webnovel

3. Bukan Masalah Sepele

"Ras, kamu mau pergi ke mana?"

Pagi-pagi sekali Mira yang ada di dalam tubuh Rasti sudah bersiap-siap hendak pergi. Ia ingin pergi ke perusahaan Aldi hari ini, bagaimanapun caranya dia akan ke sana.

Mira bergeming, dia yang belum terbiasa dipanggil Rasti oleh orang lain tubuhnya tidak menanggapinya.

"Ras?" Tangan ibunya menepuk bahu Mira.

"Oh—ya? Kenapa Bu?"

"Kamu mau ke mana, ini masih pagi. Kamu dari kemarin selalu keluar, ibu khawatir kamu sakit lagi, Ras."

Rasti tersenyum, dia mengatakan pada ibunya jika dia akan mencari pekerjaan dari sekarang. Alasannya tentu saja bukan karena dia ingin mendapatkan uang, melainkan ingin masuk ke dalam keluarga besar Aldi.

"Kerja? Kamu yakin?"

Rasti mengangguk. "Ibu tenang saja, Rasti akan baik-baik saja. Kalau sakit nanti langsung ke rumah sakit."

Karena tak bisa menahan anaknya, akhirnya ibu Rasti membiarkan anaknya pergi.

Namun—ada beberapa hal yang membuat ibunya berpikir aneh pada anaknya. Mengapa Rasti bersikap sangat sopan padanya? Rasti memang sopan pada ibunya, tapi dia selalu bersikap pada ibunya dengan akrab. Tidak menjaga jarak seperti sekarang.

Bahkan hal aneh terjadi, ketika Rasti tidak mengenal temannya Rere yang beberapa hari datang ke rumahnya.

"Rasti tidak mungkin—menderita Alzheimer kan?" gumam ibunya cemas.

**

Mira turun dari mobil taksi yang membawanya menuju ke rumah sederhana di sebuah perumahan menengah ke bawah.

Ia cukup lama berdiri di sana seolah sedang menunggu seseorang.

Hingga akhirnya tubuhnya terkesiap saat melihat ibu kandungnya keluar dari rumah dengan mata yang sembab. Ibunya masuk ke dalam mobil bersama dengan ayahnya. Entah pergi ke mana, yang pasti ia melihat ada rona kesedihan dalam wajah kedua orangtuanya.

Mungkin mereka berpikir jika Mira, anak mereka meninggal karena sampai sekarang tubuhnya belum dapat ditemukan.

"Maafkan Mira ibu," ucap Mira dengan sedih. Ia memandangi mobil itu sampai menghilang di persimpangan.

**

Sejak kepergian Mira, Gissele selalu bertingkah menjadi nyonya di rumah Aldi. Padahal tubuh Mira belum ditemukan, dan belum jelas juga Aldi bercerai dengan Mira. Tapi Gissele bersikap jika dia adalah nyonya utama di dalam rumah itu.

"Ini kenapa kamarnya berantakan? Bukankah kalian digaji untuk membersihkan rumah ini?" Gissele protes ketika kamar yang dulunya ditempati Mira dan Aldi belum dibersihkan.

"Aku mau tidur di sini malam ini, jadi bersihkan."

"Tapi nyonya—nyonya Mira kan—"

Mata Gissele melirik ke arah kepala pelayan yang memprotesnya.

"Kamu sudah bosan bekerja di sini? Umurmu sudah tidak muda, jadi tidak akan mudah menemukan pekerjaan lagi. Jadi turuti saja apa mauku!"

"Ba—baik," sahut kepala pelayan itu.

Gissele kemudian keluar, dia melihat meja makan sudah penuh dengan makanan. Namun karena dia sedang hamil, perasaan mual dan ingin muntah selalu melandanya setiap pagi.

Dan hal itu memberikan kesempatan padanya untuk marah-marah lagi pada pelayan.

"Makanan apa ini!" Gissele menyapu piring-piring yang ada di atas meja makan dengan tangannya. Dia tidak suka dengan menu makanan itu.

"Maaf, tapi ini yang Anda inginkan tadi malam, kan?"

Gissele memelotot pada pelayan yang langsung menundukkan pandangannya.

"Jadi ini salahku, maksudmu?" tanya Gissele pelan, tapi nadanya mengintimidasi pelayan.

Bagi pelayan pelayan yang bekerja di sana. Sejak kepergian Mira, rumah yang tadinya bagai istana itu sudah seperti neraka bagi mereka. Segala kesalahan selalu dicari agar Gissele dapat melampiaskan amarahnya.

"Ada apa ini?" Sebuah suara membuat pelayan semakin menundukkan kepalanya.

Gissele menoleh, mendapati ibu Aldi sudah berdiri di samping meja.

"Ibu—jadi—aku selalu mual. Tapi—pelayan pelayan ini memberikanku makanan berbau amis. Aku jadi ingin muntah. Bahkan sampai ke dalam kamar pun tercium," jelas Gissele yang tentu saja itu hanya dibuat-buat olehnya.

"Benarkah itu?" tanya ibu Aldi pada pelayan pelayan yang ada di sana.

Mereka diam, menyangkal pun tak akan berguna bagi mereka semua.

Ibu Aldi menghela napasnya.

"Apa kalian tidak tahu kalau cucuku itu sangat berharga! Kalau kalian membuat Gissele marah, maka itu sama saja membuatku marah. Dia sedang mengandung cucu dari penerus Wiratmadja! Cucu lelakiku akan lahir dari rahim wanita yang tidak kalian hormati!"

Tunggu dulu—mata Gissele bergetar. Dia seketika tuli dan tidak dapat mendengar apa yang diucapkan oleh ibu Aldi.

Cucu laki-laki katanya? Tapi bagaimana kalau anak yang akan dilahirkan Gissele adalah perempuan? Apakah itu artinya dia tidak akan diakui di sana?

"Maafkan kami Nyonya." Pelayan pelayan yang tidak bersalah itu berkata serempak dengan kepala tertunduk. Sementara Gissele masih bergeming di atas lantai dengan wajah yang memucat.

"Wajah kamu pucat, sebaiknya kita ke dokter sekarang. Ibu takut ada masalah dengan kehamilanmu. Ibu juga ingin tahu jenis kelamin cucuku, meski aku sudah yakin jika dia adalah lelaki," kekehnya dengan ringan.

Gissele ikut terkekeh—hambar.

"Tidak apa-apa, Bu. Gissele—Gissela baik-baik saja."

"Kamu yakin? Kalau tidak, ibu akan panggilkan dokter keluarga ini ke rumah."

"Tidak!" sahut Gissele setengah berteriak. Dia sendiri terkejut mengapa berteriak pada ibu Aldi. "Maafkan Gissele, sepertinya aku sedang lelah," gumam Gissele.

"Baiklah kalau begitu. Kamu istirahat saja di kamar."

Gissele pun akhirnya melarikan diri dari topik berbahaya dari ibu Aldi. Ia pikir semuanya akan berjalan lancar. Namun dia takut—takut jika anaknya nanti bukanlah lelaki, melainkan perempuan.

"Bagaimana ini?" Usai mengunci pintu kamarnya, Gissele menatap gamang jendela kamarnya. "Sepertinya aku harus melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anakku.

"Tapi bagaimana kalau dia perempuan?"

Belum-belum, Gissele dihantui ketakutannya sendiri.

**

Perempuan, anak yang dikandung oleh Gissele adalah perempuan. Dokter dengan jelas mengatakan jika anak yang dikandungnya saat ini adalah perempuan.

Gissele meringis dengan getir, memandangi foto yang ada di dalam tangannya.

"Tapi ini bisa saja salah kan, dok?" tanya Gissele penuh harap.

Dokter menelengkan kepalanya. Kemudian menunjukkan rekaman USG-nya tadi.

"Bisa saja terjadi kesalahan, Bu. Karena biasanya dalam USG terlihat seperti anak perempuan tapi ternyata laki-laki," jelas dokter itu.

Gissele menghela napasnya dengan lega.

"Ya, pasti. Pasti anakku adalah anak laki-laki."

"Kalau pun perempuan, bayi ini akan menjadi anak yang sehat."

Aku tidak butuh bayi perempuan. Aku membutuhkan bayi laki-laki. Gissele mengatakannya dalam hati. Ia kemudian pamit dan segera menelepon Aldi.

"Bagaimana hasil USG-nya?" tanya Aldi di ujung telepon.

"Laki-laki, anak kita laki-laki." Gissele menjawab dengan riang meski dalam hatinya ia ragu mengatakannya.

"Bagus kalau begitu."

"Jika anak kita—perempuan—bagaimana?" tanya Gissele takut-takut.

"Apa maksudmu? Aku membawamu ke rumah karena kamu dulu pernah mengatakan kalau kamu akan melahirkan anak laki-laki," jawabnya dengan tertawa ringan. Seolah tidak tahu jika Gissele tengah dilanda ketakutan.

"Benarkah? Aku pernah bilang begitu ya?" gumam Gissele tak ingat jika pernah mengatakan hal itu pada Aldi.

"Oh ya, kepala pelayan mengatakan jika akan mengundurkan diri. Besok aku akan membuat pengumuman lowongan pekerjaan yang baru. Dia juga akan aku tugaskan untuk mengatur rumah dan pelayan yang lain."

"Baguslah, aku tidak suka dengan kepala pelayan yang lama. Gantilah yang muda, dan enerjik."

"Baiklah, aku akan sampaikan pada sekretarisku."

**

Mira hampir saja terjatuh dari ranjangnya ketika malam itu melihat lowongan pekerjaan di dalam rumah Aldi.

Lowongan itu bukan sebagai pelayan, melainkan sebagai kepala pelayan yang merangkap mengurus rumah tersebut. Dan semua standar dimiliki oleh Rasti semua.

Mira tersenyum lebar. "Aku akan ke sana besok, harus," ucapnya penuh tekad ketika tadi siang dia tidak berhasil lolos masuk ke dalam perusahaan Aldi.