8 Ibu dan Anak

Menanggapi godaan Ria, Aiden hanya menatap bingung ibu dan anak itu yang tampaknya sedang bertengkar.

Dalam hati dia bertanya, "Apakah Selia tidak mengijinkanku untuk menginap di sini? Kenapa dia sampai marah pada Ibunya?"

Menurut Aiden, tidak ada yang aneh terhadap undangan Ria kepadanya. Lagipula, hari juga sudah mulai petang, tidak baik untuk bepergian di malam hari. Terutama hal tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas Demonic Beast di seluruh hutan.

Di sini, bukan hanya dia bisa beristirahat setelah melakukan meditasi berhari-hari tanpa makan dan minum, tetapi dia juga bisa berlindung dari Demonic Beast dengan Array Pembatasan rumah Ria. Dengan begitu, Aiden dan Selia tidak harus khawatir terhadap serangan ganas Demonic Beast di malam hari.

Aiden bisa beristirahat sambil mengisi kembali tenaganya yang hampir habis. Meskipun pada kenyataannya, seorang Warrior seperti dirinya bisa bertahan tanpa makan dan minum selama satu bulan penuh. Tetapi, karena meditasi dan kesadaran mentalnya masuk ke dalam Mansion Spiritual, dia menghabiskan terlalu banyak Mana Element daripada seharusnya.

"Baiklah, jika Ibu Mertua tidak keberatan, aku akan beristirahat satu malam di sini," kata Aiden.

Tiba-tiba, Selia mengarahkan tatapannya pada Aiden, dia mempunyai ekspresi tak percaya di wajahnya yang merekah merah seperti bunga mawar berduri.

Di sisi lain, Ria tersenyum dan berkata, "Sudah diputuskan, Aiden akan tinggal di sini untuk satu malam. Dan ngomong-ngomong karena di rumah ini hanya ada dua kamar, Selia! Aiden akan tidur di kamarmu," dia kemudian berdiri dan meninggalkan gadis itu, yang masih memasang ekspresi tak percaya, sambil terkekeh.

Selia benar-benar tersipu malu, memang benar dia berkeinginan untuk menjadi pendamping hidup Aiden. Tetapi, hatinya yang belum matang tak siap untuk tiba-tiba saja harus melakukan hal "itu", lagipula, dia hanyalah seorang gadis manja yang masih beranjak dewasa, umurnya saja baru 17 tahun. Jadi tidak salah bila Selia merasakan gejolak yang aneh di dalam hatinya.

Selama ini, dia menghabiskan terlalu banyak waktu hidup di dalam hutan, dia juga jarang berpapasan atau berbicara dengan lawan jenis selain Herdian. Hal tersebut membuatnya kesulitan berkomunikasi dengan lawan jenis yang lebih muda.

Itu sebabnya, ketika Selia berbicara pada Aiden yang berpenampilan 50 tahun, dia tidak merasa canggung sama sekali. Malahan, dia secara alamiah berbicara dan bersikap seperti dia menghadap Herdian.

"Kalau begitu Selia, aku ingin bermeditasi sebentar di luar." Aiden memandangi Selia dari balik wajahnya. Dia kemudian berkata, "Hari sudah mulai petang, apakah kau tidak ingin mandi dulu? Aku akan bergantian denganmu."

"Umh...," Selia mengangguk, masih menundukkan kepalanya. Dia masih kesulitan memandang wajah Aiden.

Setelah itu Aiden pergi ke luar, dia mencari tempat yang cocok untuk bermeditasi.

Halaman luar rumah Ria terlihat sangat rapi dan tertata. Di sisi sebelah barat adalah taman yang berisi berbagai jenis bunga, ada juga air mancur serta beberapa set tempat duduk, itu adalah tempat yang cocok untuk bersantai. Sebelah timur adalah kebun untuk kebutuhan sehari-hari, ia menanam berbagai sayuran dan tanaman yang bisa di makan. Sedikit jauh ke belakang, pohon apel dan persik tumbuh berjajar rapi.

Pada awalnya Aiden sedikit terkejut, karena hanya dengan ia dan anaknya Ria bisa mengurus semua tanaman itu. Ditambah lagi, semuanya terawat dengan baik, Aiden bertanya-tanya apakah ia menghabiskan banyak waktu untuk merawat semua ini?

Setelah melihat beberapa tempat untuk meditasi, Aiden akhirnya memilih tempat paling cocok yaitu di bawah salah satu pohon persik paling besar di sana.

Dia duduk dan memejamkan matanya pada posisi bersila.

"Semoga aku bisa berbicara lagi dengan Guru Herdian atau Senior Deva." Setelah terbangun dari meditasinya, Aiden kehilangan bentuk komunikasi dengan penghuni Spiritual Mansion. Termasuk gurunya sendiri. Jadi Aiden ingin memastikan bahwa dia masih bisa melakukan komunikasi untuk yang selanjutnya.

Sebagai Warrior dan Mage, Aiden masihlah seorang bocah yang tidak tahu apa-apa. Menurutnya, ia masih membutuhkan bimbingan dari mereka yang sudah mendalami bidang tersebut. Ia tidak ingin melakukan kesalahan dalam perkembangannya.

Setelah bermeditasi untuk beberapa waktu, Aiden masih tidak bisa membentuk jalur komunikasi dengan mereka berdua. Meskipun dia sudah memfokuskan semua konsentrasi dan pikirannya, jalur komunikasi tersebut tetap tidak terbentuk. "Ternyata tetap tidak ada respon." Aiden menghela napas sedih.

"Sepertinya aku harus bergantung pada diriku sendiri."

Namun, meskipun dia kehilangan kontak dengan penghuni Spiritual Mansion, Aiden tetap bisa menggunakan energi murni dari tempat itu seperti bagian tubuhnya sendiri.

Kekhawatirannya sedikit mereda.

Aiden menghabiskan waktu memandangi langit sambil berbaring, menunggu Selia selesai mandi dan memanggilnya. Dia menatap bintang-bintang yang mulai bersinar di langit lembayung senja. Matahari mulai bertukar tempat sedikit demi sedikit dengan bulan, cahayanya mereda dan menghilang berganti dengan gemerlap bintang dan sinar bulan.

Tepat pada saat itu, Selia datang dengan mengenakan pakaian yang sedikit... menggoda.

"Kukira dia sengaja." Aiden tersenyum terhadap kelakuan Selia.

Saat ini, setiap lekuk tubuh dan bagian yang berisi milik Selia benar-benar terlihat dengan mata telanjang. Pakaian gadis itu terlalu ketat. Ditambah, pada beberapa bagian, kain pakaian itu sengaja di hilangkan sehingga menampilkan kulitnya yang halus dan bersinar putih pucat di bawah cahaya bulan.

Rambutnya yang panjang sampai pinggang tergerai. Itu bersinar tiga warna yang selaras di kegelapan malam.

Selia berjalan ke arah Aiden dengan malu-malu dan menundukkan kepalanya. Sepertinya dia tidak terbiasa berpenampilan begitu.

Gadis itu adalah bulan kedua yang dilihat oleh Aiden, dia sangat memesona.

"Um.. s-sa..." Setelah cukup dekat, Selia membuka bibir tipisnya yang berwarna merah muda, dia berbicara tergagap sambil memalingkan wajahnya ke samping.

Saat itu, Selia tetap menundukkan kepalanya.

"Sa?"

"Sa-sa-sa-sa.....Sa-sayang, ba-bak air mandinya sudah siap. Ka-kau bisa mandi sekarang." Ketika mengatakan itu, tubuh Selia gemetaran, suaranya benar-benar lirih, bahkan sampai terputus-putus.

"Dia terlalu memaksakan diri. Aku khawatir dia akan menggigit lidahnya sendiri." Aiden menghela napas dan bergumam dalam hati.

"Baiklah, kau juga cepatlah masuk. Jika terus di luar sini dengan pakaian itu, mungkin dirimu akan masuk angin," ucap Aiden lembut sambil memegang pundak Selia.

Dia kemudian beranjak dan masuk ke dalam rumah. Saat ini, seluruh rumah Ria terang benderang oleh cahaya Batu Sihir, tidak ada satu pun kegelapan yang hadir dalam radius 10 meter dari rumahnya. Seolah-olah rumah itu adalah bulan yang bersinar di langit, cahayanya bahkan sampai menembus sela-sela kelebatan Hutan Lostingsoul.

Sementara itu, Selia sedang berdiri termangu menatap tempat Aiden sebelumnya berada. Dia menggigit jarinya dengan tingkah menawan sambil tersenyum sebelum berbalik mengikuti suaminya dari belakang.

———

Setelah Aiden mandi dan berganti pakaian, dia menuju meja makan untuk makan malam bersama Ria dan Selia.

Beberapa hari ini, Aiden tidak makan dan minum. Dia hanya sempat mengambil satu buah persik di atas meja sebelum pergi bermeditasi di luar rumah Ria.

Sebenarnya, Aiden bisa bertahan lebih lama tanpa makanan. Ria tahu itu. Oleh karenanya, Ria tidak repot-repot untuk segera menyiapkan makanan setelah Aiden tiba.

Sebaliknya, dia meminta Aiden untuk menunggu saat makan malam tiba agar dia bisa memberikan makanan terbaik.

Ketika Aiden mendengar hal tersebut, dia hanya mengangguk tanpa antusiasme. Aiden hanya memperlakukan makanan seperti kebutuhan biasa, dia tidak pernah bersikap berlebihan seperti memuja-muja makanan lezat atau sejenis.

Yah, mungkin penyebabnya karena dia selama ini tidak pernah merasakan makanan enak. Selama 50 tahun, dia hanya makan sayuran rebus tanpa bumbu dan beberapa daging bakar dari Demonic Beast.

Aiden tidak pernah membayangkan bahwa makanan sebenarnya bisa terlihat sangat menggoda dan menarik seperti yang disiapkan oleh Ria. Dia mencicipi makanan itu.

Tiba-tiba, Aiden berteriak, "Hm, ini sangat enak! Apakah ini benar-benar makanan, atau ini mempunyai nama lain?!"

Melihat keberhasilannya untuk mengubah perilaku Aiden, Ria tersenyum sombong. Dia membusungkan dadanya yang besar itu pada Selia untuk memamerkan keberhasilannya.

Sebelumnya, ketika Selia kembali ke dalam rumah bersama dengan Aiden, gadis itu terus tersenyum ceria. Dia menggigit ujung jari telunjuknya dan memandangi Aiden dari belakang sambil malu-malu. Prilakunya sejenak membingungkan Ria, namun, dia segera menebak bahwa gadis itu sepertinya berhasil mendapatkan perhatian Aiden.

Karena Selia yang tidak henti-hentinya berprilaku demikian, Ria akhirnya memutuskan untuk menunjukkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan mendapatkan perhatian dari seorang pria. Yaitu dengan masakan.

Akibatnya, Selia menjadi marah dan cemberut. Gadis itu sekarang terlihat tak lebih dari seorang anak manja daripada seorang Mage 17 tahun.

Selia ingin membalas, tetapi apa daya dia tidak bisa memasak. Dia hanya bisa menunjukkan pembalasannya nanti saat semua orang tertidur.

Untuk sementara, situasi di atas meja makan semerawut. Aiden menikmati makanannya lebih dari apa pun, dia bahkan tidak memperhatikan bahwa istri dan ibu mertuanya tengah bertengkar.

Di sisi lain, persaingan antara ibu dan anak itu akhirnya memasuki babak final. Selia dan Ria saling menatap tajam satu sama lain seolah-olah mereka berdua adalah musuh bebuyutan dari beberapa generasi.

Aliran konstan energi Mana melonjak keluar dari masing-masing mata indah mereka tanpa disadari. Energi itu saling bertabrakan dan menciptakan gelombang kejut yang menghempaskan beberapa benda di ruang makan.

Aiden, yang ada di sana, sudah mengaktifkan pelindung miliknya sendiri agar seseorang tidak dapat menggangu dirinya dan makanannya. Melihat hal tersebut, kemarahan Selia memuncak, Aiden bahkan tidak memberinya perhatian sedemikian rupa seperti makanan ibunya itu, jelas dia menjadi marah.

....

Beberapa saat kemudian seisi rumah menjadi kacau balau. Barang-barang berterbaran di mana-mana. Lemari piring hancur berantakan. Kursi dan Meja luluh jadi debu, kecuali sedikit bagian kecil yang terlindungi oleh perlindungan Aiden. Sementara itu, cahaya dari Batu Sihir berkelip-kelip dikalahkan oleh dua energi Mana yang dikeluarkan oleh Ibu dan anaknya.

Tiba-tiba, tepat pada saat itu, Aiden bersuara, "Ah, kurasa ini adalah hal kedua yang paling membuatku bahagia setelah semua yang terjadi."

"Hal yang kedua?!" Selia dan Ria berteriak kaget.

Mereka mengira bahwa tidak ada yang lebih membahagiakan untuk Aiden daripada menyantap masakan yang telah dihidangkan oleh Ria. Namun, anak muda yang rupawan itu ternyata mengatakan bahwa hal ini adalah yang kedua, lalu apa yang pertama?

Keduanya saling pandang, sepakat menghentikan konfrontasi untuk sementara.

Kemudian, Selia mengambil inisiatif untuk bertanya pertama kali, "Uhm... Sa-sayang, jika menyantap makanan buatan 'Model Tua' ini adalah hal yang paling membahagiakan kedua untukmu, lantas, hal apa yang paling membahagiakan pertama?" Selia mengatakannya sambil melirik Ibunya dari sisi samping dengan pandangan bermusuhan.

"Benar. Aku juga penasaran tentang hal itu, nak Aiden." Ria menambahkan, benar-benar mengabaikan lirikan Selia. Dia lebih penasaran dengan jawaban Aiden daripada harus menganggap serius anaknya sendiri.

"Yang pertama, ya. Hmm..." Aiden nampak berpikir untuk kembali mengingat hal hal tersebut. Tiba-tiba, ia mengangkat jari telunjuknya dan berseru, "Oh iya, kurasa itu adalah saat aku untuk pertama kalinya bertemu dengan guru Herdian dan juga Selia. Saat itu aku benar-benar bahagia. Kenapa? Karena saat itu aku pertama kali mendapatkan seorang keluarga dan juga pendamping hidup yang sangat menyayangiku."

"Eeehhhh!?!?!?" Dua orang yang mendengarnya berteriak secara bersamaan, sekali lagi.

"Tu-tunggu, bukankah itu adalah dua hal yang berbeda?" Ria terkejut, benar-benar terkejut. Ia tidak menyangka ternyata hal yang paling membahagiakan untuk menantunya itu salah satunya adalah bertemu dengan anaknya. Dan lagi, dia mengatakan kalau dia juga merasa sangat bahagia ketika bertemu Herdian.... ah, itu dapat dimaklumi.

Tetapi, kenapa dia mengatakan jika bertemu dengan Selia adalah hal yang paling membahagiakan pertama? Seharusnya itu menjadi yang kedua bukan?

Terserah, tetapi meskipun pertemuan dengan Selia menjadi yang kedua, maka itu artinya makanan yang dia hidangkan akan menjadi yang ketiga. Ia sudah benar-benar dikalahkan.

"Eh! Itu dua hal yang berbeda ya? Kalau begitu, berarti yang pertama adalah...." Ketika Aiden akan menyelesaikan kalimatnya, Ria menyela dengan nada sedikit kecewa.

"Sudahlah nak Aiden, aku tidak peduli lagi dengan jawabanmu."

"Tapi aku peduli!" Teriak Selia. Ketika dia mendengar jika bertemu dengan dirinya adalah hal yang paling membahagiakan untuk Aiden, ia merasa sangat senang, benar-benar senang. Entah sejak kapan, tapi sepertinya ada sesuatu yang timbul di dalam hatinya hanya untuk Aiden. Jadi, dia ingin memastikan, yang pertama adalah dirinya atau Tetua Herdian.

Meskipun, Selia berharap bahwa dia adalah yang pertama, tetapi ia menyadari Herdian pasti yang akan disebut oleh Aiden.

Tak disangka, ketika Selia berteriak, Aiden memandanginya dengan tatapan lembut dan begitu dalam. Ia kemudian bicara, "Itu kau Selia, kau adalah orang yang membuatku paling bahagia."

Sejenak, seluruh ruangan yang berantakan itu hening. Yang terdengar hanyalah suara detak jantung yang semakin cepat dan cepat. Kemungkinan, selain tiga orang yang saat ini saling bertatapan, tidak akan ada yang tahu suara detak jantung siapa tersebut.

"Entah kenapa, kurasa suamiku bertambah tampan," gumam Selia ketika dari matanya yang jernih mengalir air mata kebahagiaan.

"Terimakasih, sayang."

avataravatar
Next chapter