webnovel

Merepotkan Saja!

"Jadi, Pak Edgar semalem ngasih makanan buat lo yang lagi lembur sendirian?"

Laura mengangguk sembari menikmati satu kotak es krim yang dia dapatkan dari Jasmin. Entah angin sejuk dari mana, tiba-tiba saja temannya datang membawa es krim setelah jam makan siang.

Berbicara soal Edgar, pria itu tidak terlihat sejak tadi pagi. Kata orang kantor, dia pergi untuk menghadiri pertemuan di luar. Padahal Laura ingin mengucapkan terima kasih, atas makan malam yang lezat dan tanpa biaya semalam.

"Itu artinya dia bos yang baik dong ya, Lau. Seumur-umur kita belum pernah dikasih makanan gratis kayak gitu. Apalagi sama Direktur." Jasmin mencebikkan bibir dengan pelan, mengingat sifat Direktur lama mereka yang berbanding jauh dengan Edgar.

"Gue juga nggak ngerti, kenapa Pak Edgar bisa berbaik hati kayak gini. Padahal kita baru aja kenal."

"Atau jangan-jangan ... dia suka sama lo?"

Bola mata Laura membeliak malas. Dia menutup kotak es krim tersebut dan memasukkannya ke dalam lemari es. Wanita itu memutar tubuh kemudian, menatap Jasmin yang masih setia dengan segelas jus jeruk yang dibeli bersamaan dengan es krim tadi.

"Buang pikiran aneh lo jauh-jauh. Nggak mungkin seorang Dirut suka sama karyawan biasa kayak gue. Perbedaan kita udah kayak langit dan bumi. Ibarat posisi Pak Edgar ada di langit, berjejer sama bintang dan bulan. Sedangkan gue? Gue ada di bumi, kayak rumput yang sering diinjek-injek sama kambing, kerbau, sapi."

Jasmin terbahak mendengar celotehan Laura yang mengibaratkan dirinya seperti rumput. Padahal ia hanya bercanda, namun ternyata teman baiknya itu menganggapnya dengan serius.

"Lo nggak boleh merendah, Laura! Mau lo kayak rumput yang sering diinjek, kek, mau kayak ranting pohon yang rapuh, kalau Pak Edgar udah cinta, dia nggak akan mandang semua itu. Percaya sama gue."

Sudahlah, Laura terlalu malas mengurusi Jasmin yang perkataannya sudah tidak karuan. Ia memilih untuk meninggalkan pantri dan kembali pada pekerjaan yang baru selesai setengahnya.

Sedangkan Jasmin, wanita itu juga kembali ke dalam ruangan pribadinya, sebelum jam bekerja dimulai kembali.

Laura tengah mengurus proposal untuk sebuah produk makanan instan baru yang akan diluncurkan perusahaan mereka, sebelum sibuk dengan nasi goreng yang masih dalam tahap uji coba.

Entah dari mana tim pemasaran mendapat ide seperti itu. Mungkin karena Laura yang maniak menonton Drama Korea, dan terinspirasi dengan makanan di sana, atau memang murni hasil pemikirannya sendiri.

Entahlah. Hanya ia yang tahu.

Dewantara's Company menjadi perusahaan makanan terbaik satu-satunya. Awalnya Dewantara hanya menjalankan bisnis rumahan, di mana ia dan sang istri sangat berdedikasi untuk membuat camilan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan, dari mulai anak kecil hingga orang tau.

Tidak ada orang yang sukses begitu saja. Semua orang pasti memulainya dari nol, dan benar-benar nol. Hingga setelah dirasa keuntungannya cukup banyak, Dewantara memutuskan untuk membuka sebuah pabrik sederhana. Tidak terlalu besar memang, namun produknya sudah mencapai luar kota.

Lalu dua tahun kemudian, usaha yang dipimpin langsung olehnya berkembang sangat pesat. Dan saat ini, Dewantara memiliki satu pabrik utama dan beberapa pabrik cabang kecil-kecilan, juga perusahaan satu-satunya di bilangan Jakarta Utara.

Awal mula Laura menjadi bagian dari perusahaan tersebut, dia merasa sangat terhormat. Karena, Dewantara tidak pernah merekrut sembarang orang. Semua calon-calon karyawan benar-benar diuji.

Dering telepon di atas meja kerja Laura mengalihkan perhatiannya. Kedua tangan wanita itu meninggalkan keyboard dan beralih meraih gagang telepon.

"Halo?"

"Laura, tolong ke ruangan saya sebentar. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan."

Itu suara Edgar. Dahi Laura mengernyit kecil, Edgar sudah kembali? Pikirnya.

"Baik, Pak. Saya ke sana sekarang."

Panggilan mendadak tiba-tiba itu membuat Laura sedikit berdebar. Dia meraih blazzer biru muda dan memakai sebagai luaran, menutup manset putih polos ketat yang memperlihatkan tonjolan kedua dadanya.

"Permisi, Pak."

"Masuk!"

Laura berjalan dengan langkah anggun menghampiri Edgar dan berdiri di seberangnya dengan denyut jantung berdebar. Jarak mereka hanya terhalang oleh meja dengan papan kayu bertuliskan Direktur Utama di atas meja.

"Ah, silakan duduk. Saya sampai lupa." Edgar mempersilakan pegawainya tanpa mengangkat wajah sedikitpun. Pria itu terlihat fokus dengan berkas-berkas yang tidak tahu apa isinya.

"Begini, Laura, saya sedang memindahkan beberapa berkas dan proposal dari Direktur sebelumnya. Apa kamu bisa bantu saya, untuk mencarikan beberapa proposal pemasaran yang nggak tau kesalip di mana?"

Apa katanya? Mencari berkas?

"Maaf, Pak, tapi itu bukan tugas saya. Bukankah itu tugas sekretaris Bapak?"

"Saya tahu. Tapi Issabel sedang tidak masuk hari ini, dia lagi ada acara. Jadi kamu bisa bantu saya, kan?"

Sebenarnya tidak. Namun Laura tidak memiliki pilihan lain.

Hal yang menurutnya paling menyebalkan adalah, mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Jika dia bisa membantah dan melayangkan protes, pasti Laura akan melakukannya saat ini juga.

Sudahlah. Faktanya tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia hanya seorang karyawan biasa, yang hanya boleh mentaati aturan atasan.

"Kenapa? Kamu keliatannya nggak ikhlas."

"Ah, nggak gitu, Pak. Saya ikhlas kok, beneran." Laura mencoba untuk tetap tersenyum. Dia cukup malas untuk berdebat.

"Kalau begitu, bisa temani saya ke ruang penyimpanan arsip?"

Wanita itu mengangguk patuh, lalu mengikuti Edgar yang berjalan lebih dulu.

Semua karyawan menatap keduanya dengan ekspresi bingung. Terutama Jasmin. Dahinya berkerut dan mengangkat kedua tangan sebatas dada. 'Lo ngapain ngikutin dia?' kiranya seperti itulah arti dari tatapan Jasmin.

Laura hanya menggeleng dengan bibir mengerucut pasrah. Sampai keduanya tiba di ruangan tempat penyimpanan arsip.

"Saya nggak tahu di mana berkas-berkas yang sudah tidak terpakai itu berada. Kamu tolong carikan, ya."

"Berkas apa yang Bapak butuhkan? Proposal pengajuan atau laporan penjualan?" Laura bertanya sesuai apa yang dia ketahui dan kerjakan.

"Proposal pengajuan izin edar."

Untungnya Laura paham sekali dengan apa yang Edgar katakan. Wanita itu menarik kursi yang terletak tidak jauh dari tubuhnya, lalu menaiki benda tersebut dan menjadikannya sebagai pijakan sekaligus penopang, karena rak penyimpanan berkas yang Edgar maksud terletak di bagian paling atas.

"Kamu kenapa nggak bilang kalau berkasnya ada di paling atas?" Edgar berdecak pelan dan menaiki pijakan yang sama dengan Laura.

"E-eh, Bapak mau ngapain? Ini kursinya kecil, Pak. Nanti kita bisa jatuh!" Gila memang. Kehadiran Edgar justru membuat tubuh Laura bergoyang dan hampir limbung. Untung saja gerakan refleks Edgar cukup bagus dan bisa menahan lengan Laura.

"Saya turun dulu." Edgar melompat dari kursi tersebut dengan sebuah berkas di tangannya. Disusul oleh Laura yang langsung mengepak pakaiannya agak terkena debu.

"Yang ini kan berkasnya?"

Wanita itu mengangkat wajah dan menghela napas pelan. "Bukan, Pak. Berkasnya ada di dalam amplop warna hijau." Sedangkan yang Edgar ambil adalah amplop berwarna kuning.