webnovel

His Mom [Part A]

"Selamat datang, Tuan Adam." Seorang pria yang tidak kukenali langsung menyambut begitu aku dan Adam tiba di lokasi. Rambutnya berwarna cokelat kemerahan dengan warna iris biru cerah. Tangannya mengulur pada Adam untuk sekadar ajakan jabat tangan tanda sapa.

"Ah, terima kasih, Harry." Adam membalasnya dengan singkat sebelum jabat tangan mereka terputus.

Pekerjaanku kali ini adalah membuntuti Adam dan mencatat hal-hal penting jika memang perlu dicatat. Kupikir juga, Adam tidak akan melakukan banyak hal karena agendanya hanya kunjungan.

Adam dan pria yang dipanggil Harry itu terlibat percakapan santai sembari melangkah menuju beberapa bangunan bekas restoran yang terlihat kusam. Dari yang kupahami, aku tahu kalau Harry bukan penanggung jawab utama selain Adam, ia hanya mengantikan atasannya sebagai asisten.

"Aku tidak bisa menghubunginya sejak beberapa hari lalu. Apakah terjadi sesuatu pada Tuan Edward?" Bosku bertanya pada Harry. Kami berhenti begitu tiba di depan gedung. Adam menatap sekitarnya, memindai kasar penampakan gedung di depannya.

"Maaf, Tuan Adam. Tuan Edward sedang sibuk dengan agenda 'showroom'-nya di Kuba selama seminggu ini. Beliau yang meminta saya untuk mengurus pekerjaan ini selama absennya di Kuba." Jadi, klien Adam yang satu ini adalah pengusaha otomotif, entah lebih tepatnya mobil, motor, kapal, pesawat, atau jet pack.

"Baiklah, aku tidak keberatan selama hal ini berjalan dengan baik." Adam dengan tegasnya berbicara. Menyenangkan melihat bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain. Adakalanya bosku bersikap santai, ada pula saat ia harus serius. Pokoknya aku suka keduanya.

Harry mulai mengajak Adam masuk ke dalam gedung lebih jauh. Menjelaskan detail pembangunan gedung yang sudah ditinggalkan pemilik sebelumnya karena pindah cabang. Harry juga menjelaskan bagaimana gedung yang diinginkan bosnya, bertema glamor untuk cabang di New York. Aku dengan sigap mencatatnya tanpa terlewat.

Kami memang tidak banyak menjelajahi bangunan, karena Harry sudah menjelaskannya secara rinci. Adam pasti bisa membayangkannya tanpa mesti mendesak untuk melanjutkan tur.

"Kau sudah mencatat semuanya, Jessy?" Akhirnya setelah sekian lama, Adam menoleh padaku.

Ia itu seperti guru daripada bos. Memastikan pekerjaan bawahannya apakah sudah dikerjakan atau belum. Sama dengan guru yang khawatir muridnya tidak melakukan tugasnya dengan baik.

"Sudah saya catat sesuai apa yang diinfokan Tuan Harry." Baik, aku melirik catatanku yang bak cacing.

Cih, aku memang tidak memiliki bakat mencatat yang rapi, aku tidak mencatat apapun dengan baik selama bersekolah. Bahkan yang bisa memahami isi catatanku adalah aku sendiri. Mom bilang aku memiliki secuil bakat menjadi dokter.

Oh, mana mungkin. Aku bisa gila muda.

"Bagus, Jessy." Adam sedikit memujiku sebelum beralih kembali pada Harry.

Tidak ada lagi hal yang perlu Harry sampaikan, acara turnya sudah selesai.

"Terima kasih, Tuan Adam. Saya harap proyek kali ini berjalan dengan lancar seperti sebelumnya. Tuan Edward selalu senang bekerja dengan Anda."

Aw, aku pun juga begitu.

"Ya, aku harap juga demikian. Sampaikan salamku pada Tuan Edward. Untuk kabar selanjutkan, aku akan menghubungi kalian." Lalu, mereka kembali berjabat tangan untuk yang kedua kalinya. Harry mengantar kami kembali ke mobil sebagai bentuk kesopanan. Adam dan aku masuk ke dalam dan Harry tetap di samping mobil sampai kami berlalu dari lokasi itu.

Secara tidak sengaja aku menangkap pantulan Adam di spion tengah, bosku menarik sedikit dasi yang melingkari lehernya, membuatnya sedikit kendur. Diam-diam aku menahan napas.

Jessy, bernapas!

Itu bukan apa-apa, hei!

Bagaimana kalau satu kancing teratasnya juga terbuka?! Jantungku kan lemah, ck ck ck.

Adam mengecek arlojinya. Aku tidak heran dengannya yang selalu melakukan hal itu, seorang bos harus berhati-hati setiap saat karena waktunya begitu berharga.

"Jessy, aku ingin menjenguk ibuku dulu. Kau boleh langsung ke kantor jika keberatan menungguku."

Wah, wah, wah. Jelas saja aku lebih memilih menunggu bosku supaya kami kembali ke kantor bersama. Aku tidak begitu betah kalau bosku tidak di tempat.

Ups! Namany saja mudah rindu.

"Bolehkah aku ikut menjenguknya? Kemarin tidak sempat mengatakan apapun secara langsung kepada nyonya besar." Alasan sekali, padahal kenal dekat saja juga tidak.

Yah, oleh karena itu harus mendekatkan diri pada calon ibu mertua, bukan?

"Boleh. Kalau begitu langsung ke rumah sakit saja," Adam berbicara pada si supir agar membelokkan arah menuju rumah sakit.

Suasana menjadi hening ketika Adam mulai fokus pada ponselnya. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan, tidak bisa kuintip dari sudut pandangku. Tapi, nampaknya ia sedang berbalas pesan pada seseorang.

Cih, Luna?

Apakah Adam sedang mengirim pesan pada Luna untuk menanyakan apakah tunangannya itu sudah sarapan atau belum, sudah mandi atau belum.

Oh, Triton, kenapa aku harus mengingatnya lagi padahal aku sudah semangat sejak pagi?!

Fakta Adam dan Luna selalu berputar-putar di dalam otakku. Bikin kesal saja kalau tiba-tiba teringat.

Kami tiba di rumah sakit bertepatan dengan waktu makan siang di kantor. Padahal sudah bawa bekal, tapi malah tidak kumakan. Akan kubawa pulang lagi untuk makan malam nanti.

"Maaf, Jessy. Karenaku kau jadi tidak memakan bekal yang kau bawa tadi." Adam masih ingat, tapi aku tidak mengerti mengapa ia merasa bersalah.

"Tidak apa. Aku yang memutuskan untuk ikut. Lagipula roti isinya tidak akan basi sampai malam nanti." Aku tidak tahu, tapi doakan saja. Jadi, aku masih bisa hemat.

Kami keluar dari mobil bersamaan, tidak terkecuali si sopir. Adam tidak mentitahnya untuk kembali ke kantor lebih dulu, dan sepertinya sang supir sudah paham apa yang harus dilakukannya. Ia mengekori kami menuju kamar inap Nyonya Madelyn.

"Karena kondisinya sudah membaik, Ibu dipindahkan ke kamar biasanya," di lantai dua belas. Kulihat dari pantulan dinding lift, Adam tersenyum cerah meskipun tipis. Ia pasti lega Nyonya Madelyn sudah semakin membaik.

"Senang mendengarnya. Nyonya besar pasti sangat berusaha." Memanggilnya begitu malah terdengar seperti Nyonya Madelyn adalah orang tertinggi di Blue Pacific Properties. Padahal pemangku jabatan tertingi adalah bos tampanku ini.

Adam mengangguk setuju. Pria ini sangat menyayangi ibunya, tanpa terlihat pun ikatan mereka sangat erat. Aku pasti juga akan bisa seperti mereka, ahahaha. Tunggu saja, Adamku sayang.

Bosku membuka pintu kamar yang katanya kamar ibunya. Menyapa seseorang di baliknya dengan hangat.

"Ibu-"

Sayangnya hanya ada ranjang kosong dengan selimut terbuka yang menyambutnya, tidak ada Nyonya Madelyn.

"Ibu?" Adam melangkah masuk, memanggil ibunya. Berpikir jika ibunya ada di sekitar ruangan.

"Toilet kosong," tukasku setelah mencoba mencarinya ke satu-satunya ruang tertutup di sana.

Bagaimana dengan di dalam lemari?

Ah, tidak mungkin.

"Sepertinya memang tidak di kamar." Tidak kudengar ada nada kekhawatiran dari suaranya, seolah Adam tahu apa yang terjadi bila ibunya tidak ada di kamar. Kalau kembali kritis, Adam pasti sudah lebih dulu dihubungi oleh pihak rumah sakit.

"Ayo, Jessy." Entah Adam ingin ke mana, aku hanya mengikuti langkahnya mendekati meja resepsionis di lantai dua belas.

"Oh, Tuan Adam." Adam belum mengatakan apapun, tapi wanita resepsionis itu menyebut namanya dengan akrab. Hm, akan kuperhatikan kau.

"Nyonya Madelyn ada di taman Barat." Seolah mereka berbicara antara batin dengan batin. Setelah mendapatkan jawaban, Adam mengangguk singkat dan menggumam, "Terima kasih."

Langkah lebarnya berbelok ke arah lift. Kulihat sang supir sudah ikut menyusul.

"Apa ibumu pergi seorang diri?" konyol sekali pertanyaanku. Rasanya tidak mungkin, seorang suster pasti menjaganya.

"Ibu pasti bersama Margo. Perawat pribadi ibuku sendiri," begitu tukasnya.

"Kau tunggu saja di kafe sebelah, ini sudah masuk waktu makan siang. Akan kuhubungi jika sudah akan kembali ke kantor." Kami dan si supir yang belum kuketahui namanya pun berpisah di lobi bawah. Bila si supir ke arah utara, aku dan Adam berbelok ke sisi Barat. Beberapa meter di depan aku sudah dapat melihat pandangan hijau. Banyak pasien yang juga tengah bersantai di sana, entah sekadar menghirup udara segar atau menyantap makan siang yang disuapi oleh suster mereka. Aku tidak bisa menemukan di sisi mana Nyonya Madelyn berada, itu pun karena aku memang belum mengenal jelas perawakannya selain tubuhnya yang nampak kurus.

Dan di sana banyak orang-orang bertubuh kurus dan ringkih.

"Di sana, Jessy."

'Grab!' Adam menangkap lenganku saat tanpa sadar aku melangkah ke arah yang berlawanan.

Adam mengganggam pergelangan tanganku, tapi sialnya itu tidak bertahan lama. Adam segera melepaskannya kembali begitu aku sadar.

Ah, ayo pegang tanganku lagi, bos! Jangan dilepas, nanti aku hilang!

Adam mengambil langkah mendekati seorang wanita di atas kursi roda. Selembar selimut berbeda warna dari yang ada di kamar menyelimuti kakinya. Rambut hitamnya dicepol rendah dan tidak rapi.

"Ibu," wajah wanita itu berseri meskipun kantung mata terlihat jelas di wajah cantiknya. Kuyakin Nyonya Madelyn sebetulnya sangat cantik jika ia tidak sedang sakit. Wajahnya masih terbebas dari kerutan, tapi guratan lelah yang tergambar di sana.

"Ibu sudah melihat dari lorong, Ibu pikir wanita yang ada di sampingmu adalah Luna."

Oh, Dewa Laut, Luna lagi Luna lagi.

Adam terdiam, kemudian sedikit mengalihkan arah pembicaraan.

"Ibu, ini Jessy. Asistenku di kantor. Jessy, ini ibuku, Madelyn." Adam memperkenalkanku pada calon ibu mertua. Kupikir ia akan memanggilku dengan nama Jessica, ia malah memakai nama mainku.

Tidak apa, mungkin biar cepat akrab dengan calon ibu mertua.

"Selamat siang, Nyonya Madelyn," aku membungkuk sesaat untuk menyapanya.

"Tidak perlu sekaku itu, Jessy. Panggil saja Bibi Lyn." Ia mengumbar senyum hangat yang entah mengapa membuatku kikuk di tempat.

Ugh, maunya langsung kupanggil ibu mertua saja.

"Baik, Bibi Lyn." Aku mengulang, sedikit menirukan cara bicara Allan ketika memanggil Bibi Lyn.

"Apa Ibu sudah makan siang?" Adam merendahkan tubuhnya hingga sejajar dengan Bibi Lyn, ia menggunakan lutut sebagai tumpuan di atas rumput.

"Sudah. Sam yang membawakannya tadi."

"Sam? Ia tidak kuliah lagi?" Adam mengerutkan kening. Kuingat, padahal baru kemarin dinasihati oleh kakaknya sendiri.

"Ia bilang libur. Ia juga datang dengan kekasih barunya."

Adam pun terdiam. Aku juga ikut terdiam.

.

.

.

.

.

- To be continue -

Akhirnya sudah update lagi setelah sibuk beberapa hari lalu. Terima kasih untuk para pembaca yang sudi mampir ke kisah Jessy dkk^^

Jangan lupa tinggalkan jejak dan reviewnya, ya. Dan, sampai jumpa di part B~

KuroyukiRyucreators' thoughts
Next chapter