webnovel

Aku Mulai Membencimu

Agnes terus memegang keningnya sembari berjalan menuju pagar sekolahnya yang mulai sepi. Gadis itu terus teringat akan ucapan Vino yang dirasa menusuk hingga tulang rusuknya. Sebenarnya Agnes tak pernah benar-benar mengenal Vino atau Claudio. Mereka juga tak pernah saling sapa, atau bahkan bicara, apalagi dengan Claudio. Tapi dia tahu jika rumor akan Claudio yang suka padanya terdengar di telinga gadis blasteran Indonesia-Prancis-Brazil ini. Sayangnya, Agnes yang sama sekali tak pernah memikirkan tentang cinta tak memedulikan gosip panas di sekolahnya tersebut. Alih-alih memikirkan cinta, Agnes justru memikirkan bagaimana caranya Nona Odele membatalkan rencananya untuk menggabungkan dirinya dengan sang mantan sahabat, Paulina.

"Hah, kepalaku sakit! Benar-benar kelas tiga ini penuh ujian mental dan fisik!" keluhnya saat dirinya duduk di taman tengah kota yang rindang. Mata coklat gelap milik Agnes mendongak melihat pohon tabebuya serta angsana yang rindang dan melindungi dirinya dari matahari. 'Aku tak habis pikir hingga saat ini, kenapa Nona Odele menduetkan aku dengan Paulina? Apa dia tahu peristiwa malam itu? Apa semua orang di kota ini telah tahu jika aku adalah putri tak berbakat seorang Abigail Juan Perero?' Agnes masih merenung dan tak sadar ponsel pintarnya bergetar.

"Ah, sudahlah. Semakin dipikirkan semakin membuat kepalaku serasa dihantam palu Thor. Jalani saja apa yang saat ini ada di depan mata, termasuk rencanaku ke Paris … tetap akan kujalankan." Agnes kembali melangkah meninggalkan taman tengah kota, bersiap menuju akademi latihan musiknya.

***

Di tempat lain, Claudio yang saat ini sedang ada di mobil pribadinya bersama dengan Jhon Berry, berhenti di depan La Toule de Music Academy. Namun pemuda itu tak turun dari mobilnya dan menunggu dengan tenang sambil mendengarkan musik klasik milik Wolfgang kesukaannya.

"Tuan Muda, mau apa kita datang ke tempat ini?" tanya Jhon melirik gedung gaya bohemian itu.

"'Menunggu." Sahut Claudio memejamkan matanya, mengayunkan tangan kanannya mengikuti iringan musik.

"Menunggu? Siapa yang Anda tunggu?" Jhon semakin penasaran.

Dio membuka kedua mata coklat terangnya sambil berkata, "Paman akan tahu sendiri." Senyumnya lagi.

Jhon mengernyitkan keningnya, melihat jam tangan di lengan kanannya. "Paman, kumohon … jangan selalu melihat jam. Itu sangat membuatku tak nyaman," pinta Dio dengan wajah memelas.

"Maaf, Tuan. Tapi saya harus! Ini semua untuk memastikan jika kita tak pulang dari waktu yang telah ditentukan, dan sebelum tuan juga nyonya besar kembali."

"Aku mengerti. Sabarlah Paman, sebentar lagi dia akan datang." Senyum Dio kini pandangannya teralihkan keluar kaca mobilnya dan benar saja! Tak lama dari ucapan Dio, sebuah taksi sedan berhenti di depan gerbang La Toule de Music Academy. Seorang gadis dengan seragam hijau ditambah bandana warna senada dengan seragam yang dipakainya dan sebuah tas biola hitam keluar dari taksi tersebut.

"Eh, Tuan Muda! Mau ke mana?" Claudio langsung keluar dari mobilnya dan menghampiri gadis berambut seleher itu.

"Hai, masih ingat aku?" sapa Claudio tersenyum ramah.

"Kau? Claudio?" gadis itu sangat terkejut karena melihat Claudio tiba-tiba berdiri di depannya. Jhon yang juga segera keluar dari mobil Claudio awalnya hendak langsung menghampiri sang tuan muda, namun ketika pria paruh baya tersebut melihat Dio sedang bersama gadis yang dikenalnya, Jhon mengurungkan niatnya dan hanya berdiri mengawasi dari jauh, seraya mengambil video Claudio dan Paulina diam-diam.

"K-kamu ngapain di sini, Claudio?" tanya Lina penasaran.

"Nunggu kamu."

"A-apa?" Paulina sangat terkejut mendengar jawaban remaja tampan blasteran Inggris-Indonesia itu.

"Kok kaget? Emangnya ga boleh, ya kalo aku nungguin kamu?" goda Dio melebarkan senyumnya.

"B-boleh. Tapi …."

Belum jua Paulina menjawab, sebuah taksi yang lain berhenti di depan gerbang akademi musik La Toule serta keduanya. Lina dan Claudio segera mengalihkan perhatian pada siapa yang ada di taksi tersebut. Dan ketika pintu taksi dibuka, Agnes keluar dari mobil tersebut dan sedikit terkejut melihat sang mantan sahabat dan orang yang digosipkan dengannya di sekolah ada di depannya.

Agnes tak banyak bicara! Dengan langkah santai dan tatapan mata lurus tajam ke depan, Agnes berlalu dari kedua orang tersebut. Paulina hanya melihat datar dan tanpa ekspresi serta Claudio yang melihat Agnes dengan tatapan yang … dalam.

"Dia-"

"Gema Melody Agnesia," sahut Lina cepat.

"Ah, iya. Putri dari Abigail Juan Perero. Kau satu kelas dengannya?" tanya Dio masih melihat siluet Agnes yang semakin lama semakin menghilang.

"Huum. Iya, kami satu kelas. Tapi, sepertinya dia tak mau kenal aku lagi," ucap Lina tanpa sadar dia membuka masalah pribadinya.

"Apa? Kenapa? Ada masalahkah?" runtut pertanyaan Dio.

"Ah, t-tidak! B-bukan apa-apa. Sudah dulu, ya. Aku masuk dulu. Bye ."

"Bolehkan aku datang ke sini dan menemuimu lagi?" tanya Dio menahan langkah Paulina yang ingin masuk ke dalam kelas.

"A-apa? Kau bilang apa barusan?" Lina menatap mata Dio lekat.

"Aku tanya bolehkah aku datang ke sini menemuimu lagi?"

Entah apa yang ada di pikiran Dio. Tapi, jujur saja Paulina sangat senang. Gadis mana yang tak senang ditemui oleh pangeran berwajah tampan dan pintar? Dengan senyum mengembang dan rambut berkibas karena angin, Lina menjawab dengan wajah manisnya, "Tentu. Dengan senang hati, Dio. Aku masuk dulu, ya." Lina melambaikan tangannya dan Dio melihat jam tangan kulit hitam di tangan kirinya. "Pukul 16.30."

Agnes yang ternyata melihat mereka berdua dari balik tirai La Toule mengepalkan tangan dengan ekspresi yang mungkin bisa dibilang "'cemburu". Tak lama, Lina yang masuk ke gedung La Toule bertemu pandang dengan Agnes, keduanya saling terdiam. Baik Agnes maupun Lina masing-masing mengambil jalan terpisah sampai di kelas. Lina yang langsung menuju ke kelas dan Agnes yang pergi ke lokernya. Tak disangka, kejadian ini dilihat oleh Nona Odele dari lantai dua gedung tersebut, namun wanita cantik itu tak bereaksi apa pun dan hanya melihat datar Agnes.

"Selamat sore, anak-anak. Bagaimana kabar kalian?" sapa Nona Odele penuh senyum dan kehangatan.

"Sore, Nona Odele. Kabar kami baik," sahut murid-muridnya semangat.

"Agnes, gimana kabar kamu?" tanya Odele tiba-tiba melirik Agnes.

"Baik," sahutnya singkat tanpa melihat ke arah gurunya.

"Apa-apaan sikapnya itu! Aku semakin tak suka padanya!" salah satu teman Agnes merespon sikapnya, namun Agnes hanya diam saja.

"Hei, siapa yang menyuruhmu bicara?" tanya Odele menunjuk muridnya itu.

"M-maaf, Nona." Sesalnya menunduk.

"Tak apa, Nona Odele. Aku juga sudah terbiasa DIKHIANATI oleh orang yang kupercaya," sahut Agnes santai tapi entah kenapa Lina seolah tersindir dengan kata-kata Agnes.

"Apa kau yakin kau baik-baik saja, Agnes? Sepertinya mood-mu sedang tak baik?" tanya lagi Nona Odele.

"Mood saya sangat baik, Nona Odele. Jangan khawatir. Daripada Anda mengkhawatirkan saya, kenapa tak mulai saja latihan hari ini?" dengan sedikit angkuh, Agnes mendongakkan kepalanya melirik Lina.

Nona Odele pun akhirnya mau tak mau harus ikut campur dalam urusan muridnya. Dia pun mendekati Agnes dan berbisik, "Temui aku ketika selesai latihan nanti."

Agnes sepertinya sudah tahu apa yang ingin dikatakan oleh Nona Odele, namun dengan senyum mengembang, Agnes membalas, "Karena Nona Odele adalah guru yang paling BAIK padaku, baiklah. Mari kita bicara."

Di sisi lain, Lina mengepalkan tangannya dan dirinya merasa terpojok juga terbebani berada satu kelas dengan putri Abigail Juan Perero tersebut. Sambil menundukkan kepala, Lina sengaja tak mengarahkan pandangannya ke Agnes dan pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan Agnes, tapi sebenarnya hati dan perasaannya hancur. Hanya karena satu hal kecil, dia harus kehilangan sahabat yang dulu pernah menjadi penolong dan seseorang yang telah mengenalkannya pada musik. Lina sangat terpukul namun sekaligus dipermalukan oleh sahabatnya sendiri.

'Apa … apa sekarang aku mulai membencimu, Agnes? Kenapa … kenapa kau lakukan ini padaku padahal dari awal ibumulah yang bersalah! Ibumulah yang merencakan semuanya!' kedua tangan Lina gemetar dan kini dia mengarahkan tatapan dingin dan tajam ke arah Agnes.