webnovel

Dandelion.

Menaruh harap kepada orang lain adalah suatu kesalahan besar. -Anna Mengisahkan tentang seorang gadis yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Kerasnya hidup yang harus dijalani memaksanya menjadi pribadi yang kuat. Belum lagi, pada malam ulang tahun kekasihnya, Anna mendapati sang pujaan hati bermain bersama wanita lain. Hatinya hancur tak tersisa. Namun di malam yang sama, secara tak sengaja ia bertemu dengan seorang pria asing yang ternyata adalah pemimpin sebuah perusahaan besar. Melalui malam dengan pria yang tidak dikenalnya, terbangun dipagi hari dengan keadaan tubuh tanpa sehelai benang pun membuatnya kaget sekaligus takut. Sejak malam itu, Anna menghilang. Apa yang akan terjadi selanjutanya? Silahkan dibaca..

Gloryglory96 · Teen
Not enough ratings
311 Chs

Bab 23. Aku Bukan Brian, Anna.

"Kamu memaksaku," ujar Anna, sesekali masih terdengar suara sesenggukan.

"Terserah kamu saja," balas Devan segera memasuki lift yang baru saja terbuka.

Berada dalam rengkuhan pria bertubuh kekar, Anna kesusahan untuk berontak. Hingga keduanya kembali memasuki mobil, gadis itu masih diam dalam gendongan Devan.

Keduanya meninggalkan hotel itu, menjauh entah sedang menuju ke mana, Anna tidak tahu.

...

Kembali ke rumah Devan, mungkin sudah pukul 01.00 dini hari. Anna masih terjaga, gadis itu masih terdengar sesekali sesenggukan.

"Menginaplah di sini malam ini," ucap Devan tiba-tiba.

Anna yang mendengar ucapan pria itu tak merespon dan hanya mengikutinya memasuki rumah. Ia juga tidak tahu harus kemana, kos-an tempat ia tinggal sangat jauh dari sini.

Jadi tak ada pilihan lain baginya selain menuruti ucapan Devan. Ya, malam ini saja. Malam terakhir ia bersama dengan pria asing itu.

Tubuh Anna tiba-tiba tersentak kaget, hal itu dikarenakan Devan yang mendadak berbalik ke arahnya dan memegang keningnya.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyanya.

"Kamu sudah lihat semua yang terjadi padaku, seharusnya kamu tidak bertanya seperti itu lagi."

"Maksudku, apakah kamu masih merasa pusing?" tanya Devan menjauhkan tangannya dari kening Anna.

Sejenak gadis itu mematung di tempat, pusing yang sangat mengganggunya beberapa saat lalu sudah hilang, entah benar-benar hilang ataukah karena perasaan sakit hatinya yang begitu mendominasi sehingga ia tidak lagi memperdulikan perasaan lain yang dialami tubuhnya.

Anna menggeleng pelan.

Melihat respon gadis di hadapannya, Devan segera menjauh. Nampak memasuki sebuah ruangan dan kembali keluar setelah beberapa menit.

"Mau minum denganku?" tawarnya sambil mengacungkan botol wine ke arah Anna.

Anna tidak merespon, hanya melirik sekilas ke arah pria itu.

"Ini," ucap Devan menyodorkan gelas berisi cairan berwarna merah kepada Anna.

"Terima kasih."

Devan hanya menganggukan kepala tak merespon. Tampilan gadis yang berada di sebelahnya benar-benar sangat menyedihkan. Meskipun masih mengenakan gaun mewah yang sama dengan sebelumnya, tetapi mata sembab itu tak bisa membohongi perasaannya saat ini.

Hingga beberapa puluh menit berlalu, hanya keheningan yang menjadi teman keduanya. Anna dan Devan nampak sibuk dengan pikiran masing-masing.

Entah sudah berapa gelas wine yang telah Anna habiskan, tubuhnya sudah mulai gerah. Atasan tuxedo milik Devan yang membungkus bahunya ia lepaskan begitu saja dan meletakkannya sembarangan, dan hal itu berhasil mengekspose kulitnya yang terbuka.

Seolah Anna tidak sadar bahwa saat ini ia sedang bersama dengan seorang pria normal.

Sebanyak apapun ia meneguk cairan merah itu, ingatannya tentang Brian tak juga hilang.

Mungkin karena winenya kurang banyak? Segera ia meraih botol di hadapannya dan menenggaknya sembarangan, membuat beberapa cairan berwarna merah itu tumpah dan mengalir ke dagu hingga leher dan dadanya yang terbuka, seolah ia sama sekali tak memperdulikan tatapan Devan yang mengarah padanya.

'Gadis ini,' batin Devan.

'Apakah ia tidak memperdulikan keberadaanku?'

Namun cepat-cepat Devan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Hampir saja ia lepas kendali melihat pemandangan di sampingnya.

Sebisa mungkin ia mempertahankan sikap normalnya. Berdehem berkali-kali untuk menormalkan perasaannya dan berusaha untuk tidak menoleh ke arah dimana gadis itu berada.

Hingga suara dengkuran halus terdengar membuat pria itu menoleh ke asal suara.

Anna tertidur, dengan botol wine yang berada dalam pelukannya.

Helaan napas kasar terdengar dari bibir pria itu.

Dengan gerakan pelan, Devan mengangkat tubuh Anna setelah meletakkan botol winenya ke meja, berniat ingin membawanya ke kamar.

"Brian..." sebuah nama terdengar dari mulut Anna, membuat langkah Devan terhenti sejenak di anak tangga.

"Aku bukan Brian, Anna."

Namun gadis itu terus saja menyebut nama pria yang jelas-jelas telah menyakitinya, sampai pada titik dimana Devan merasa dongkol karena terus mendengar nama pria brengsek itu.

Inilah alasannya selama ini ia tidak pernah ingin menjalin hubungan dengan siapapun.

Perasaan seseorang itu merupakan sesuatu yang sangat merepotkan baginya.

Hanya berhubungan satu malam dengan beberapa wanita tidak akan membuat mereka memiliki perasaan yang lebih padanya bukan? Sebisa mungkin Devan menghindari hal itu, sebab menurutnya wanita itu benar-benar sangat merepotkan.

Namun dengan Anna, entahlah..... ia merasa tidak yakin dengan hal itu.

Baru saja meletakkan tubuh Anna di atas ranjang, tubuhnya tiba-tiba tersentak. Anna menarik tangannya saat itu juga.

"Jangan pergi.... Brian." Lagi, Anna meracau dan menyebut nama pria itu entah sudah keberapa kalinya.

"Aku bukan Brian Anna."

"Sekali lagi kamu menyebut namanya, jangan salahkan jika aku melakukan sesuatu yang lebih padamu."