Gaea menggelengkan kepala, "Aku tidak pandai menyanyi, aku tidak terlalu suka pelajaran musik."
Eryk melepas pelukannya, "Kenapa aku tidak heran dengan ini, iya?"
Gaea tidak mengatakan apa-apa. Jujur lebih baik daripada berbohong, bukan?
Eryk tertawa renyah, kembali membaringkan kepalanya di paha Gaea, dengan mata yang tertutup mulai bernyanyi, "Twinkle, twinkle, little star—"
Giliran Gaea yang tertawa, "Kau masih suka lagu anak-anak, Eryk~?" godanya, meskipun diakuinya suara Eryk cukup bagus juga.
"Itu memang lagu anak-anak, Ibuku suka menyanyikannya ketika aku masih kecil," kata Eryk.
Gaea terkejut, tidak menyangka Eryk akan berbicara mengenai Ibunya, mengingat dulu di majalah Eryk pernah membuat pengakuan tidak suka orang-orang berbicara mengenai kedua orang tuanya; jika ia ingat, Ibu Eryk itu meninggal karena sakit kanker, "Kau oke?"
"Aku oke," Eryk menyahut, "sesuatu di masa lalu tidak selalu menyedihkan, seperti lagu ini, ketika mendengar atau pun menyanyikan itu aku merasa dekat dengan Ibuku."
Gaea mengangguk, "Manis sekali kau tetap mengingat Ibumu, Eryk," katanya, "Baiklah, aku akan melakukannya, tapi kau jangan tertawa, iya?"
"Kau mau menyanyi, Gaea?" tanya Eryk, tetapi buru-buru menambahkan, "tunggu, aku memiliki firasat buruk jadi kau tidak usah menyanyi untukku."
Gaea menepuk lengan Eryk main-main, "Kau jahat. Suaraku tidak seburuk itu, kau tahu?"
"Makanya aku bilang tidak usah," kata Eryk, "lebih baik tidur lagi." Ia bangun, duduk, lalu melipat tangannya.
Gaea mengerucutkan bibirnya, apa-apaan sikap Eryk, menjauhkan diri, ia pun dengan iseng meletakan kepalanya di paha Eryk.
Eryk membuka matanya merasakan sesuatu yang berat menimpa pahanya, "Apa yang kau lalukan?"
"Tidur," jawab Gaea singkat.
"Aku tahu, tapi kenapa di pahaku?" tanya Eryk, meskipun suaranya memprotes, ia tidak menggeser maupun menggerakan pahanya agar Gaea menyingkir.
"Aku hanya mengikuti nasihatmu, kau bilang padaku bila bahuku bisa dijadikan lahan bisnis, 'kan? Jadi aku menjadikan pahaku juga sebagai lahan bisnis, dan bayarannya aku gantian tidur di pahamu," Gaea menjelaskan.
"Aku belum tanda tangan soal bisnis barumu," kata Eryk.
"Karena kau sudah tertidur duluan, Bos~" kata Gaea menggoda.
Eryk mengembuskan napasnya, "Tidurlah, besok hari yang penting untuk kita, tubuh kita harus sehat."
"Hm-hm," Gaea menggerakan kepalanya mencari tempat yang nyaman, tepatnya bagian paha Eryk yang nyaman.
Eryk mengelus lembut rambut cokelat Gaea, sekarang ini wajah Gaea adalah yang terbaik, tidak ada ekspresi aneh hanyalah kepolosan membuatnya mengingat wanita itu ketika masih kecil.
Gaea juga suka tidur di pahanya sambil mendengar cerita darinya atau Rainer dulu.
Dua belas tahun berlalu semenjak Eryk menjadi Bodyguard Gaea, sekarang ia tak menyangka menjadi tunangan wanita itu, apa selanjutnya? Suami?
Eryk segera membuang pikirannya jauh-jauh ketika terlintas kata suami, membelai rambut Gaea lagi sebelum menutup matanya sambil berdo'a berharap tidak mimpi buruk lagi.
***
Alex yang sengaja bangun pagi sekali agar bisa melanjutkan menonton film, mencari kaset tersebut di ruang tamu, "Heeeh? Aku yakin sekali menaruhnya di sini! Kenapa tak ada!? Hilang begini?"
Rainer yang berada di sofa, menguap lebar, ia kira ada apa Alex membangunkannya di pagi buta begini ternyata hanya minta ditemani. Ia menutup matanya, tahu begitu tadi tak usah dibukakan pintunya.
"Kau tidak melihat kaset filmku, Rainer?" Alex yang frustrasi tidak dapat menemukannya di mana pun.
Rainer menyahut masih dengan mata yang tertutup, "Tidak."
"Oh, man," kata Alex, "bagaimana jika kasetku diambil hantu!? Aku tahu rumah ini angker!" lanjutnya panik luar biasa.
Lola yang lagi menuruni tangga menutupi telinganya akan teriakan Alex, "Kau pagi-pagi sudah berteriak-teriak, ada apa sih?"
"Kau tahu kaset filmku di sini, Lola?" tanya Alex.
Lola berpikir sejenak, dan teringat sesuatu, "Mungkin Gaea yang mengambilnya, tadi malam dia menyelinap ke sini buat nonton, aku menyarankan nonton di ruang teate—" Sebelum sempat menyelesaikannya, Alex sudah kabur duluan ke ruang teater berada, "setidaknya dia berhenti berteriak layaknya perempuan—" Belum selesai lagi ia berkata, teriakan Alex menginterupsinya.
"Ahhhh!!!!"
Eryk yang sedang tertidur pun bangun seketika mendengar teriakan Alex tanpa sadar berdiri membuat Gaea yang berada tertidur di pahanya terjatuh ke lantai.
"Aduh," erang Gaea seketika bangun juga dari tidurnya, memegang pinggangnya yang nyeri, "kau ini kenapa? Sakit tahu ...."
Eryk tidak menjawab hanya menunjuk ke arah seorang pria yang membeku syok di depan mereka.
"Alex!?" seru Gaea, sekarang ia benar-benar sadar sepenuhnya dan benar-benar malu, berpikir sudah berapa lama Alex di sini.
Eryk memanfaatkan momen ini untuk kabur, ia memprediksi apa yang akan terjadi jikalau berlama-lama yaitu digoda habis-habisan.
"Alex!?" Gaea memanggil lagi.
Alex akhirnya pulih, mendapati hanya ada Gaea di depannya, ia mencari ke belakangnya dan menemukan pelaku yang lain yaitu Eryk yang sedang berjalan menuju pintu keluar, ia tidak menyia-nyiakan ini, menarik Eryk ke dalam lagi, "Tidak, tidak, aku sarankan kau tidak keluar."
"Kenapa?" tanya Eryk sedikit jengkel, "agar kau bisa mengejekku?"
Alex terkejut sesaat lalu berbinar-binar mengingat sebuah momen yang dilihatnya tadi, "Aku tidak percaya ini, kau membiarkan Gaea tidur di pahamu? Wow man, kau pasti sungguh mencintai Gaea, iya?"
Eryk menghela napas; inilah yang dimaksud digoda habis-habisan, "Dia membuka bisnis padaku dengan bayaran dia harus tidur di pahaku. Bisnis," jelasnya menekankan kata bisnis agar Alex cepat-cepat diam.
"Oh," Alex mengangguk-angguk paham, sebelum menggoda lagi, "kalian berdua menonton film?"
Gaea seketika terbatuk mendengarnya sementara Eryk membuang muka malu.
Alex yang melihat rona merah di pipi kedua insan yang tengah jatuh cinta itu mengedipkan matanya jahil, "Kau mencoba peruntunganmu tadi malam, man?"
Eryk semakin merona, sebisa mungkin mempertahankan suaranya tetap dingin agar Alex tidak semakin menggodanya, "Aku bukan kau, lagi pula filmnya jelek takkan bisa membuatku menyentuh Gaea."
Gaea melipat tangannya jengkel.
Sungguh berusaha menyelamatkan harga dirinya, huh? Padahal faktanya mereka benar berciuman setelah ada adegan dewasanya.
Bisa-bisanya berkata dengan polosnya tidak mau menyentuhnya padahal mereka ciuman dimulai dari Eryk duluan.
Alex tidak mempercayai begitu saja ucapan Eryk sebab ucapan dan wajah saudaranya itu berseberangan sekali apalagi wajah Gaea yang seakan ingin memukul Eryk semakin membuatnya curiga. Ia pun mengambil film dari dalam DVD player lalu terkejut bukan main melihat judul film tersebut sebelum ia menatap jahil kedua insan itu, "Kau tidak bisa mengelak lagi Eryk. Ini film aksi dewasa, ada peringatan 21 ke atas, man."
Eryk syok.
Pantas saja ada adegan panasnya semalam.
Gaea yang sudah tertangkap basah, malu sekali, "Cukup! Aku tidak mau dengar lagi!" serunya, tanpa menunggu respon langsung berlari keluar.
"Tunggu," Eryk memanggil, jangan tinggalkan dirinya sendiri bersama saudaranya.
"Aku lihat sepertinya sukses semalam iya, man?"
Eryk menepuk keningnya.
***
Gaea berhenti berlari di ruang tamu untuk mengambil napasnya.
Gaea tidak menyangka yang ditontonnya tadi film dewasa, ia pikir peringatan 21 itu untuk adegan pembunuhan atau semacamnya.
Tetapi kan mereka tidak menonton adegan tersebut karena mereka berdua berciuman duluan.
Gaea mengembuskan napasnya.
Sekarang ia jadi malu bertemu Eryk. Takut disangka wanita mesum.
"Eh?" Gaea tanpa sengaja menangkap Rainer yang terbaring di sofa.
Kenapa tidur di sofa?
Penasaran, Gaea pun mendekati pria muda itu, memperhatikan wajah Rainer apa benar tertidur, "Rainer—!?" Belum sempat selesai ucapannya, Rainer ngelindur dan mendekap tubuhnya.
"Gaea ...," Rainer bergumam di tidurnya.
Mata Gaea melebar, hendak berkata tetapi didahului oleh Eryk.
"Pemandangan yang indah," kata Eryk dingin.
Gaea segera melepaskan pelukan Rainer secara paksa hingga membuat pria itu terbangun hampir terjatuh dari sofa juga.
"Apa ...?" Rainer berkata masih setengah sadar, lagi-lagi bangun dengan terpaksa.
Kenapa orang-orang suka mengacaukan tidurnya?
"Kau memelukku tadi tidur," kata Gaea.
Rainer mengembuskan napasnya sambil duduk dengan tangan terlipat di dada, "Biar aku tebak, Eryk marah lagi?"
Gaea tidak bisa menjawab mengenai itu jadi melirikkan matanya ke Eryk mencari jawaban.
Eryk justru pergi menaiki tangga, tidak ada gunanya marah, Gaea bukanlah siapa-siapanya, meskipun mereka berciuman semalam, "Apa yang terjadi padaku ...?"
Kejadian semalam tidak seharusnya terjadi.
Eryk baru bertemu dengan Gaea lagi setelah sekian lama menghindar, lupa kah ia soal kekesalannya dulu? Apakah hatinya menjadi lembut? Ia juga bukan tipe selingkuh, tapi perlakuannya semalam ke Gaea mematahkan itu.
Katherine membutuhkan waktu dua bulan untuk membuatnya jatuh cinta sementara Gaea?
Eryk mengamati telapak tangannya, dengan perasaan yang masih bimbang ia melanjutkan lagi langkahnya.
***
Setelah kejadian tadi, Gaea mengurung diri di kamarnya hanya bermain dengan Bintang, ia ingin menenangkan diri dari kedua pria yang membuatnya bingung, Eryk dan Rainer.
Gaea menyadari Rainer mulai berani mengucapkan rayuan atau candaan padanya padahal sebelumnya selalu memberikan sinyal 'menjauh darinya'.
Apakah Rainer memang menaruh perasaan padanya?
Gaea keluar dari kamarnya, sendirian memang bagus, tapi juga membuatnya banyak memikirkan hal tidak masuk akal, contohnya Rainer jatuh cinta padanya, ada apa dengan otaknya? Langkahnya berhenti.
Dengan siapa ia bermain atau sekedar mengobrol?
Alex takkan mungkin, Gaea pasti digoda habis-habisan mengenai tadi.
Lola? Masih ingin sendiri.
Eryk? Takkan mungkin, lihat saja ekspresi pria itu tadi seperti apa ketika melihatnya dipeluk Rainer.
Rainer?
Gaea tidak memiliki masalah dengan Rainer hanya saja alasannya keluar karena tak mau memikirkan Rainer jadi kenapa harus?
Harus.
Gaea kembali ke atas dan mengetuk pintu kamar yang ia yakini milik Rainer.
Tok. Tok. Tok.
Tidak ada jawaban.
Gaea mengetuk lagi, kali ini sambil memanggil, "Rainer? Ini aku." Ia menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar apakah ada suara dari dalam.
Tok. Tok. Tok.
Tetap tidak ada jawaban.
Gaea kembali ke bawah dengan lesu.
Mungkin Rainer sedang tidur atau enggan menemuinya, di luar dugaan itu membuat hatinya sakit.
"Baiklah." kata Gaea jengkel, jika seluruh keluarga Enzo tidak mau menemuinya, ia akan mencari kesenangannya sendiri, masa bodoh dengan mereka.
Tinggal masalahnya kesenangannya itu apa.
Gaea yakin Eryk takkan mengijinkan keluar jadi terpaksa mencari kesenangan di dalam. Matanya tertuju pada kolam renang, jika saja bukan musim dingin, ia akan dengan senang hati berenang.
'Apa dong?'
Menonton film? Takkan, ia takut terjebak, ada adegan dewasanya lagi.
Olahraga juga sudah siang begini.
"Hm."
Hanya ada satu yaitu latihan menembak, Gaea sejujurnya tidak ingin belajar lagi apalagi harus memegang pistol, tapi entah kenapa instingnya berkata ke sana. Ia pun keluar dari rumah dan berjalan menuju tempat latihan menembak, sedikit heran terdengar suara tembakan dari dalam. Ia yakin Eryk telah pergi bekerja, lantas siapa?
Ferdinand? Alex?
Hanya ada satu jawaban.
Gaea membuka pintunya, terkejut ternyata adalah Rainer yang sedang berlatih sendirian. Ia melirik papan target dan terkagum hampir semuanya terkena di bagian tengah tengah.
Rainer meletakan pistolnya, matanya melebar melihat Gaea berdiri di ambang pintu, "Kau mau belajar menembak juga?"
Gaea masuk ke dalam sambil menggelengkan kepalanya, "Aku tidak sangka kau mahir juga menembak."
"Sejujurnya sudah lama aku tidak memegang pistol. Aku belajar lagi setelah Eryk memintaku ikut bersamanya nanti malam," Rainer menjelaskan disela-sela kegiatannya membuka kacamata pelindung.
"Oh ...," Gaea mengerti, sedikit bersyukur akhirnya Eryk mau mendengarkan idenya dan Rainer, "Hati-hati, iya?"
"Kau terlalu cemas Gaea, tidak apa," kata Rainer, "kemungkinan ada adegan yang kau kira tembak-menembak itu kecil, terlalu banyak tamu di sana, aku yakin Kervyn tidak berani mengambil risiko sebesar itu."
Gaea harap juga begitu, "Aku selalu mencoba berpikir positif, kau tahu? Aku mungkin tidak terlalu dalam mengetahui kemampuan kalian berdua, tetapi aku yakin kalian berhasil dan selamat."
Rainer tersenyum samar. Mendapatkan kepercayaan dari Gaea memberikan setitik kehangatan di hatinya, "Aku tahu, kalau begitu setelah ini selesai kita berkencan?"
Gaea mengangguk-angguk saja.
Rainer tersenyum lebar. Terlihat sekali bahwa Gaea tidak meresapi ucapannya. Tanpa ragu ia mengambil kesempatan emas ini, "Aku jadi tidak sabar pesta ini berakhir dan berkencan denganmu."
Gaea mengangguk lagi, sebelum akhirnya tersadar apa yang terjadi, "Kencan!?" serunya panik.
Rainer hanya mengulas senyum lagi, dan bergerak pergi keluar.
Gaea memegang pipinya yang memanas. Pikirannya yang tadi berusaha dihilangkan jadi muncul lagi. Ia tidak mengkhayal kali ini, 'kan? Bukan asumsi saja.
Rainer mengajaknya kencan.
Gaea tidak tahu harus merespon bagaimana tentu ia melihat Rainers sebagai lelaki, namun sebagai seseorang yang lebih spesial, pikirannya blank; berbeda jika Eryk yang mengajaknya kencan pasti bahagia di awan. Ia mengerutkan alisnya, "Kenapa juga aku memikirkan dia?"
Gaea sudah merasa beruntung ada yang tertarik padanya walaupun itu Rainer.
Gaea kembali ke rumah untuk mencari Rainer, ke ruang tamu, kamar tidur bahkan dapur pun dikunjungi ingin meminta penjelasan lebih detail mengenai kencan tersebut, sayangnya keberuntungan tidak berpihak padanya, ia tidak dapat menemukan.
"Mencari Eryk?"
Gaea menoleh, mendapati Lola berdiri di belakangnya sambil membawa botol yang mungkin berisi jus, "Rainer."
"Oh, dia bilang ada urusan," kata Lola kalem, "yang anehnya dia bilang padaku kalau kau mencari dia, aku disuruh berkata itu."
Gaea memutar bola matanya, kecewa dengan sikap Rainer yang memberikannya sinyal tak jelas terus.
Tadi Rainer membuatnya berpikir sebagai wanita yang spesial sekarang menjadi biasa lagi.
"Ada apa dengan kalian berdua memangnya?" tanya Lola penasaran.
Gaea tidak menjawab, ragu apakah harus bercerita atau tidak, normalnya tentu iya, Lola kan sahabat baiknya, sekarang Lola sudah berbeda, ia takut ucapannya menyinggung perasaan Lola.
Lola tertawa kecil, "Tentu saja kau takkan bercerita lagi padaku, aku sudah bukan lagi sahabatmu."
"Tidak! Kau salah!" Gaea membantah keras, "kau sahabatku Lola cuma aku butuh waktu menerima jati diri aslimu."
"Aku mengerti," kata Lola kalem.
Gaea mengangguk.
***
Karena tidak dapat menemukan Rainer, Gaea menghabiskan waktunya di kamarnya lagi, ia hanya keluar untuk mengambil makanan saja itu juga buru-buru takut ada Alex.
Tanpa disadari hari sudah sore, Gaea keluar dari kamar dan turun dari ke lantai bawah, duduk di sofa untuk menunggu kepulangan Eryk.
"Aku pikir kau takkan keluar dari tempat persembunyian mu," kata Rainer santai.
Gaea memutar bola matanya, "Aku kira kau takkan keluar dari tempat persembunyian juga."
Rainer ikut duduk, namun memilih di seberang, "Aku harus mempersiapkan diriku, Gaea."
"Sungguh?" Gaea sama sekali tidak percaya. "Bukankah tepatnya lebih ke melarikan diri dariku?"
Rainer tidak mengatakan apa-apa, bermain game di ponselnya.
Gaean tertunduk frustrasi, inilah yang tidak disukainya dari Rainer, terlalu misterius, mungkin ajakan kencan tadi hanya ilusinya semata.
Seorang Rainer menyukainya? Lelucon bagus.
Gaea seketika bangkit dari duduknya mendengar suara mobil dari luar, dan menghampiri arah suara tersebut.
Eryk keluar dari mobilnya dengan helaan napasnya.
"Selamat datang," Gaea menyapa hangat sambil melambaikan tangannya.
Eryk yang melihat Gaea menyapanya seperti seorang istri seketika teringat akan pikirannya lagi, "Bisa kau tidak menyambut aku jika tidak diperintah?"
"Eh?" Gaea menaikan alisnya, aneh sekali, kemarin juga begini kenapa baru sekarang Eryk protes?
Eryk bertingkah aneh hari ini sama seperti Rainer.
"Ada apa dengan kalian berdua?" kata Gaea.
"Siapa?" Eryk bertanya balik dengan polosnya.
"Lupakan," kata Gaea ketus lalu kembali ke dalam.
"Ada apa dengan dia lagi?" kata Eryk terheran-heran.
Sebastian dan Ferdinand hanya tertawa.
Eryk menghentikan Gaea dengan menarik tangan hingga wanita itu menoleh bingung.
"Apa?" tanya Gaea.
"Aku ingin berbicara denganmu," kata Eryk. "ikuti aku."
Gaea menurut saja melihat wajah Eryk yang begitu serius bukan gurauan, ia lihat Eryk ke kamar dia sendiri, ia tetap mengikuti.
"Kunci," kata Eryk.
"Kenapa?" Gaea kebingungan walaupun tangannya bergerak mengunci pintu kamar Eryk.
Eryk duduk di ranjang sambil menyalakan televisinya, lalu menepuk-nepuk tempat di sampingnya memberi isyarat untuk Gaea duduk di sana.
Gaea mengembuskan napasnya lalu duduk sedikit berjauhan dari Eryk berjaga-jaga agar pria itu tidak menyerangnya lagi, tahu sendiri Eryk merupakan kelemahannya.
Eryk yang melihat Gaea begitu menjaga jarak dengannya pun mendekatkan diri sehingga bahu mereka bersentuhan satu sama lain, "Kau ini, sulit tahu jika berjauhan."
Gaea memutar bola matanya; takkan sulit untuk meminta maaf juga, "Apa yang mau kau katakan?" tanyanya dengan pandangan mata tertuju pada televisi yang tengah menyiarkan berita mengenai kasus kriminal pencurian.
"Aku ingin memberitahu padamu, aku sudah bilang ke yang lain untuk tidak keluar rumah maupun membuat pesanan makanan di luar rumah," Eryk menjelaskan, "dan jika ada yang melanggar, hati-hati dengan orang itu, Gaea."
Gaea menilai paranoid Eryk sudah melebihi batas normal, "Eryk, kau terlalu cemas, kau curiga dengan keluargamu itu berlebihan ... bagaimana jadinya jika mereka mendengar ini?"
Eryk terdiam sesaat, "Aku tidak memberitahu mereka untuk curiga satu sama lain, aku hanya bilang untuk tidak keluar rumah dan memesan makanan dari luar. Jangan juga kau membuka pintu untuk orang asing walau itu suaraku, aku akan menghubungimu jika aku pulang lebih cepat."
"Kau hanya memberitahu tentang ini padaku!?" Gaea terkejut, lalu marah, "kau mau aku jadi yang jahat begitu maksudmu, hah!?"
"Pelan kan suaramu," Eryk mengeluh, "iya hanya kau. Gaea, aku punya pendapat kuat mengenai ini. Apartemenmu baru dibobol, wajar aku bilang ini, tujuan dari semua ini kalau bukan aku kemungkinan besar kau."
Gaea kehilangan kata-katanya; bila benar apa yang dikatakan Eryk, lantas apa yang mereka cari darinya? Apa mungkin komplotan orang yang membunuh orang tuanya?
Eryk bangkit berdiri, lalu menunjuk bawah ranjangnya, "Aku meletakan pistolku dan ponsel di sini, kau bisa memakainya jika kau tidak bisa ke kamarmu untuk mengambil pistolmu. Menelepon layanan polisi atau semacamnya, hanya ada itu di ponsel ini."
Gaea hanya melirik sebentar lalu menatap kosong lagi layar televisi, "Lebih bagus aku ikut denganmu."
Eryk menggelengkan kepala menolak, "Jauh lebih berisiko, setidaknya di sini jumlahnya lebih banyak."
Gaea mengembuskan napasnya, "Baiklah."
"Perhatikan baik-baik, Gaea," Eryk memperingati sekali lagi.
Gaea mengangguk lemah.
Eryk yang melihat Gaea tampak murung, berusaha menghibur, "Kau tidak usah takut, kau tidak sendirian. Ada Alex, Ferdinand, Sebastian bahkan sahabatmu Lola. Kau akan baik-baik saja."
Bukan itu yang Gaea cemaskan; tidak tahukah ia lebih mencemaskan Eryk? "Berjanji padaku kau kembali. Please?"
"Sekarang kau yang cemas berlebihan," Eryk bergurau disertai tawa kecil, namun Gaea sama sekali tidak bergabung tertawa bersama jadi ia kembali serius, "Aku janji."
Gaea tersenyum sama, dan memberanikan diri memeluk Eryk dengan lembut.
Eryk terkejut tentunya sebelum kemudian membalas pelukan Gaea erat.
Untuk beberapa saat mereka berpelukan.
"Eryk?" panggil Gaea pelan.
"Hm?"
"Kau melukai aku."
Eryk lantas melepaskan pelukannya.
Gaea tertawa kecil, dan berkata malu-malu, "Tidak apa Eryk, hanya lain kali lebih lembut karena aku wanita."
Eryk menghela napas, "Kau selalu merusak suasana, iya?"
Mana mungkin Gaea suka merusak suasana apalagi dengan Eryk, hanya terkadang selalu saja ada hal yang membuat mereka berhenti bermesraan. Ia tersipu memikirkannya, "Aku hanya memberitahu."
"Hm."
***
Eryk memeriksa keperluannya sekali lagi, dompet, uang, dan ponselnya berisi undangan elektronik yang dikirim Johnny buatnya masuk.
Lengkap.
Eryk memeriksa bajunya apakah semua sudah sempurna.
"Kau sudah tampan, man," Alex mengomentari, lelah melihat Eryk terus mengecek penampilan.
Eryk mengambil pulpen, menaruhnya di balik jasnya berjaga-jaga bila memerlukannya, "Aku berangkat, ingat kata-kataku pada kalian tadi terutama kau, Alex."
"Aku?" Alex menunjuk dirinya polos.
"Kau selalu bertindak sesukamu," kata Eryk.
"Aku tidak!" Alex membela dirinya, "jika ada itu adalah tunanganmu, Tuan Muda Eryk."
Seketika Eryk melirik Gaea yang berada di samping Alex, "Aku lupa ada Alex versi wanita. Apa pun itu ingat ucapanku tadi, Gaea."
Gaea mengangguk entah sudah ke berapa kalinya hari ini; perhatian Eryk yang manis awalnya menjadi menyebalkan, ia segera mendorong punggung Eryk mengarahkan ke mobil, "Kau bisa telat jika terus cemas di sini, Eryk."
Eryk berbalik, "Aku kira kau akan tetap menentang aku ke pesta."
"Kau akan pergi juga takkan ada gunanya aku memprotes habis-habisan," kata Gaea.
"Baiklah," Sedikit aneh, tapi Eryk senang dengan sikap Gaea yang dewasa.
Rainer yang memandang keduanya mengobrol akhirnya berbicara, "Apakah kita mau terus mengobrol atau naik ke taksi? Kau harus menghemat karena aku yakin lelang ini akan membakar banyak uangmu."
Eryk lupa dengan itu, tadi ia ke tempat kerja untuk mengambil uangnya, simpanannya tepatnya, ia selalu menaruh kartu debit Swiss miliknya di klub untuk menghindari dirinya memakainya secara tidak sengaja. Ia masuk ke dalam.
Rainer mengeluarkan kepalanya di jendela, "Jangan lupakan janjimu, Gaea."
"Kalian berjanji apa?" tanya Eryk penasaran melihat Gaea yang pipinya berubah merona yang membuat matanya menyipit tidak suka.
Gaea tidak bisa menjawabnya, tidak dengan adanya Eryk, "Pak, jalankan mobilnya!" serunya sambil memasukan kepala Rainer ke dalam kesal mengungkit kencan mereka.
Mata Eryk membulat, "Apa?"—Gaea memilih menghindar? Pastilah janji yang spesial, "kau berjanji apa dengan Gaea, Rainer?"
"Aku rasa lebih baik kau tidak mengetahuinya Eryk," Rainer membalas kalem, "lagi pula ada hal yang lebih penting, 'kan? Seperti mencari tahu Katherine."
Eryk kembali mengingat kekasihnya, dan termenung. Lagi, ia membiarkan emosinya menguasainya.
Eryk sejatinya tidak peduli akan kehidupan pribadi Gaea.
Ingatlah ia sudah memiliki kekasih, Katherine.
Seharusnya Gaea berhubungan dengan Rainer tidak menjadi masalah, bukan?
Eryk memandang kosong keluar jendela.
Rainer hanya tersenyum samar.
***
Gaea menghela napas lega setelah taksi pergi. Memang sikapnya sedikit kekanakan, menghindar begitu, tapi bila Eryk tahu soal kencan itu pasti mereka bertengkar lagi.
Di sisi Alex bersorak gembira, "Akhirnya mereka pergi juga! Wohooo ...!"
"Kau kenapa Alex?" tanya Gaea.
"Aku menunggu momen langka ini sudah sejak lama," kata Alex semangat empat lima, "kau tahu artinya ini apa, babe?"
"Um ...," sayangnya Gaea tidak mengerti.
"Itu artinya kita pesta pizza, Gaea," Lola menjawab yang disambut meriah Alex lagi.
"Eh? Eryk bilang ...," Gaea berkata ragu-ragu.
"Jangan seperti Eryk, Gaea. Dia terlalu cemas pada kita," kata Ferdinand, "sudah lama sekali tidak pesta malam makanan cepat saji, Eryk selalu di rumah jadi susah."
"Hanya pizza, babe. Hal buruk apa yang akan terjadi?" kata Alex tanpa beban.
Gaea sendiri cemas, apakah ini bagus tidak menuruti nasihat Eryk? Ia ingin protes, namun tiga lawan satu jelas satu yang kalah.
"Aku yang akan menyiapkan minum," kata Ferdinand.
"Aku menyiapkan tempatnya," kata Lola semangat.
"Aku yang memesan pizza kalau begitu," kata Alex, "Ah iya, memesan roti tempat Katherine bekerja dulu juga enak nih!"
Mereka pun pergi ke dalam meninggalkan Gaea yang masih bimbang, memandang gerbang rumah sendu, "Aku harap tidak terjadi apa-apa dengan mereka berdua ...," setelah mengatakannya, ia masuk ke dalam.
***
Jangan lupa beri batu daya untuk mendukung novel ini :)
Kritik dan saran dipersilahkan :)