31 Satu Malam Bersama (2) 17+

Dirasakan sentuhan lembut di pipinya yang ternyata dari tangan Eryk, menyandarkannya dari syoknya, dengan malu-malu meletakan tangannya di atas tangan Eryk yang berada di sana, "Aku juga merasakan hal yang sama ...."

Eryk menyunggingkan senyum kecil, yang dibalas senyuman malu-malu Gaea.

Mereka tetap seperti itu untuk beberapa saat saling memandang sendu satu sama lain, sampai akhirnya bergerak mendekatkan diri satu sama lain lalu berhenti ketika berjarak wajah mereka beberapa inci saja.

Eryk lah yang menghapus jarak mereka, mempersatukan bibirnya dengan bibir Gaea lembut.

Gaea tidak menyangka bahwa Eryk yang akan mengambil inisiatif terlebih dahulu, walaupun dalam hatinya senang juga, perlahan menutup matanya dan mulai membalas serta menyingkirkan bantal guling penghalang mereka supaya bisa memeluk erat pria yang dicintainya itu.

Mereka berciuman intens, melepaskan segala perasaan yang mengganjal di hati mereka, saling posesif tidak mau mengalah satu sama lain.

Eryk terpaksa mengakhiri ciuman mereka hanya sebentar untuk mengambil napasnya sebelum kemudian mengklaim bibir Gaea penuh gairah kembali dengan menempatkan dirinya di atas wanita itu juga, merasakan setiap inci bibir yang membuatnya mabuk itu.

Gaea tidak percaya ini akan kembali terjadi, tanpa acuan apa pun hanya lewat perasaan rindu mereka berdua. Ia bisa merasakan Eryk yang begitu posesif padanya dari setiap kali menyesap bagian bibirnya secara bergantian, namun selalu diakhiri kecupan singkat saat mengakhiri untuk sejenak menghirup oksigen bagi paru-paru mereka.

"Uhm ...," Gaea mengerang merasakan tangan Eryk membuka kancing bajunya dengan tak sabaran hingga terdengar bunyi patahan kancing bajunya. Ketika dirasa cukup banyak, tangan Eryk beralih ke bahunya menggeser bajunya hingga memperlihatkan tubuh polosnya yang memang tak mengenakan bra. Ia segera menutupinya malu baru pertama kalinya menunjukan tubuhnya pada seorang pria.

Gaea masih perawan, berbohong pada Eryk agar tidak dikatakan amatiran sebab yakin Eryk sudah pernah melakukan hal lebih pada wanita lain, tak sepertinya yang sibuk belajar dan bekerja tak kenal lelah demi memenuhi kebutuhan perutnya.

"Mm ...," Gaea mencoba menahan desahannya ketika Eryk menurunkan ciuman memabukkannya ke bawah tubuhnya hingga berhenti di bahunya, mulai memberikannya tanda kemerahan di sana tanpa jeda baginya bernapas menetralkan detak jantungnya yang sudah berdebar tidak karuan.

'Ini ...."

Gaea merasakan tangan Eryk hendak menyingkirkan tangannya yang menutupi dadanya, dengan tegas menolak keras di tengah sentuhan ini mengira situasi mulai begitu salah. Ia harus tetap menjadi yang masih sadar di tengah kenikmatan ini, "Ah ...," Bibirnya tanpa sadar mengeluarkan desahan cukup keras begitu merasakan tangan Eryk tadi mencoba menyingkirkan tangannya yang berada di dadanya malah meremas tangannya yang mengenai dadanya masih tertutup.

Tubuh Gaea seketika merasa semakin panas, keinginan untuk menyentuh Eryk lebih mulai muncul perlahan menghilangkan sisa pikiran logisnya. Ia tidak bisa membiarkan ini, ini hal yang salah. Dengan sisa kekuatan yang ada, mendorong Eryk kuat-kuat menjauh darinya.

Caranya berhasil, Eryk menjauh dan duduk, sayangnya kemenangan yang diperolehnya hanya sebentar sebab pria itu menariknya lalu mendudukkan di atas dan mulai mencium bibir Gaea lagi.

Itulah pertahanan terakhirnya.

Gaea menutup matanya dan membalas ciuman panas mereka setelah Eryk berusaha menggodanya dengan menggigit lembut bibir bawahnya. Ia tidak peduli apa pun selain Eryk, ciuman Eryk dan sentuhan Eryk.

Eryk menyudahi ciuman serta kontak fisik mereka ketika wajah wanita yang dikenalnya muncul di kepalanya, wajah wanita muda yang dicintainya, Katherine. Ia duduk di pinggir ranjang sambil mengerang pelan.

Gaea ikut duduk juga, "Ada yang salah, Eryk?"

"Ini salah dari segi mana pun," kata Eryk murung, mengeratkan pegangan tangannya di ujung kasur.

Gaea tidak menjawabnya, mengerti, Eryk pasti teringat Katherine makanya diakhiri, jadi ikut merasa bersalah walau tidak begitu mengenal Katherine, namun memikirkan bagaimana rasanya jika berada di posisi Katherine, "Apa kau menyesalinya? Kita?" tanyanya sedih.

Eryk menggelengkan kepalanya, "Aku merasa diriku kotor." Namun, anehnya tidak menyesal sudah menyentuh Gaea hanya kesal pada diri sendiri yang tidak bisa setia pada Katherine.

Sudah dua kali Eryk selingkuh, yang pertama ketika mereka nonton, yang lainnya hanyalah akting baginya, dan Eryk baru menyadari hal tersebut sekarang.

Menyedihkan sekali.

Padahal Eryk benci orang yang selingkuh, namun malah melakukannya bersama Gaea.

Katherine dan Gaea tidak pantas diperlakukan begini olehnya.

Eryk membuang mukanya.

Gaea sendiri syok mendengarnya; kotor? Berarti ia kotor juga? Ia tahu itu benar hanya saja tetap membuatnya marah besar, "Kalau begitu jangan mencium orang sembarangan, Tuan Eryk!" serunya emosi membenahi pakaian yang kancingnya terputus satu.

Eryk menghentikan Gaea dengan menarik tangan, "Kau mau ke mana?"

"Menjauh darimu!" seru Gaea emosi.

"Tapi ini kamarmu," kata Eryk, "kita bisa bicarakan ini."

"Jangan memerintah ku, Eryk!" seru Gaea, lalu wajahnya berubah sedih, "aku mau pindah, aku bukan mainan, aku bingung dengan perasaanmu padaku. Jadi lebih baik kita tidak sekamar. Berpikirlah jernih sendiri."

Eryk termenung sesaat, dan melepas tangan Gaea juga akhirnya, seketika itu juga wanita itu berlari keluar kamar meninggalkannya sendirian.

Gaea berlari ke kamar sebelahnya, mengetuk pintu cepat-cepat.

Tidak ada jawaban.

Gaea mengetuk lagi, berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.

Cklek.

Rainer mengintip di balik pintu yang terbuka sedikit, wajahnya yang masih mengantuk dan masih belum sepenuhnya sadar seketika syok melihat Gaea menangis dalam diam di depan pintu kamarnya, "Ada apa?" tanyanya cemas, memegang bahu Gaea, "kau diserang, Gaea? Mengalami mimpi buruk?" lanjutnya memberikan pertanyaan bertubi-tubi.

Lebih ke arah menyakiti hatinya, dan orang itu ada di kamarnya.

Gaea menggelengkan kepalanya, "Rainer ... bisa aku tidur bersamamu malam ini?"

"Kau mau tidur denganku?" tanya Rainer.

Gaea mengangguk, "Aku sedang tidak ingin di kamarku. Boleh?"

Rainer menimbang-nimbang, lalu membukakan pintu juga, "Silakan masuk."

Gaea mengangguk, masuk ke dalam lesu.

Rainer menutup pintunya tak lupa juga menguncinya, kemudian menyusul Gaea yang sudah duduk di ranjang, "Kau baik-baik saja?"

Gaea membaringkan tubuhnya di ranjang, "Aku tidak mau membicarakannya."

"Kau berada di kamarku setidaknya cerita sedikit, aku cemas padamu," kata Rainer.

Gaea bangkit dari tidurnya, alisnya menyatu kesal, "Kau banyak bicara sih? Bisanya juga kau tak peduli padaku, kenapa sekarang jadi peduli? Kau mau mempermainkan aku juga, Rainer!?"

Mata Rainer terbelalak, niatnya hanya bertanya sedikit, Gaea malah marah-marah begitu, mengakui sudah memperlakukan Gaea tak selalu baik hanya saja hingga membuat marah begitu, membuatnya syok.

Gaea sadar apa yang dikatakannya sudah kelewatan, "Maafkan aku Rainer, aku tidak bermaksud melampiaskan perasaan aku padamu," katanya sedih.

Rainer menghampiri, duduk di samping Gaea, "Aku akan memaafkanmu jika kau bilang apa yang terjadi."

Gaea menggaruk lengannya.

Bagaimana menjelaskannya, takkan mungkin bilang pada Rainer bahwa ia mengundang Eryk tidur bersama, lalu terbawa lagi perasaan dan berciuman, yang diakhiri pertengkaran.

Bagaimana Gaea menjelaskan hal tersebut.

Rainer tidak mengetahui ada Eryk di kamarnya juga.

"A ... ku hanya mengalami mimpi buruk," kata Gaea berbohong.

Rainer menatap Gaea intens yang sontak membuat wanita itu salah tingkah dibuatnya, "Kau sampai menangis?"

"Iya ...," Gaea menjawab lemah, "aku lelah dipermainkan ...," Ia memberikan petunjuk sedikit mengenai kejadian sebenarnya.

"Eryk?" Rainer menebak.

"Bagaimana kau tahu?" tanya Gaea.

Rainer tertawa kecil, "Kau mencintai dia. Simpel."

Gaea ingat Rainer mengetahui perasaannya pada Eryk pun mengangguk mengakui, "Iya, dia membuatku pusing."

"Itu hanya mimpi, Gaea, kau ilmuwan, 'kan? Aku yakin kau lebih paham mengenai hal logis kenapa kita bisa bermimpi buruk."

Gaea tidak mengatakan apa-apa.

Lain ceritanya jika itu bukan mimpi melainkan kenyataan.

Rainer mengelus pucuk kepala Gaea lembut menenangkan, "Tidurlah, kau aman di sini, besok kita akan berangkat pagi-pagi, nanti mengantuk lagi."

Gaea mengangguk, tidak ada gunanya juga memikirkan Eryk, ialah yang terlalu berharap hubungan mereka bisa lebih dari sekedar tunangan palsu. Ia menaikan alisnya melihat Rainer tiduran di sofa, "Apa yang kau lakukan?"

"Tidur," Rainer menjawab singkat.

Gaea merasa ini sebuah déjà vu hanya saja Rainer kali ini yang memerankannya bukan Eryk. Ia juga merasa tidak enak, menawarkan diri, "Kau bisa tidur di sampingku, Rainer."

"Tidak," Rainer menjawab singkat lagi.

"Sungguh? Kau terlihat tidak nyaman." Gaea memastikan sekali lagi.

"Hm," Rainer menjawab singkat bahkan mengubah posisinya, membelakangi Gaea sebagai bentuk keputusannya.

Gaea terkesima, Rainer memiliki pendirian yang cukup kuat, sungguh berbeda dengan Eryk. Padahal mereka dibesarkan dengan didikan orang tua yang sama, Xander.

Bisa dibilang Eryk tipe lebih berani suka kesenangan, sementara Rainer tipe lembut tidak suka melanggar aturan.

Gaea jadi bertanya-tanya apakah jika dulu bertemu Rainer terlebih dahulu, apakah ia akan jatuh cinta kepada Rainer yang lebih masuk tipenya.

'Tidak ada gunanya memikirkan masa lalu.'

Gaea berbaring di ranjang lagi, dan menutup matanya.

***

Gaea terbangun merasakan cahaya matahari menyentuh matanya, dan anehnya tubuhnya terasa begitu berat, tidak bisa digerakkan. Ia mengira terkena sleep paralysis. Lumpuh sesaat, namun sepertinya bukan karena bisa menggerakan kepalanya ke sampingnya—mendapati wajah Rainer hanya beberapa inci dari wajahnya, "Wha—"

Bagaimana bisa ini terjadi? Bukankah Rainer semalam tidur di sofa?

Gaea melirik bagian bawah tubuhnya, akhirnya mengetahui penyebab kenapa tidak bisa menggerakan tubuhnya karena Rainer memeluk erat tubuhnya.

Oh, my ....

Apa yang harus dilakukannya?

Jantungnya berdebar cepat sekali, dipeluk Rainer seperti ini.

Gaea sejujurnya tidak enak membangunkan, tetapi mereka harus berangkat, ia mencoba memanggil pelan, "Rainer? Rainer, bangun."

Rainer tidak menjawab.

"Rainer?" Gaea memanggil lagi dan mendapat respon dari alis pria itu bergerak kecil menjadi semangat mengulanginya, "Rainer?"

Rainer mengerang pelan, merasa terganggu mengeratkan pelukannya hingga wajahnya tenggelam di leher jenjang Gaea.

Gaea benar-benar berdebar-debar sekarang. Jika terus begini, tak baik untuk jantungnya, "Rainer ...."

Rainer akhirnya membuka matanya perlahan, di setengah kesadaraan yang belum sepenuhnya pulih memanggil pelan, "Gaea?"

Gaea mengangguk.

"Kau cantik sekali ...."

Eh?

Kenapa tiba-tiba begitu?

Mata Gaea semakin melebar tak kala Rainer memegang pipinya, mengikis jarak di antara mereka.

***

Jangan lupa komentar dan beri batu daya ya 😊

avataravatar
Next chapter