"Anak nakal itu masih tidak ingin membuka pintunya?"
"Yes, dan ini salahmu, Leon! Kau apakan anakku?!" pekik Charlotte Addison pada sang suami sambil berkacak pinggang. Anak mereka satu-satunya sejak Charlotte pulang berbelanja belum keluar dari kamar. Hal itu benar-benar membuat Charlotte khawatir. Feli-nya yang imut tidak pernah seperti ini sebelumnya.
"Dengar, Sayang, anak kita ingin membeli private jet."
"Lalu kenapa? Tinggal kau belikan saja, Daddy. Apa susahnya?"
"Sayang, mulai sekarang kita tidak bisa memanjakan Feli terus menerus."
"What? Memangnya kenapa? Uangmu habis?" tanya Charlotte sambil mengernyitkan dahi tak mengerti.
Leon menepuk keningnya frustasi, karena ucapan istrinya yang polos ini.
"Bukan seperti itu, Sayang, tapi sepertinya kita harus tegas pada Baby Girl kita mulai saat ini. Gadis itu tidak bisa terus-terusan kita manjakan. Jika dia ingin sesuatu, maka dia harus melakukan sesuatu lebih dulu untuk mendapat imbalannya, agar dia tahu bagaimana rasanya berjua—"
"Tidak! Anakku tidak boleh kesusahan, Leon! Enak saja kau main sem__ hhmpp..." Charlotte terdiam saat sang suami sudah menyambar bibirnya.
"Dengar, Charlotte, Cintaku, aku punya rencana untuk anak kita," ucap Leonel setelah menjauhkan bibirnya dari bibir sang istri.
"Rencana apa? Tolong kau jangan macam-macam pada Feli-ku!"
Leonel terkekeh geli, lalu mengecup singkat dahi sang istri. "Lihat saja nanti, Sayang. Yang pasti aku tidak mungkin memiliki rencana buruk untuk anak kita."
"Awas saja kalau sampai rencanamu itu aneh-aneh! Aku tidak akan segan-segan memotong sosis jumbomu itu!" desis Charlotte tajam.
"Ugh! Mommy, jangan kejam-kejam padaku. Kalau kau memotong sosis jumboku, kau mau menikmati apa?"
"Aku bisa menikmati sosis yang lai—"
"Jangan coba-coba, Charlotte!" desis Leonel tak suka.
"Lihatlah dirimu, Leon, kau masih saja posesif."
"Sampai mati aku akan terus seperti ini! Lihat saja, kalau kau berani macam-macam walau hanya melirik sosis-sosis pria lain, aku tidak akan segan-segan menguliti dan membakar sosis-sosis mereka!"
Charlotte ternganga tak percaya. Lalu wanita cantik berusia empat puluh tiga tahun ini memutar bola mata malas. "Lebih baik sekarang, kau bujuk Feli-ku untuk makan, Leon! Aku tidak mau tahu!" Wanita ini langsung berjalan meninggalkan sang suami. Namun tak berapa lama, langkahnya terhenti, lalu kembali membalikkan tubuh ke arah Leonel. "Aku tunggu kau dan anak kita di ruang makan. Kalau sampai kau tidak berhasil membujuk Feli-ku, jangan harap aku akan mau menikmati sosis jumbo-mu, Sayang!" ucap Charlotte sambil tersenyum, namun tatapannya tajam menusuk. Wanita cantik ini berbalik pergi sebelum sang suami menjawab apapun. Sementara itu, Leonel menatap pintu kamar sang anak dengan sendu.
"Jangan buat mommy-mu tidak ingin menikmati sosis jumbo daddy, Baby Girl," monolog Leonel tersiksa.
***
"Feli, Baby Girl... apa kau tidak lapar?" tanya Leonel pada sang anak yang saat ini meringkuk di atas ranjang queen sizenya.
Feli langsung terduduk, lalu menatap sang ayah murka. "KENAPA DAD MASUK KAMARKU TANPA IZIN?!"
"Daddy tidak tahu kapan kau akan membukakan pintu untuk Daddy."
Feli mendengus kesal, lalu memalingkan wajah ke arah lain. Gadis ini mengawasi pergerakan sang Daddy yang mendekatinya dari ekor mata.
Leonel menatap wajah sang anak dari samping. Wajah Feli terlihat sembab. Ada rasa bersalah di hatinya, karena membuat Feli-nya menangis sampai sembab seperti itu. "Makanlah, Sayang. Kau tidak lapar? Mommy-mu sudah menunggu kita di meja ma—"
"Tidak perlu pedulikan aku! Daddy kan tidak sayang lagi padaku, untuk apa Daddy peduli aku lapar atau tidak!" sinis Feli. Gadis ini menggeser tubuhnya menjauh saat Leonel yang sudah duduk di atas ranjang sang putri hendak menggapai tubuh sang anak.
"Sayang..."
"JANGAN GANGGU AKU, DADDY!" teriak Feli kesal.
"Apakah Daddy mengajarimu untuk berteriak seperti ini pada orangtua, Feli?"
Feli langsung terdiam, lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah lain. Di dalam hati kecilnya, gadis ini menyesal telah membentak sang ayah seperti tadi. Tapi mau bagaimana lagi, rasa kesalnya terhadap Leonel masih segar, jadi jangan salahkan dia kalau kelepasan seperti itu.
"Dengarkan Daddy, Baby Girl... Daddy akan mengabulkan keinginanmu, as—"
"APA???" Wajah Feli terlihat sumringah. Gadis ini langsung mendekati sang ayah, lalu merangkul manja lengan kiri Leonel. "Oh Daddy, aku tahu kalau kau tidak akan menolak keinginanku. Aku sayang Daddy!" Pegangan tangan Feli di lengan sang ayah mengerat, lalu gadis ini menyandarkan kepalanya pada bahu bidang Leonel.
"Daddy juga sayang padamu, Nak. Tapi dengarkan Daddy dulu sampai selesai berbicara."
"Baiklah. Aku akan menjadi anakmu yang baik."
Feli melepaskan rangkulan tangannya, lalu menatap sang ayah seperti anak kecil yang menanti dengan antusias dogeng terbaik di dunia ini. Kedua mata gadis ini berkedip lucu. Pipi tembamnya membuat Feli benar-benar seperti boneka hidup.
Leonel tersenyum lembut, lalu mengusap sayang puncak kepala sang anak. "Kau boleh memiliki semua private jet terbaik di dunia ini, asal kau mau menjalankan misi yang Daddy berikan."
Feli mengernyitkan dahi bingung. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Pertanda apa ini?
"Mak... sud Daddy apa? Misi? Memangnya kita sedang bermain game?"
"Anggap saja seperti itu, Sayang..."
"Dad, kita tidak sedang syuting Mission Imposible yang diperankan pacarku yang tampan itu. Kenapa harus ada misi?"
"Karena daddy ingin tahu, seberapa hebat usaha anak daddy ini untuk mencapai keinginannya. Daddy ingin melihat Baby Girl daddy berusaha dulu untuk mendapatkan apa yang dia mau."
"Ya Tuhan..." Feli memutar bola mata malas. "Misi apa?"
"Jadilah Maid di tem—"
"Apa aku tidak salah dengar?" Feli memotong ucapan sang ayah secepat kilat. "Aku mendengar kata MAID. MAID? Dad, aku harus jadi Maid? Yang benar saja, Daddy?! Aku tidak mau!"
"Hanya satu bulan, Baby Gi—"
"Satu detikpun aku tidak mau!" potong Feli lagi.
"Maka tidak akan ada private jet."
Tubuh Feli langsung menegang saat sang ayah mengatakan itu.
"Kalau kau berhasil menjalankan misi yang daddy berikan, bukan hanya private jet yang kau dapatkan, tapi apapun yang kau inginkan akan terwujud. Bagaimana, Baby Girl?"
Gadis ini terlihat bimbang. Di kepalanya, begitu banyak barang-barang mewah yang dia inginkan. Salah satunya adalah cincin berlian termahal di dunia yang akan launching beberapa bulan lagi. Belum lagi tas branded yang akan launching satu bulan lagi, tas yang hanya diproduksi lima buah di dunia. Dan Feli, harus menjadi salah satu pemilik dari lima buah tas itu!
"Haruskah misinya menjadi Maid, Dad?" tanya Feli lemah.
"Hanya satu bulan, Baby Girl. Daddy yakin kau bisa melakukannya."
Feli menggigit bibir, lalu memilin jemari tangannya. "Apapun yang aku inginkan, akan Daddy kabulkan setelah aku berhasil menjalani misi itu?"
"Hu um... Daddy janji, Sayang. Kau sangat tahu, kalau daddy tidak pernah ingkar janji."
Feli terdiam sesaat. Menjadi Maid? Dalam mimpi saja dia tidak pernah membayangkan kalau dia harus jadi Maid. MAID? Ya Tuhan... Pekerja bersih-bersih? Bagaimana kondisi tangannya yang halus nanti? Lalu cat kuku mahal yang biasa dia gunakan pasti akan rusak. Tapi... kalau dia tidak mengorbankan tangan halusnya, private jet dan semua barang-barang mewah hanya akan jadi angan-angan saja.
"Baiklah, Daddy... aku... aku mau," ucap Feli ogah-ogahan. "Tapi ingat janji Daddy!" lanjut Feli dengan nada mengancam.
Leonel terkekeh geli karena anak polosnya ini. "Daddy janji, Sayang... Sekarang sebaiknya kita turun makan. Perut mommy-mu pasti sudah berisik karena menunggu kita terlalu lama," ucap Leonel jenaka.
"Gendong aku, Dad!" perintah Feli.
Leonel langsung berdiri, lalu membalikkan tubuh. Refleks saja Feli menerjang punggung sang ayah, lalu memposisikan tangannya memeluk erat leher Leonel.
"Kau sudah besar, tapi masih saja minta gendong."
"Daddy selalu bilang kalau aku akan selalu terlihat seperti bayi di matamu, jadi jangan protes, Daddy!"
Leonel hanya menggelengkan kepala pasrah. Lalu pria ini melangkah meninggalkan kamar sang anak setelah dirasa posisi Feli di punggungnya sudah benar.
***