webnovel

5. Mayat Ditemukan

Hanya satu orang yang tidak menyukai keberadaan Gissele di rumah itu. Dia adalah Segara. Dia bahkan mengutuk perbuatan adiknya yang telah menduakan Mira selama ini.

Gissele yang tahu jika Segara susah didekati pun berusaha keras agar kakak iparnya itu mau menerima kehadirannya. Namun sayangnya sepertinya usahanya tidak membuahkan hasil.

"Kakak ipar sudah pulang?" Gissele menyapa Segara ketika melihat lelaki itu masuk ke rumah.

Segara hanya melihat Gissele sekilas kemudian berjalan melewatinya.

Gissele yang mendapatkan balasan sikap Segara yang dingin hanya mencebikkan bibirnya dan menatap punggung kakak iparnya dengan kesal.

"Padahal aku sudah menyapanya," kata Gissele sambil merengut.

"Ada apa?" tanya Aldi yang sudah ada di sebelah Gissele. Dia mengusap bahu Gissele dan membawanya ke kamarnya.

"Kakakmu kenapa dia seperti tidak menerimaku di sini?"

"Oh, dia." Aldi menatap Segara yang menghilang ke dalam kamarnya. "Biarkan saja dia, dia memang seperti itu."

"Apa dia seperti itu juga pada Mira?" Gissele bertanya karena penasaran.

"Mmm sebaiknya kita jangan membahasnya sekarang. Bagaimana dengan bayi kita? Ibu sudah tidak sabar ingin anak ini segera lahir."

Kini giliran Gissele yang bingung harus menjawab apa. Dia sebenarnya juga tidak sabar ingin melahirkan anak itu. Tetapi—jika anaknya nanti perempuan. Bukankah itu sama saja? Jika nasibnya akan berakhir seperti Mira.

"Baik, dokter mengatakan padaku untuk tidak terlalu stress dan banyak pikiran," jawab Gissele asal.

**

Segara baru saja keluar dari kamar mandi. Selama seharian dia menunggu telepon dari suruhannya untuk mencari tubuh Mira yang entah ada di mana saat ini.

Pintu terdengar diketuk saat Segara selesai mengenakan pakaian. Ia berjalan menuju pintu dan melihat Gissele berdiri di ambang pintu dan membawa secangkir susu untuk Segara.

"Aku ingin memberikan susu ini pada kakak ipar," kata Gissele sambil memberikan nampan itu pada Segara.

Namun Segara malah membeku dan menatap Gissele dengan tatapan keheranan.

"Maaf, tapi aku bukan anak kecil yang meminum susu sebelum tidur." Segara langsung menutup pintunya dan menghela napasnya dengan berat.

Sementara itu Gissele yang jelas-jelas ditolak keberadaannya oleh Segara berdecak kesal karena sikap Segara yang masih dingin terhadapnya.

"Padahal aku sudah mencoba untuk bersikap baik padanya, tapi kenapa dia seperti ini sih," gerutu Gissele.

Sementara itu Segara mengambil ponselnya yang berbunyi di atas meja. Nomor pesuruhnya muncul, membuat Segara tak sabar untuk mengangkatnya.

"Bagaimana? Apa kamu sudah menemukannya?" tanya Segara tak sabar.

"Sepertinya ini akan menjadi kabar buruk untuk Anda, Pak," kata pesuruh itu.

"Ada apa?" desak Segara.

"Apa Anda bisa datang ke rumah sakit malam ini? Ada hal yang harus Anda lihat dan pastikan dengan mata kepala Anda sendiri."

Segara tahu apa maksud dari pesuruhnya itu. Ada dua kemungkinan. Bisa jadi Mira sudah mati dan tinggal mayatnya yang ditemukan. Ataukah Mira yang hilang ingatan.

"Aku akan segera ke sana." Segara langsung menyambar jaketnya, lalu dia keluar pada saat itu juga.

Gissele yang sejak tadi masih ada di sana mendengar percakapan antara Segara dan seseorang di telepon.

"Jangan-jangan, mereka sudah menemukan Mira," bisik Gissele. "Tapi—tak mungkin kan dia masih hidup?"

**

Segara menyusuri koridor rumah sakit. Dia langsung menuju kamar mayat di mana pesuruhnya sudah ada di sana duluan.

Ketika pintu dibuka, pesuruh itu sedang berbicara dengan seorang dokter ahli forensik.

"Pak, Anda harus memastikannya, apakah ini—"

Segara langsung mendorong pesuruhnya. Ia melihat jasad yang sudah ditutupi oleh kain putih di atasnya.

Bau anyir dan busuk menyengat. Namun Segara mengabaikannya.

"Di mana kamu menemukanya?" tanya Segara dengan dingin.

"Seorang pemancing, tanpa sengaja kailnya menyangkut pada rambut jasad ini, Pak," jawab pesuruh itu.

"Tapi—masih ada kemungkinan jika dia bukan Mira kan?"

"Tubuhnya sudah membusuk, sulit dipastikan jika Anda ingin melihat wajahnya." Kali ini dokter yang bicara.

Perlahan Segara membuka kain itu, degub jantungnya berdebar dengan kencang. Ia takut jika hal yang tak ia inginkan terjadi.

"Mira," bisik Segara dengan lemas.