Gadis pirang itu berjalan dengan mata setengah menutup. Sudah rapih dengan setelan seragam siswi Antariksanya. Di tangan kanannya ada tas warna hitam yang sangat ringan karena berisi satu buku dan satu bolpoin, serta tangan kirinya ia gunakan untuk membawa sepasang sepatu converse nya.
Emilia sedikit tersentak saat dengan tiba-tiba ada yang menyenggol bahunya agak kencang. Matanya terbuka dan terlihat Emilio yang sedang berjalan santai mendahuluinya.
"Senggol aja teros, orangnya pulang kampung!" sindirnya.
Emilio tak menyahut, Emilia mendengkus kesal dan buru-buru bergerak menghampiri kembarannya itu. Dia jitak kepala Emilio. "Songong banget ya, jadi orang!"
"Eh!" Emilio mengusap kepalanya dan selanjutnya menoyor kepala gadis itu, "Yang songong itu elo! Asal geplak kepala Kakaknya!"
"Dih, kan lo duluan, bego!"
"Makanya jalan tu pake mata, mata belom melek udah jalan-jalan aja. Nabrak tau rasa lo!"
"Dih goblok banget," Emilia mendengkus. "JALAN TU PAKE KAKI, MANA ADA PAKE MATA, SAKIT BEGO YANG ADA. OTAK TU DIPAKE JANGAN JADIIN PAJANGAN DOANG DALEM PALA!"
"Bangsat!" desis Emilio sambil mengusap telinganya.
"Teros ribut teros!" suara Rachel mengintrupsi kegiatan mengasyikan saudara kembar itu. Wanita dengan apron hitam itu terlihat mencepol asal rambutnya sambil berkacak pinggang menatap kedua anak kembarnya.
"Duh Milio," Rachel menghampiri Emilio yang kini menaikkan alisnya sebelah. "Anak gue cogan ih, gemes gue!" Rachel mencubit kedua pipi Emilio yang langsung di tepis pelan oleh anaknya itu. "Apaansi, Ma."
"Idih jangan galak atuh anak gantengnya Mama, nanti gak ada yang gebet loh." Emilio mendengkus, siapa bilang?
Siapa yang mau dengan Emilio? Hayo angkat tangan.
"Jangan salah, Ma. Dari anak IPA ke IPS pun banyak yang kejar Abang. Aku ya kalo buka lokernya Abang liat banyak banget cokelat di sana, norak ya?" sahut Emilia. Mereka bertiga jalan ke arah meja makan dan duduk di kursi menyusul Marchel yang duduk di kursi kepala sambil membaca koran.
"Oh ya?" Rachel tampak tertarik. "Mana cokelatnya? Gak pernah di bawa ke rumah!"
"Yaampun Ma," desis Emilio. "Bisa beli pabriknya kalo mau, tinggal minta aja sama Papap!"
"Dih sombong amat lu," gadis pirang itu meraih sepotong roti yang sudah di olesi selai cokelat oleh Rachel. "Duit orang tua bukan duit elo, jadi gaada yang perlu di sombongin."
Roti itu di gigitnya.
"Mabok lu ya," Emilio menatap sinis. "Orang gue suruh Mama buat minta sama Papap, unsur sombongnya dari mana ya, saudari Emilia?"
Rachel terlihat mengibaskan lengan. "Cokelatnya kamu kemanain?"
"Kan Abang suka ke sekolah naik sepeda Ma, nah dia mampir dulu ke perempatan jalan deket SMA Kencana itu. Di kasih ke anak-anak yang ada di sana." Emilia kembali mengigit rotinya.
"Duh!" dengan gemas Rachel mencubit pipi Emilio yang berada di sampingnya. "Anak gue imut banget, nggak ngerti lagi gue!"
Kompak, ketiganya mendengkus.
"Alay!"
***
Tin.
Tin.
Emilia buru-buru meminum susunya dan meraih tasnya, sepatunya sudah selesai ia pakai dan langsung buru-buru bersalaman dengan Rachel dan Marchel.
Rachel sempat bergumam dan di dengar Emilia. "Tumben salim."
Emilia langsung masuk ke dalam mobil berwarna dark grey itu, gadis pirang itu mendapati Dario tersenyum manis menyambutnya di dalam mobil.
"Madol, kuy?" ajak Emilia.
Dario mengernyit, "Madol?"
"Bolos, boy!"
Dario dengan cepat menggeleng dan menyalakan mesin mobil. Mobil itu berjalan meninggalkan pelataran rumah Emilia. "Nggak, bentar lagi UAS, nanti aku ketinggalan kisi-kisi."
Emilia berdecak. "Ketinggalan satu hari gak menjamin masa depan lo suram, Fakboi Junior!"
"Tetep aja aku gak mau!"
"Yaudah!" Emilia meraih tasnya. "Kalo gak mau turunin gue disini, biar gue madol sendiri aja!"
"E-eh!" Dario meraih pergelangan tangan Emilia yang ingin membuka pintu padahal mobil masih berjalan. "Iya aku ikut, Lia. Kamu mau kemana?"
Wajah gadis itu menahan senyum. Dengan suara agak di ketuskan ia menjawab, "Rumah Oma buyut gue yang ada di ujung perkotaan!"
Dario mengernyitkan dahinya heran, "Oma buyut? Dimana? Oma Papap Achel atau Mama Achel?"
"Papap gue lah!"
"Tapi aku nggak tau tempatnya, Li. Jauh juga kan? Ke tempat lain aja yuk?!"
Emilia berdecak dan melempar kembali tas hitamnya. "Biar gue yang nyetir!"
Mau tak mau Dario menurut, menghela napas, cowok itu membuka pintu dan turun, diikuti Emilia agar berpindah tempat. Setelah memakai sabuk pengaman, Emilia mengacungkan lengan kanannya. "Let's go!!"
***
"Ini rumah Oma buyut kamu, Li?"
Emilia melepas sabuk pengamannya dan mengangguk. Ia keluar dari mobil itu diikuti Dario, dengan cepat cowok itu memeluk lengan kanan Emilia. Ia berbisik, "Takut Li, suram banget suasanannya."
"Iye kayak masa depan elo!"
"Ish!" cowok itu merengut. "Kamu mau ganti baju?" saat melihat gadis itu berjalan ke dalam kamar, ia bertanya. Dengan memuar bola mata Emilia menjawab, "Kayaknya kalo gue napas aja lo nanya deh Ri!"
"Oh, oke!" cowok itu memiringkan kepalanya, tubuhnya duduk di sofá depan TV yang juga ada rak buku disana. "Lia udah napas berapa kali hari ini?"
"Mati kek lu!"
Dario terkekeh saat melihat Emilia berjalan masuk ke dalam kamar dekat ruang tamu dengan sedikit bantingan pada pintu. Dario menyalakan TV dan mencari saluran yang manayangkan film spongebob squarepants.
Suara pintu terbuka membuat Dario menahan napasnya sejenak, ia terpaku menatap Emilia yang kini memakai dress berwarna merah dengan kerah rendah. Dario menelan ludah.
Dario anak kuat.
Dario,
Anak,
Kuat!
Harus kuat!
"Mau makan apa lo?" ia sedikit tersentak saat Emilia menatap wajahnya yang kini perlahan memerah. Emilia dengan rambut pirangnya terkuncir dua sangat menggemaskan.
"Eh? E-ehm," ia menautkan jari. "Adanya apa?"
"Gak tau,"
"Lah terus?" Dario mengangkat alisnya menatap Emilia yang kini malah menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Sebisa mungkin Dario menahan diri untuk tidak mengelus leher jenjang nan putih itu.
Lagi-lagi ia menelan ludah.
Anak Mama Frisca harus banyak sabar.
"Lo kenapa, deh?" tanya Emilia. "Dari gue keluar kamar kayaknya gelisah terus, punya utang lo?"
"Ehm," ia berdeham. "Ng-nggak, aku cuma pegen pipis! Ah iya pengen pipis!"
Dengan tergesa cowok itu berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah kamar mandi. "Kamar mandi sebelah kiri, Fakboi!"
"A-ah iya!" Dario menepuk dahi.
Emilia hanya diam memerhatikan sambil menaikkan alisnya. Tak lama ia tersentak saat dengan tiba-tiba Dario berjalan ke arahnya dan menarik sebelah rambutnya.
Saat ia ingin protes, dengan cepat Dario menarik leher belakangnya dan memiringkan kepala gadis itu, ia mencium pipi Emilia.
"Wangi, aku suka. Tapi jangan tampil begini ke orang lain, aku bakal cemburu. Karena kamu cuma punya aku!"
***