Ini adalah pagi terakhir kami di surga tropis kami, dan aku berniat bangun ekstra pagi untuk memastikan aku bangun sebelum Jis.
Dia sudah melakukan banyak hal untukku seminggu ini sial, sebulan ini dan aku harus melakukan sesuatu yang spesial untuknya sebelum kami pulang dan kembali pada realitas. Bukan berarti realitas itu buruk, tapi adalah suatu kebahagiaan sudah memiliki dirinya untuk diriku sendiri dalam seminggu ini.
Setelah hari telanjang kami, yang akan selalu kuingat di kepalaku selamanya,
Jis mengejutkanku dengan perjalanan memberi makan hiu, yang sebelum liburan ini aku selalu berasumsi bahwa diriku termasuk dalam menu makanannya, tapi semua berubah menjadi pengalaman yang paling menyenangkan dalam hidupku. Aku takkan pernah melupakan berdiri di dalam air hangat setinggi pinggang dikelilingi selusin hiu jinak berenang mengelilingi kami untuk mengambil makanan dari tangan kami.
Kemarin kami menghabiskan waktu dengan perawatan spa romantis untuk pasangan. Aku lebih sering ke spa dua minggu terakhir ini daripada dua tahun belakangan.
Aku tidak keberatan.
Tapi hari ini adalah hari terakhir kami. Aku melihat ke belakang untuk memastikan dia masih tidur, dan menuju tangga menuju air di bawah bungalow menunggu sarapan kami diantar dengan kano. Aku menata makanan dan kopi di nampan dan masuk ke kamar tidur.
Setelah meletakkan makanan berbau harum di atas sofa rendah tanpa sandaran di ujung ranjang, aku naik ke atas tubuh Jis dan mencium bibirnya.
"Jis, sayang, bangun." Aku menggigit bibirnya dan menciumi lehernya saat dia bergeser di bawahku.
"Pagi," dia bergumam.
"Selamat pagi, cinta. Bangun. Aku punya sesuatu untukmu."
Dia membelai pinggungku dan mengernyit. "Susah untuk bercinta bila kau memakai baju, sayang."
Aku tertawa saat dia membuka sepasang mata hitam seksinya.
"Bukan itu yang aku punya untukmu."
Aku bangun darinya dan berjalan ke ujung ranjang saat dia duduk, seprei berkumpul di pangkuannya, dia mengusapkan tangannya ke muka dan rambutnya. Janggut paginya luar biasa seksi.
"Sarapan!" aku meletakkan nampan diatas ranjang di antara kami dan menarik penutup perak setengah bola dari atas piring. Terdapat pancake besar, bacon, telur dan buah. Di sebelahnya ada seteko kopi dan dua mug.
"Apakah kau memesan ini?" tanyanya.
"Iya, kupikir sesekali aku harus memberimu makan." Dia tersenyum dan menangkup wajahku dengan tangannya.
"Terima kasih, sayang."
"Kembali. Aku harap kau sudah lapar." Aku memegang strawberry mengangkat ke depan mulutnya dan dia menggigitnya dan aku membawa sisanya ke mulutku sendiri.
"Kelaparan," katanya, matanya yang penuh gairah menatapku.
"Nanti," aku berbisik.
"Kau tidak menyenangkan." Dia cemberut saat menuangkan kopinya ke cangkirnya dan aku tertawa.
"Tadi malam kau tidak bilang begitu."
Ingatan tentang bercinta di bathtub yang berada di teras meluap di pikiranku dan aku menggigit bibirku.
"Tidak, tidak ada komplain buat tadi malam."
"Jam berapa kita nanti akan pergi?" tanyaku.
"Malam nanti. Kenapa?"
"Apakah kita ada rencana istimewa hari ini?" aku memakan pancake dan mengerang. "Oh Tuhan, ini enak."
"Ya ampun aku suka melihatmu makan, sayang. Tidak, kupikir kita tidak ada rencana hari ini. Apakah ada yang kau inginkan?"
Aku mengangkat bahu dan menggigit pancake lagi.
"Ada apa?"
"Tak ada, kita bisa melakukan apapun yang kau mau." Aku mengangkat bahu, tapi menghindari tatapannya, tiba-tiba merasa malu. Aku tak ingin pergi keman-mana hari ini, aku hanya ingin bersamanya, dan aku tak tahu kenapa aku tiba-tiba begitu malu untuk berkata-kata dan memberitahunya. Ini bodoh.
"Puput." Suaranya mengeras dan aku menatapnya. "Ada apa?"
"Tak ada apa-apa. Aku hanya berpikir..." aku meletakkan garpu dan menggigit bibirku. "Aku hanya ingin tetap di sini sampai kita pergi ke bandara. Aku ingin kita berdua, selama yang kita bisa, di gelembung tropis ini." Kata-kata yang terakhir adalah bisikan dan aku mendongak untuk melihat reaksinya.
Dia tersenyum manis. "Kenapa hal itu membuatmu malu?"
Aku mengangkat bahu lagi dan memandang ke bawah. " Aku tak tahu. Kupikir kau mungkin ingin melakukan petualangan besar sebelum kita pergi, tapi aku hanya menginginkanmu."
"Sayang, lihat aku." Aku melakukan apa yang dia minta dan aku sangat lega melihat senyumnya yang indah. "Menghabiskan hari sendirian hanya bersamamu di pulau yang cantik ini terdengar sempurna untukku."
"Oke," aku tersenyum padanya, lega dan melanjutkan menekuni pancake-ku.
Kami meyelesaikan sarapan, dan saat Jis mandi, room service berkano datang dan membawa peralatan makan dan seprei yang kotor. Pria itu berbadan besar, dan senang mengobrol saat dia mengumpulkan barang-barang ke kotak dan menaruhnya di kano.
"Suami Anda adalah pria yang beruntung,"
Dia tersenyum padaku dan aku tersenyum, tapi aku merasa ada yang salah.
Betapa hal itu tidak pantas untuk diucapkan. aku tak mengkoreksi kesalahpahamannya tentang status pernikahanku dan hanya menjawab, "Terima kasih."
"Berapa lama Anda sudah menikah?"
"Um, belum lama." Kenapahal ini membuatku takut? Aku sudah belajar sejak lama untuk mempercayai instingku, jadi aku berjalan melintasi ruangan sehingga aku berdiri di belakang sofa besar, dekat dengan pintu kamar mandi.
"Oh, itu bagus." Dia menelusuri sofa dan mengambil beberapa kain tiras berwarna oranye di bagian tangan sofa. Jantungku berdegup semakin takut. Dia mencoba mendekatiku dan kini matanya seperti predator. "Saya sudah memperhatikan Anda minggu ini. Anda sangat cantik."
"Saya rasa lebih baik Anda pergi sekarang." Aku bergeser ke sisi lain dari sofa menjauh darinya tapi dia mengikutiku dan jantungku melompat ke tenggorokan.
"Kenapa?"
"Karena saya tak ingin Anda ada disini. Suami saya akan segera keluar sebentar lagi, dan saya tidak tertarik. Segera keluar atau Anda akan dipecat."
"Anda tidak bisa melakukan itu, paman saya yang memiliki resort ini." Dia tertawa dan mulai mendekatiku dengan lebih cepat lagi.
"Jis!" Aku berteriak, tapi sebelum kata-kata keluar dari mulutku lelaki besar itu terlempar dari belakang dan dibanting ke dinding. Jis, nafasnya berat dan dengan wajah gusar, mencengkeram kerongkongan lelaki itu.Dia memukul wajahnya, dua kali, dan darah menyembur dari hidung lelaki itu dan dia menjerit seperti anak perempuan.
Aku yakin tidak ada yang berani melayangkan tangan padanya sebelum ini.
"Aku akan memastikan kau tak akan pernah mencoba menyentuh perempuan lainnya di resort ini lagi, bodoh." Suara Jis dingin dan tenang, matanya seperti es, dan ini adalah sisi dirinya yang paling marah yang belum pernah aku lihat.
"Apakah kau baik-baik saja, Sayang?" dia tidak melihatku saat berbicara, tak mengalihkan pandangan dari lelaki itu.
"Aku baik-baik saja." Suaraku lebih kuat dari apa yang kurasakan dan aku lega.
"Telepon pelayanan pusat dan katakan pada mereka untuk memanggil polisi. Ceritakan pada mereka apa yang terjadi."
Aku melakukan yang dia minta dan dalam hitungan menit sebuah motorboat datang ke bungalow kami membawa manajemen dan polisi, dan seorang pria yang pasti adalah paman si brengsek itu.
Polisi mengembail alih situasi dan membebaskan Jis dari tuntutan. Jis kemudian segera mendekatiku dan memelukku. Aku pasti terlalu shock untuk melakukan hal lain selain hanya memandang dengan mata melebar melihat semua yang terjadi.
"Apakah kau baik-baik saja?" Tangannya membelai punggungku, menenangkanku.
"Ya, aku baik-baik saja. Dia tak menyentuhku, dia hanya sangat menakutkan, dan aku tahu dia akan melakukannya jika kau tak ada disini. Dia terasa aneh sejak menit pertama dia datang jadi aku pindah ke belakang sofa dekat kamar mandi berjaga-jaga jika dia melakukan sesuatu, dan ternyata benar." Aku gemetaran dan Jis menarikku lebih dekat lagi padanya.
Pamannya berteriak pada polisi agar menangkap pria itu. Sepertinya ini bukan yang pertama kali terjadi. Si brengsek itu menangis, tapi tak ada yang peduli.
Saat melihat apa yang terjadi, ketakutanku berubah menjadi kemarahan.
Aku keluar dari pelukan Jis dan berjalan ke arah si brengsek yang sudah diborgol oleh polisi. Dia menangis menunduk lemah dan takut dan sebelum aku menyadari, aku menyadukkan dengkulku ke selangkangannya dan membuatnya berlutut.
Dadaku terasa berat dan tiba-tiba semua hening.
"Aku bukan korban." Suaraku terdengar tegas dan terkontrol dan keras sebab aku ingin dia mendengar setiap kata. "Dan kau hanyalah sampah."
"Kalian lihat apa yang dia lakukan padaku? Aku ingin membuat tuntutan!" si brengsek itu meraung, tapi pamannya mengangkat tangan, membungkam dia.
"Aku tidak melihat ada hal yang tak layak kau dapatkan. Keluarkan dia dari dari bungalow ini."
Dia dibawa keluar dan sang pemilik resort meminta maaf sedalam-dalamnya, menawarkan penggantian dan pengembalian biaya dan hal-hal lain. Aku yakin dia berdoa supaya kami tidak mengumumkannya di media, yang mana kami juga tidak akan melakukannya.
Jis tak akan melakukannya.
Aku berbalik dan melihat kearah mata Jis, wajahnya mengeras. Dia berkata pada manajer bahwa kami tetap akan pergi hari ini. "Kami akan mengajukan tuntutan, tapi saya juga tidak ingin hal ini keluar di media juga," Jis berbicara dan jantungku berhenti.
Oh Tuhanku. Ini akan menjadi hal yang buruk jika sampai keluar di tabloid. Aku tiba-tiba merasa sangat bersalah. Aku meninggalkan Jis untuk mengurus permasalahan ini dan pergi ke tempat tidur utama untuk mulai berkemas.
Jis masuk ke kamar saat aku selesai membereskan laci yang berisi pakaian dalam.
Dia berjalan langsung kearahku dan menarikku ke dalam lengannya yang kuat, mengayunkanku ke depan dan ke belakang, mencium keningku.
"Apakah kau benar baik-baik saja?"
"Aku benar-benar minta maaf."
"Untuk apa?" dia memundurkan badan ke belakang dan mengernyitkan dahi memandangku. "Kau tidak melakukan hal yang salah."
"Ini akan menjadi sangat buruk untukmu jika tabloid mengetahuinya."
"Percayalah, mereka tidak akan tahu. Baik dari pihak resort maupun aku tak menginginkan hal itu terjadi. Dan bukan itu yang penting, tapi kau, baby. Apakah dia melukaimu?"
"Tidak, aku sudah bilang padamu, dia tidak menyentuhku. Tapi rasanya puas sudah menendang selangkangannya. Aku tersenyum dan Jis menarikku kembali ke pelukannya.
"Aku sangat takut saat aku keluar dan mendengar kau berteriak. Aku melihat bajingan itu menyerangmu dan jujur saja tak banyak yang kuingat setelah itu. Aku harus memastikan dia tidak menyentuhmu." Dia membelai pipiku dan aku mencium telapak tangannya.
"Terima kasih."
"Aku akan selalu melindungimu, baby. Itulah tujuanku di sini. Itulah yang ingin kulakukan."
"Aku tahu, itulah salah satu alasan aku mencintaimu. Aku tak tahu kenapa aku tidak merasa ketakutan." Aku mengangkat bahu dan menyeringai. " Aku rasa aku hanya merasa kuat saja, dan aku tahu kau ada disini, dan dia tak akan bisa melukaiku." Aku menjalankan jariku ke rambutnya.
"Apakah kau baik-baik saja?"
"Selama kau baik-baik saja, ya, aku baik-baik saja. Tuhan, aku suka betapa kuatnya dirimu, baby. Cukup mengagetkan melihatmu membuatnya berlutut seperti itu."
"Kau mungkin ingin mengingatnya, untuk berjaga-jaga siapa tahu kau akan melakukan hal-hal yang diluar keharusan?" aku menekankan tubuhku ke tubuhnya dan tersenyum padanya.
"Oh yeah? Kau pikir kau bisa mengalahkanku?" Dia menggesekkan hidungnya ke hidungku dan mendesah.
"Mungkin tidak, tapi kalau bergulat akan menyenangkan."
Dia tertawa dan tersenyum lembut padaku.
Dan sekarang, saatnya kado yang lain untuknya.
"Jadi, sebelum kita sangat terganggu tadi, aku sebenarnya akan memberimu kado saat kau keluar dari kamar mandi."
Alisnya terangkat. "Kau memberiku hadiah?"
"Ya, semacam itulah." Aku memakai bathing suit cover up (pakaian longgar yang biasa dikenakan di atas bikini atau pakaian renang) yang cukup konservatif berwarna hitam. Pakaian itu model hoodie dengan resleting di depan yang menutupiku dari lutut hingga leher.
Aku mundur ke belakang dan Jis mulai menurunkan resleting pelan-pelan, membuat pakaian itu masih tetap tertutup. Saat resletingnya selesai dibuka, aku mengangkat bahu sehingga pakaian itu jatuh ke kakiku.
Jis menarik nafas dan matanya melebar, melihatku, dan wajahnya separuh menyeringai. Aku meletakkan tanganku ke pinggangku yang telanjang dan memiringkan kepala. "Kau menyukai pakaianku?"
Dia berjalan ke arahku dan menjalankan jarinya ke mutiaraku dan menciumku dengan caranya yang lembut dan lututku menjadi lemah.
"Baby, kau tahu aku menyukai ini. Tak ada yang menyamai saat melihatmu tidak memakai apapun kecuali mutiara ini."
"Aku suka caramu melihat diriku," bisikku.
Pandangan mata Jis meluncur turun ke bawah tubuhku dan saat pandangannya kembali ke mataku dia menciumku lembut.
"Aku tidak ingin melakukan seks denganmu hari ini, Put," dia berbisik di bibirku.
Oh. "Kau tak akan melakukannya?" aku berbisik dan menarik kepalaku ke belakang, saat bibirnya menjelajahi leherku.
"Tidak."
"Aku suka suara bisikanmu."
Dia menyeringai "Aku tahu."
"Apa yang ingin kau lakukan?"
"Aku ingin bercinta dengan lembut dan manis denganmu."
Punggungku dibelainya naik turun dengan ujung jari, hampir-hampir tak menyentuhku, mengirimkan getaran kedalam diriku, bibirnya melakukan hal yang sama di leherku. Sensasi ini membuatku gila.
"Kedengarannya menyenangkan."
Dia mengangkatku dengan lengannya dan aku menelusupkan jari- jariku ke rambutnya saat bibirku mencium bibirnya dengan lembut. Dengan lembut dia menurunkanku ke ranjang dan membungkusku dengan tubuhnya, kakinya berada di antara kaki-kakiku. Dia meluncurkan tangan kanannya di lengan kiriku dan menautkan jemarinya dengan milikku, tetapi daripada menahannya di atas kepala, dia lebih memilh meletakkannya di samping kepalaku.
Ini bukan tentang mengendalikan atau bermain denganku. Ini adalah tentang bagaimana dia menunjukkan seberapa besar dia mencintaiku, dan ini membuatku penuh dengan ketentraman dan kelembutan.
Tangan kirinya membelai rambut di wajahku sambil terus menciumku, perlahan, lembut, penuh kesabaran. Aku melingkarkan kakiku di betisnya, menggesek naik dan turun, membelainya, sambil mengetukkan jari-jari tanganku yang bebas naik turun di punggung kuatnya.
Aku bisa merasakan kekerasannya, tapi dia tidak melakukan gerakan untuk memasukkannya ke dalam diriku.
Belum.
"Kau sangat cantik," dia bergumam di bibirku.
"Kau membuatku merasa cantik," aku berbisik padanya dan dia mengerang.
Dia menanamkan ciuman kecil di dalam mulutku. Aku menggerakkan tanganku ke dalam rambutnya dan membelainya dengan lembut.
"Aku menyukai rambutmu. Rasanya sangat menyenangkan di tanganku."
"Aku tahu itu," dia berbisik dan aku merasakan dia tersenyum di leherku. "Kau selalu menaruh tanganmu disitu."
"Kumohon, jangan pernah memotongnya pendek ya." Aku suka mendengar suaranya berbisik.
"Okey." Dia mencium cuping telingaku dan menggelitikinya dengan gigiku. "Kau punya kulit yang luar biasa begitu halus dan lembut. Dan kau selalu wangi."
Kata-katanya begitu menggoda, tangannya masih bergerak di rambutku dan tubuhku bersenandung.
Pinggulku mulai bergerak di bawahnya dan aku merasakan dia menyeringai di tenggorokanku. "Kau tahu apa yang kau lakukan padaku."
"Kau lakukan hal yang sama, baby." Dia melenturkan pinggangnya, menekankan miliknya ke pusatku yang basah. Ujungnya meluncur ke klitorisku dan aku terkesiap.
"Aku menginginkanmu."
"Aku tahu, aku juga menginginkanmu." Aku menyukai bisikannya, desahan dan erangan yang lembut. Ini adalah percintaan kami yang paling tenang, dan ini tidak kalah memabukkan.
Oh dengan sangat perlahan dia mengisiku, tiap inchi yang nikmat, hingga miliknya terkubur sedalam yang dia bisa di dalam diriku, secara emosional aku merasakan air mata keluar dari mataku.
Pria manis, protektif, baik, seksi ini mencintaiku. Dan aku mencintainya, dengan sangat.
"Jangan menangis, baby." Dia berbisik dengan suara yang penuh emosi dan dia memulai gerakan perlahan, masuk dan keluar dari diriku. Kakiku naik melingkar di pinggangnya, membawanya masuk lebih dalam, dan saat dia mengenai titik paling sensitifku, aku merasakan percikan yang melayang-layang di tubuhku.
"Oh, aku akan keluar, cintaku."
"Ya," dia berbisik di telingaku, dan aku hilang, tertelan orgasmeku, tapi aku hampir tak bersuara, terperangkap dalam suasana hening percintaan kami.
Jis masih mendorong ke dalam diriku sekali lagi untuk yang terakhir kalinya dan mengosongkan miliknya di dalam diriku, dan membisikkan namaku.