Lovita sangat yakin jika lelaki yang sering muncul di dalam mimpinya adalah Desta. Lelaki itu pun hampir saja mencium Lovita meskipun hanya di dalam mimpi. Gadis itu masih saja memikirkan mimpi-mimpinya yang lalu. Di saat semua peserta paduan suara bersiap, Lovita masih saja bengong memikirkan Desta. Ia masih berdiri di samping panggung melihat lalu Lalang para orang tua yang datang ke sekolah.
"Lov, kamu ngapain di sini? Semuanya udah naik ke atas. Kamu masih aja di sini."
Angel datang mengagetkan sahabatnya. Gadis ABG itu merasa aneh melihat sikap Lovita yang tidak seperti biasa. Sejak datang ke Aula, Lovita lebih banyak melamun.
"Mas Desta udah datang?" Lovita langsung menanyakan keberadaan Desta.
"Mas, Mas, Pak! Dia itu Pak Desta, bukan Mas Desta!"
Angel menyentil dahi Lovita. Gadis itu hanya ingin mengingatkan siapa Desta sebenarnya. Lovita harusnya tidak bisa sembarangan memanggilnya. Meskipun hanya guru magang, Lovita pun harus tetap memperlakukan Desta seperti guru lainnya.
"Bodo amat, bagiku dia itu tetep Mas Desta! Enggak ada yang lain!"
"Terserah lah, Kamu itu memang tukang ngeyel!"
"Yeee, suka-suka aku dong!"
Lovita masih kekeh tetap berdiri. Ia sama sekali tidak peduli dengan beberapa temannya yang lalu lalang di depannya. Lovita terlihat cuek. Matanya mengawasi setiap sudut ruangan dan pintu masuk Aula. Berharap bisa melihat wajah tampan Desta sebelum tampil. Gadis itu benar-benar berharap jika guru magang itulah lelaki yang selalu muncul dalam mimpinya.
Lima menit berlalu Desta belum muncul juga. Bu Livi sudah menegur agar Lovita segera naik ke panggung. Guru mapel seni budaya itu hanya bisa menggeleng saat melihat tingkah Lovita.
"Ayolah, Bu. Tunggu sebentar saja." Lovita masih merengek. Gadis itu masih kekeh ingin melihat wajah Desta sebelum tampil.
"Lovi, ini sudah waktunya tim paduan suara untuk tampil."
"Ayolah, Bu, Mas Desta belum datang loh. Aku harus menemuinya sebelum tampil."
"Mas Desta?" Bu Livi mengernyitkan dahi. Ia merasa aneh dengan panggilan Lovita terhadap guru magang tersebut.
"Ops! Pak Desta maksudnya." Lovita hanya tersenyum meringis meralatnya.
"Desta? Kenapa kamu harus menunggunya. Hari ini Desta tidak masuk."
"Loh, kenapa?"
"Udah kamu naik! Atau mau dihukum keliling lapangan?" Bu Livi berkacak pinggang. Ia mengeluarkan jurus ampuhnya untuk membuat Lovita menurut.
Salah satu siswanya itu memang selalu menjadi langganan hukuman. Namun, semua itu tidak membuatnya jera. Lovita berulang kali melakukannya hingga seluruh guru sangat hapal namanya. Terutama Pak Thomas, lelaki berperut gendut itu seolah menjadi musuh bebuyutan Lovita di kelas. Gadis itu selalu berbuat ulah dan berakhir dengan hukuman.
***
Mendengar kabar Desta tidak masuk membuat Lovita tidak bersemangat. Gadis itu hanya membuka mulutnya lebar tanpa mengeluarkan suara. Ia merasa tidak ada gunanya bernyanyi tanpa kehadiran Desta untuk menyemangati. Sementara kedatangan ayahnya sama sekali tidak penting. Ia tidak peduli dengan kehadiran Arga yang baru saja duduk di deretan para donatur sekolah.
Penampilan tim paduan suara telah usai dan Lovita langsung beranjak turun terlebih dahulu. Ia turun tidak sesuai urutan. Bahkan karena ulahnya, beberapa temannya terjatuh saat menuruni anak tangga di samping panggung. Lovita hanya menoleh dan langsung turun. Ia tidak peduli beberapa guru langsung menyorot perilakunya. Apa lagi sang ayah langsung memanggilnya. Lelaki itu langsung beranjak dari tempatnya menghampiri putrinya dan langsung menjadi pusat perhatian.
"Apa yang kamu lakukan?!" Arga membentak Lovita di depan umum. Padahal gadis itu hanya terburu-buru turun dan tidak sengaja membuat temannya jatuh.
Lovita merasa malu dilihat begitu banyak guru dan teman lainnya. Gadis itu hanya menunduk mendengar Arga yang selalu mengungkit-ungkit keonaran yang Lovita lakukan.
"Kamu selalu membuat Papa malu! Kamu meminta Papa datang, tetapi kamu malah membuat Papa sangat malu!"
"Lovi enggak memaksa Papa buat datang. Kalau Papa nyesel datang mendingan enggak usah datang sekalian."
Lovita kesal mendengar penuturan Arga. Lelaki itu terdengar seperti terpaksa untuk datang. Gadis itu pun tidak peduli percakapan mereka menyita banyak perhatian. Apa lagi jika sampai dirinya harus berurusan dengan guru Bk lagi karena ketidak sopanannya.
"Lovita!" Arga berada di puncak kemarahannya. Ia merasa anak gadisnya sama sekali tidak menghormatinya.
Gadis itu langsung pergi keluar Aula tanpa menggubris panggilan Arga. lelaki itu benar-benar marah dengan sikap anak tunggalnya yang bersikap seenaknya. Arga langsung berbalik dan merasa sangat malu. Ia tidak mengira menjadi pusat perhatian banyak orang yang datang pada acara peresmian gedung baru. Ia memilih berpamitan dan langsung pergi. Lelaki itu keluar dengan wajah memerah menahan malu. Ia menyempatkan waktu pentingnya untuk hadir. Namun, Lovita malah membuat onar dan memalukan dirinya di depan umum.
Arga pun tidak berniat menemui anaknya sebelum langsung pergi ke Surabaya. Waktunya sangat berharga dan tidak ingin berdebat karena hal yang sama sekali tidak penting menurutnya.
Lovita yang duduk di taman melihat kepergian Arga dengan menahan kesedihannya. Ia tidak mengira ayahnya menganggapnya hanya pembuat onar dan malu. Gadis itu duduk dan melihat mobil milik Arga meninggalkan tempat parkir. Lovita hanya bisa menarik napas panjang. Lelaki itu pergi tanpa berpamitan.
Angel yang baru saja datang terlihat prihatin dengan kondisi Lovita. Sahabat Lovita itu tahu betul jika sahabatnya itu menahan rasa sedih yang sangat dalam. Di balik keceriaannya tedapat rasa sedih terdalam dengan kondisi keluarganya. Kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan hingga membuat Lovita merasa kesepian.
"Sangat menyedihkan bukan?" Lovita tertawa getir. Seluruh siswa tahu bagaimana ayahnya Lovita memperlakukan dirinya.
"Lovita, kamu tenang aja. Masih ada aku, okey." Angel menepuk pundaknya. Gadis itu tersenyum dan membiarkan Lovita bersandar di pundaknya.
"Aku kangen ama Mas Desta … untung saja Mas Desta hari ini enggak berangkat. Kalau Mas Desta datang aku bisa benar-benar malu sekarang. Mungkin dia akan semakin risih padaku."
"Eh, kenapa kamu malah ingat si Pak Desta, sih."
Angel menarik kepala Lovita. Temannya itu benar-benar kacau. Lovita bukannya merasa bersedih dan menyesal karena sikap kasarnya, tetapi gadis itu malah mengingat Desta.
"Apanya yang salah? Terus aku mesti telepon Papa untuk minta maaf? Papa aja enggak nyesel kok marahin aku di depan umum."
"Ish … jangan gitu Lovita. Om Arga itu Papa kamu."
"Iya, aku juga tahu. Lagian di kartu keluarga juga tercatat jelas. Jadi kamu enggak usah jelasin sejelas-jelasnya."
"Lovi …"
"Apaan, sih, aku baik-baik saja. Kamu enggak usah khawatir. Papa udah sering kayak gini. Aku sudah terbiasa hidup tanpa mereka. Anggap aja aku hanya anak dalam status kartu keluarga mereka."
Angel hanya bisa menggeleng mendengar ocehan Lovita. Ia pikir gadis itu akan merasa sedih, tetapi Lovita sangat pandai menyembunyikan perasaannya. Lovita menganggap semuanya biasa. Namun, wajahnya sama sekali tidak bisa berbohong. Ada rasa sedih yang tetap tinggal dan tidak bisa ditutupi. Lovita hanyalah gadis biasa yang bisa kapan saja merasa sedih dan senang seperti gadis remaja pada umumnya.