"Aku tidak pernah main-main, Naera! Jika aku tak bisa mendapatkan William, maka tak ada yang boleh mendapatkannya juga."
Liona menyalakan korek api dan bagian pertama yang menjadi incarannya adalah rambut indah milik Naera Rose. Saat ia hendak menjatuhkan anak korek, tiba-tiba saja ponselnya berdering panjang. Liona mengurungkan sejenak keinginannya dan membiarkan Naera menghirup udara bebas untuk yang terakhir kali.
"William Morgan?"
Kedua alis Liona sontak bertubrukan saat layar gawainya dihiasi oleh nama sang mantan kekasih. Tidak tahu kenapa William mendadak menghubunginya.
"Halo. Apa yang membuatmu mencariku siang-siang begini?" Liona meninggalkan Naera barang sesaat. Ia melabuhkan pandangan ke arah jendela, lalu menyingkap tirai berdebunya tersebut.
"Aku tahu Naera sedang berada dalam tawananmu. Liona, apapun yang kau inginkan akan kukabulkan, asal kau mau bertemu denganku detik ini juga."
"Kau berniat untuk membodohiku, hem?" Tawa kecil menghiasi bibir Liona.
"Ah, bukan begitu. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu pada Naera untuk yang terakhir kali. Kau tahu? Sejujurnya aku setuju jika kau menculiknya."
"Bagaimana kau tahu, jika aku yang telah menculik gadis tidak berguna itu?" Liona setengah kaget.
"Itu tidaklah penting. Apa kau bisa menemuiku sekarang juga?"
"Tidak masalah, tapi sebagai hadiahnya kau harus kembali padaku."
"Apapun akan kuberikan untukmu!"
Karena tergiur oleh perkataan William, akhirnya Liona menyetujui ucapan pria tersebut dan kembali menghadap Naera Rose.
"Wahai perempuan jalang! Asal kau tahu saja, sebentar lagi aku akan bertemu dengan calon suamimu. Rupanya dia sangat setuju dengan penculikan ini. Hahaha. Kau masih memiliki jatah hidup selama beberapa jam, sebelum aku dan William yang akan membunuhmu dengan tangan kami sendiri."
"William?"
Naera mencium roman-roman tidak beres di sini. Sepertinya lelaki itu telah merencanakn sesuatu terhadap diri Liona. Naera mencoba berpikir positif dan tetap bersikap tenang.
"Lakukan apa yang membuatmu bahagia, Liona," ucapnya datar.
Liona merupakan perempuan yang sedang mengalami fase penyesalan akibat mengkhianati kekasihnya di malam pernikahan. Dia akan menjadi orang pertama yang tidak merestui hubungan William dan Naera, selaku pengganti dirinya. Jika sekarang William kembali hadir dengan menjanjikan suatu hubungan baru, maka Liona mustahil menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Pikirannya menjadi pendek dan hanya tertuju pada William seorang, meskipun sesungguhnya ia hanya mengincar harga keluarga Morgan saja.
Perempuan bertubuh semampai itu pun keluar ruangan dan berpesan pada orang-orang suruhannya untuk menjaga Naera Rose. Sepanjang perjalanan ia tiada henti mendendangkan lagu-lagu, pertanda menyambut momen kemenangannya.
***
Baru saja William membidik benda berkepala yang melingkar di pergelangan tangannya, tetapi seorang wanita berkulit putih sudah tiba di hadapannya. Liona hadir sebelum jam yang ditentukan oleh William. Keduanya bertemu di sebuah restoran mewah.
"Liona, akhirnya kau sampai juga," kata William menyambut perempuan itu penuh antusias.
Liona menyisir kawasan restoran dan mencari keganjilan di sana, tapi tak ia temukan. Sepertinya William benar-benar sendiri.
"Selanjutnya apa, William?" Liona mendaratkan bokongnya di kursi empuk.
"Aku hanya ingin mengatakan, jika aku bersyukur karena kau telah menculik calon istriku. Liona, sejujurnya aku tak pernah mencintai Naera dan pernikahan ini hanyalah sebuah paksaan. Aku berakting seolah menginginkan Naera demi melindungi hati orang tuaku," ujar William menampakkan ekspresi sedih.
Liona menutup mulutnya, "Benarkah?"
"Iya. Sepertinya ini adalah waktu yang cocok untuk mengajakmu kembali padaku."
"Kau ingin kita menikah, Sayang?" Kedua mata Liona bercahaya.
"Iya, maka dari itu aku harus menemukan Naera Rose untuk menyatakan perasaan palsu ini. Dia harus tahu, bahwa aku hanya mencintai Liona Vinch seorang."
Orang yang mendengar langsung besar kepala akibat perkataan William tersebut. Ia bak putri ratu yang disanjung-sanjung kehadirannya dan tak mampu dilupakan. Liona jadi semakin yakin, bahwa selama ini William kerap memikirkan dirinya.
"Aku menyekapnya di sebuah rumah tua, William. Tadinya aku hendak membakar gadis itu hidup-hidup, tapi semua tertunda karena kau meneleponku." Jika sudah begini, maka Liona tak segan-segan membongkar kejahatannya.
Degh!
Badan William tersentak.
"Oh, benarkah? Kupikir itu sebuah ide bagus. Apa boleh jika aku yang membakarnya lebih dulu?"
"Tentu saja!"
"Kalau begitu bawalah aku ke sana, Liona. Aku sudah tidak sabar ingin membuat Naera menderita."
William buru-buru mengangkat tubuhnya dari kursi dan menggiring Liona masuk ke mobilnya. Setelah 10 menit di perjalanan, William menghentikan mobilnya di sebuah perkebunan. Ia membuka jendela mobil sambil melambaikan tangan entah ke pada siapa di luar sana.
Tak lama setelahnya, muncullah empat orang pria berbadan tegap dan berpakaian serba gelap masuk ke kendaraan mereka. Liona merasa risih dengan kehadiran orang-orang asing tersebut.
"William, mereka ini siapa? Tidak bisakah mereka naik mobil lain saja?"
William menyeringai panjang dan melirik ke arah manusia gagah di belakang sana. "Mereka adalah orang-orang yang akan menyiksamu, sebagai mana kau telah menyiksa calon istriku, Liona Vinch!"
Liona yang mendengar tampak sangat kaget dan gugup. Kemudian ia berkata, "Apa maksud dari semua ini?"
Seketika salah seorang diantara mereka menempelkan sapu tangan ke hidung Liona dan menekannya sampai beberapa waktu. Liona berusaha menghindar, tetapi usahanya gagal karena obat yang melekat pada kain tersebut membuatnya mual parah dan berujung lemas.
"Dasar, gadis bodoh!" kata William di depan wajah Liona.
Yang sebenarnya terjadi adalah William sengaja mengelabui Liona untuk mencuri hatinya. Ia telah menyuruh beberapa pria untuk menantinya di sebuah lintasan perkebunan. Tidak ada siapapun di sini dan mereka bebas untuk berbuat apa saja.
"Sekarang katakan di mana rumah kosong itu atau kau akan mati di sini!" William mengancam.
Liona menyandarkan kepalanya pada jok mobil. Sekarang ia tahu bahwa lelaki itu telah menipunya habis-habisan. Liona tak pernah menyangka jika William akan menjadi sosok yang licik seperti sekarang.
"Kau curang, William!" lirih Liona di tengah mual yang begitu mendera.
"Jangan banyak omong! Di mana Naera sekarang?"
William menjambak rambut Liona guna menakut-nakuti gadis tersebut. Ia juga mengeluarkan sebilah pedang dan diarahkan tepat di leher Liona.
"Jangan sampai nyawamu berakhir di ujung senjataku ini, Liona!"
Tentu saja yang diancam semakin ketar-ketir. Bahkan, Liona tak pernah tahu jika sejak awal William menyimpan pedang di lehernya. Meski tidak terlalu panjang, tapi pedang itu cukup tajam dengan ujung yang runcing lagi mengkilau. Sekali sayatan saja sudah bisa membuat bagian tubuh Liona robek dan mengeluarkan darah segar.
"Ba- baik, aku a- akan mengatakannya pa- padamu," kata Liona ketakutan.
"Jadi, di mana alamat rumah tempat kau menyekap Naera?" William masih saja menempelkan benda berkilauan tersebut di leher Liona, sampai dia benar-benar mengatakan yang sesungguhnya.
***
Bersambung