"Neng, ingat Mamang kan? Neng harus tahu satu hal kalau sesungguhnya Neng itu minta bantuan sama mereka, biarkan mereka menyelidiki dulu, kita tak boleh asal tuduh, ingat Neng kasihan mereka jika asal tuduh," kata Mamang.
Semua tak ada yang membuka suara. Winarsih langsung pergi sambil tertawa.
"Terima kasih Mang, kami ucapkan sekali lagi sama Mamang terima kasih. Jika Mamang tidak ada mungkin kami akan di ganggu terus," kata Dino.
"Bawa teman kamu itu. Dia pingsan, dan pipis di celana dia. bawalah masuk dan ganti celananya kasihan perkututnya gembung," kata Mang Dadang.
"Kami masuk dulu, terima kasih," kata Dino.
Keduanya masuk dan membawa Ian masuk. Dino dan Paijo menggantikan baju juga celana Ian.
"Kita mandikan dia malam-malam Dino?" tanya Paijo.
"Lah, kau mau tidur sama dia bau hancing? Kalau mau udah sana," ucap Dino.
Keduanya membawa Ian masuk kamar mandi dan mengguyur Ian dengan air. Ian yang pingsan seketika bangun dari pingsannya.
"Ampun, jangan ganggu aku, aku mohon padamu," ucap Ian.
Tok!
"Rasakan itu. Bangun pingsan malah teriak. Udah malam woy, ini rumah sakit jangan banyak teriak," kata Paijo sambil mengetuk kepala Ian dengan gayung plastik.
"Kalian mau apakan aku?" tanya Ian.
"Menurutmu apa, dah lah Dino ayo kita cabut, dia sudah sadar. Lihat dia seperti itu buat aku merinding," kata Paijo.
Ian mencibir mulutnya dan keluar dari kamar mandi. Di susul sama yang lainnya. Ian menutup pintu kamar dan mulai membersihkan tubuhnya. Setelah selesai dia langsung keluar dan bergabung dengan yang lain.
"Aku ngantuk, kita kapan pulang ke kota. Aku sudah lelah ini. Misteri ini sulit di pecahkan," kata Ian.
"Kita lihat kondisi Nona, lagian orang yang kita cari bukan di sini tapi di kota. Lagian tadi aku berpikir orang yang kita cari mungkin orang yang sama dengan orang yang di warung itu," kata Dino.
"Iya, aku rasa gitu. Kalau gitu kita mulai cari ke warung bubur ayam itu saja. Kita tanya sama penjaganya siapa tahu dia tahu kan?" tanya Paijo.
"Aku setuju. Jika sudah tahu baru kita selidiki lebih dalam lagi. Sekarang kita tidur. Udah larut juga," kata Dino.
"Kau kunci pintu dulu Dino, nanti ada pula yang masuk ke sini," kata Paijo.
"Sudah, kau jangan takut ya," kata Dino.
***
"Pergi, jangan ganggu aku. Aku bukan pelakunya, pergi sana!" teriak Diman.
"Kau pembunuh Kang, kau pembunuhku. Apa salahku Akang?" tanya wanita yang membawa golok yang tak lain tak bukan Winarsih.
"Aku hanya ikut saja, yang melakukannya Bram, bukan aku. Pergi sana!" teriak Diman.
Sang istri yang berada di sebelah Diman menepuk Diman dengan keras. Diman yang tersadar langsung bangun dan ngos ngosan. dia mimpi buruk.
"Kamu kenapa Mas? Siapa yang mau bunuh kamu?" tanya istrinya Maya.
"Kolegaku. Dia tak suka aku menang tender. Makanya aku di teror dia. Sudah tak apa," kata Diman.
Maya melihat Diman dengan tatapan penasaran. Diman yang tahu langsung merebahkan dirinya. Dia berbalik agar tak buat istrinya curiga.
"Apa ini yang di rasakan Bram. Apa setelah puluhan tahun, kami akan menerima balasannya. Tidak-tidak, aku yakin itu hanya mimpi. Ini semua karena Bram, aku jadi di ganggu sama hantu sialan itu. Dasar Winarsih sialan, aku akan menghabisimu dulu lihat saja," geram Diman lagi.
Hay sahabat Hyung, masih betah kan dengan Dendam Winarsih? Terima kasih ya sudah membaca Dendam Winarsih silahkan kasih komentar kalian ya, dan kasih love juga dan simpan di rak ya Mauliate Godang.