webnovel

Crazy Maid

WARNING 21++ YANG BELUM CUKUP USIA SANGAT DILARANG MASUK!!! MENGANDUNG KEBUCINAN YANG HAQIQI. SO, BAGI YANG GAK SUKA, JANGAN COBA-COBA BACA!! ### Felicity Jolicia Addison. Terlahir dari keluarga berada, membuat wanita yang biasa disapa Feli menjadi sosok gadis yang manja. Terlebih kedua orangtuanya tak mempunyai anak lagi selain wanita cantik yang terkenal lugu ini. Suatu hari Feli harus menjalani misi dari Leonel Sean Addison, yang mana adalah ayahnya sendiri untuk menjadi seorang maid di negeri orang demi memenuhi keinginannya memiliki jet pribadi terbaru dari sebuah perusahaan di Spanyol yang hanya bisa dimiliki 3 orang di dunia ini. Dapatkah Feli berhasil dalam misinya? Sementara wanita ini tak pernah sekalipun masuk ke dalam dapur di rumahnya. Jerrald Nataniel Mendez, pria berkebangsaan Spanyol, pemilik perusahaan jet ternama, tak habis pikir dengan sang ibu yang memberikannya seorang maid dengan sejuta kegilaan dan ketidakbecusan dalam bekerja. Apakah ibunya sudah gila? "Memasak air saja kau tidak bisa?! Apa yang bisa kau lakukan di dunia ini, Nona Cia?!" seru Jerrald kesal saat dapur apartemennya hampir saja kebakaran. "Aku bisa menghabiskan uang Anda, Tuan Mendez. Beri aku waktu tiga puluh menit, maka seluruh kekayaanmu akan habis," balas polos Feli yang berubah nama menjadi Cia demi penyamarannya. Jerrald hanya mampu ternganga tak percaya. "Dasar Maid gila!!" pekik Jerrald tajam.

Ncheet_Nca · Urban
Not enough ratings
3 Chs

Bag 3

Feli berjalan dengan langkah gontai menyusuri taman kampus. Setelah dua hari tidak masuk kuliah karena gadis ini tak enak badan, lebih tepatnya terlalu shock oleh misi yang Daddy-nya berikan, kini Feli sudah merasa lebih baik walaupun hatinya tak baik sama sekali.

"Kenapa aku harus setuju dengan syarat yang Dad berikan?! Sial! Menjadi maid? Ini benar-benar diluar akal sehat! Apakah Daddy sedang kerasukan arwah jahat, sampai meminta anaknya yang cantik ini menjadi maid?!" gerutu Feli. "Kulitku yang halus dan lembut ini pasti akan berubah sekasar kerikil!" Feli terus saja menggerutu di sela langkah kakinya menuju kelasnya yang tiga puluh menit lagi akan dimulai. "Percuma aku sekolah tinggi-tinggi kalau hanya jadi seorang maid. Demi Tuhan! MAID?! Argh! Kalau tidak ingin menandingi Selena b*tch tanpa Gomes itu, aku tidak akan sudi menjalani misi ini!"

"Dude, kau seperti Superman tidak makan seribu tahun."

Terdengar kalimat mengejek dari seorang pria diiringi tawa beberapa pria lainnya, yang membuat Feli menghentikan langkah. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Feli melihat seorang pemuda berkacamata tebal sedang dikelilingi enam pemuda lain.

"Kau tidak punya kemeja yang lebih besar lagi dari ini? Kemejamu sudah seperti tirai jendela di rumahku, Dude."

Terdengar lagi tawa menghina yang keluar dari enam pemuda itu.

Feli memutar bola mata malas. Para pemuda itu menurut Feli adalah sampah di kampus ini, karena selalu menindas orang-orang lemah. Dan Feli, selalu tidak suka melihat hal itu. Gadis ini walaupun sombong, tapi tak pernah menghina orang-orang lemah. Feli melangkah ke arah para pemuda itu. Lalu setelah sampai, gadis ini menepuk salah satu pemuda yang mengelilingi pemuda berkacamata dengan pakaian kebesaran yang sepertinya sedang dibully habis-habisan.

"Apa-apaan__ ah… Felicity! Hei, Cantik! Ada yang bisa aku bantu?" antusias sang pemuda saat membalikkan tubuh karena merasakan tepukan di belakangnya. Ternyata, pelakunya adalah salah satu gadis popular di kampus ini. Lima orang pemuda lainnya langsung terbengong karena terlalu terpesona melihat Feli dari dekat.

Feli bersedekap, lalu melirik sekilas pemuda berkacamata yang saat ini juga menatapnya. Pandangan mata Feli kembali beralih ke arah pemuda di depannya. "Ya, aku sangat butuh bantuanmu, Willie." Feli tersenyum manis.

"Apa, Sayang?" tanya Willie semakin antusias. Kapan lagi gadis popular yang terkenal tak suka didekati pria ini butuh bantuannya. Willie harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya.

Senyum Feli itu hilang tak berbekas. "Berhentilah tertawa! Kau tahu, suara tawamu hampir saja merusak telingaku," Feli menunjuk telinganya dengan sebelah tangan. Matanya menatap tajam pemuda bernama Willie itu. Kelima teman Willie melebarkan mulut mereka tak percaya. Sementara Willie tersedak salivanya sendiri.

"Sorry, Baby, a-apa maksudmu?"

"Apa kau tidak malu main keroyokan seperti itu?" tanya Feli sambil melirik pria berkacamata yang berada di belakang Willie.

"Aku—"

"Memalukan sekali! Apa kau tidak punya keberanian melawan 'superman yang kau bilang tidak makan seribu tahun' itu? Hahaha… Kasian sekali kau, Willie! Tapi aku tidak heran. Tubuhmu terlihat kecil seperti cacing kelaparan, makanya itu kau bisanya hanya main keroyokan," seru Feli sambil menatap Willie merendahkan.

Tubuh Willie menegang. Tak berapa lama, kedua tangannya mengepal kuat. "Hei! Dasar jal*ng! Jangan ikut campur!"

"Apa kau bilang?! Aku jal*ng?! Kalau aku jal*ng, lalu kau itu apa?! Pria pengecut! Aku sangsi kalau 'senjata'mu itu bisa berdiri!" ejek Feli sambil menatap area bawah perut Willie, yang semakin memancing amarah pemuda itu.

Willie mengangkat tangannya hendak meninju Feli, namun tiba-tiba tubuhnya terjatuh mengenaskan karena tinjuan seseorang.

Feli mengalihkan pandangan ke arah seseorang yang sudah berdiri di sampingnya. "Jangan coba-coba menyentuh Nona-ku, Berengsek!" ucap datar seseorang itu.

"Kau… kenapa kau keluar dari persembunyianmu, Eric?!" seru Feli tak suka.

"Maaf, Nona, sudah menjadi tugas saya melindungi Anda dengan nyawa saya."

"Tapi aku tidak apa-apa!"

"Pria itu hampir meninju Anda, apakah itu bisa dikatakan 'tidak apa-apa'?" tanya pria tampan bernama Eric yang saat ini menggunakan pakaian formal berwarna hitam. Tak lupa kacamata hitam bertengger indah menutupi matanya.

Feli mendengus kesal, karena ucapan bodyguard setia sang Daddy benar adanya. Sial! Sebenarnya Feli sangat tidak suka jika pergerakannya itu selalu diawasi sang Daddy melalui bodyguard yang diperintahkan menjaganya dari jauh sejak Feli berusia tiga belas tahun. Demi Tuhan, gadis ini merasa seperti bayi yang diawasi babby sitter. Tapi Feli tidak dapat berbuat apa-apa, karena dia tahu semua ini demi kebaikannya sendiri. Saingan bisnis sang Daddy menyebar di negara ini, dan tak jarang ada saja yang bermain jalur kotor dengan cara mencelakakan anggota keluarga saingan bisnisnya.

Gadis ini mengalihkan pandangan ke arah Willie. "Sakit, tidak? Aku sebenarnya tidak suka jika bodyguard Daddy-ku ikut campur. Tapi sepertinya kau pantas mendapatkannya karena luka yang didapat Andrew." Feli menunjuk pria berkacamata yang tadi dibully Willie dan kawan-kawan pria itu. Memang ada luka di sudut bibir pemuda bernama Andrew itu. Belum lagi rambut klimisnya yang biasa rapi, terlihat sangat berantakan. Sepertinya Willie sudah melakukan kekerasan fisik pada pemuda malang itu.

Willie hanya mampu meringis nyeri sambil menatap kesal ke arah Feli. Sementara kelima pria yang lain langsung pergi meninggalkan tempat itu dengan wajah takut-takut. Siapa yang berani melawan anak dari Leonel Addison, salah satu pengusaha sukses di negara ini.

"Lihatlah, para sahabatmu bahkan lebih pengecut dari pada dirimu, Willie. Sebaiknya kau pergi, dan berhentilah bersikap sok jagoan di kampus ini."

Willie terdiam sesaat, lalu segera bangkit dan langsung melangkah pergi meninggalkan Feli.

Setelah kepergian Willie, Feli beralih ke arah Eric. "Pergilah. Aku ingin masuk kelas."

Eric terdiam sesaat, menatap Feli dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu mengangguk kaku. Pria berusia tiga puluh tiga tahun itu kembali bersembunyi untuk mengawasi Feli dari jauh.

"Fe-Feli…"

Feli berbalik. Tatapannya bertemu dengan tatapan pria bermata biru di balik kacamata pria itu.

"Te-terima kasih telah… telah menolongku," ucap pria itu gugup.

Feli tertawa kecil, lalu menepuk bahu Andrew, yang membuat pemuda ini semakin gugup. Apalagi aroma parfum dan shampoo feminin Feli, menggoda indera penciumannya.

"Kau, sebaiknya kau belajarlah seni bela diri, Andrew. Dan rubahlah penampilanmu, agar kau tak diremehkan lagi oleh orang lain. Ayo masuk. Sebentar lagi kelas kita akan dimulai." Feli berjalan lebih dulu tanpa menanti jawaban Andrew.

Sementara Andrew, menatap punggung Feli yang menjauh dari pandangan dengan tatapan memuja yang tidak ditutupinya. Gadis itu adalah gadis satu kelas dengannya sejak mereka duduk di bangku senior high school. Dan mereka kembali dipertemukan di kampus dengan jurusan yang sama. Mereka memang tidak pernah terlibat percakapan selama ini. Tapi Andrew diam-diam sudah menaruh hati pada gadis itu, gadis yang terkenal sering adu mulut dengan Selena. Dan pembelaan Feli tadi, membuat perasaan Andrew pada gadis itu semakin bertambah.

"Kalau aku merubah penampilan, akankah kau melihat ke arahku, Felicity Addison?" monolog Andrew.

***

"Feli, kau ke mana saja? Aku terus menghubungimu, tapi kau seperti hilang ditelan bumi," ucap Sally saat ia bertemu Feli di parkiran kampus mereka.

Feli melihat sang sahabat memperhatikannya. Pasti Sally melihat kantung matanya yang terlihat mengerikan. Sudah tiga hari mereka tak bertemu. Kemarin, saat Feli ke kampus, gadis ini tak menemukan keberadaan Sally. Mungkin karena kemarin suasana hatinya masih tak baik-baik saja, jadi Feli memang sengaja tidak mencari Sally.

"Aku sedang stress memikirkan sesuatu," ucap Feli lesu.

Sally menatap ekspresi lelah sahabatnya itu dan mencoba mengorek informasi lebih dalam. Biasanya Feli selalu ceria dan blak-blakan dalam berbicara namun, kali ini ia terlihat sedang memikul beban berat.

"Kita harus bicara empat mata, Feli," seru Sally. Sally menggeret lengan Feli menuju tempat rahasia mereka berdua yaitu di atap gedung kampus yang hanya beberapa orang saja yang bisa menaikinya sampai benar-benar ke atap.

Mereka berdua memilih untuk bolos di mata kuliah pertama. Karena bercerita satu sama lain adalah hal yang jauh lebih penting ketimbang menumpuk beban sendirian lagi.

"Katakan padaku, apa yang terjadi padamu?" tanya Sally pada Feli menyelidik.

Sally menanti jawaban dari sahabatnya itu. Surai mereka berdua melambai-lambai akibat tiupan angin.

Feli menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. "Demi mendapatkan private jet limited edition, aku menerima tantangan yang diberikan oleh Daddy ku untuk menjadi seorang maid," cerita Feli. "Benar-benar tidak masuk akal," gumam Feli. Feli benar-benar berpikir, jika sang Daddy memang sedang kerasukan arwah jahat.

"WHAT!! MAID? SERIOUSLY?" pekik Sally dan Feli mengangguk malas.

"Kenapa kita senasip? WHAT THE FUCK!" Sally menjambak rambutnya sendiri frustasi. Gadis ini berjalan mondar mandir di depan Feli, membuat Feli tak mengerti dengan reaksi sahabatnya ini.

"Apa maksudmu?"

Sally berhenti berjalan mondar mandir, lalu duduk di samping Feli. "Daddy ku juga memberiku misi sialan itu untuk aku lewati. Jika aku menginginkan sebuah pulau beserta fasilitasnya, aku harus menjadi maid di tempat yang tidak aku ketahui nantinya," cerita Sally pada Feli.

Feli melotot. "Hell! Apa mereka semua bersekutu untuk mengerjai kita berdua?!" tuding Feli tak suka. Atau, Daddy dari sahabatnya ini juga kerasukan arwah jahat?

Sally mengedikkan bahunya. "Uang jajanku pun, mulai minggu ini sudah dikurangi dan kartu kredit limited edition ku juga ditarik," keluh Sally.

"Hah? Kau serius tentang ini?" kaget Feli. Gadis ini tidak percaya jika Daddy Sally akan melakukan hal sejauh itu pada anak semata wayang kesayangannya. Untung saja Daddynya tidak melakukan hal yang sama.

Poor Sally…

Sally mengangguk lesu. "Daddy ku menjadi kejam sekali padaku.Setiap hari aku diminta untuk mengawasi kinerja semua maid di rumahku. Kau tahu, aku bahkan disuruh mempelajarinya. Menjijikan sekali, bukan?" ucap Sally frustasi.

Feli menepuk pundak Sally. "Demi meraih apa yang kita inginkan, aku yakin, kita bisa melewati semuanya," kata Feli menyemangati Sally dan dirinya sendiri.

"Ya. Aku tidak ingin dipecundangi oleh kedua jalang sialan itu. Bisa-bisanya mereka berdua mengklaim sudah menggeser posisi kita berdua," kata Sally geram.

Feli mengangguk antusias. "Tidak ada yang bisa menggeser Twins Queen di kampus ini!"

Sally dan Feli berhighfive ria.

"Malam ini aku akan mentraktirmu untuk minum sepuasnya. Sudah lama kita tidak bersenang-senang," ucap Feli girang. Feli benar-benar merasa prihatin pada Sally.

"Kau memang sahabat terbaikku, Feli. I love you so much," kata Sally dan mereka berdua terkekeh.

***