webnovel

35. Upacara Kematian Kedua, Hubert Hans

Setelah membaca selesai semua isi surat tersebut, Jade langsung mendudukkan dirinya di samping ranjang seraya menyapu seluruh rambutnya yang cukup panjang itu keatas dan mengacak – acaknya. Apa lagi ini pikirnya. Ia sungguh tidak mengerti apa maksud Enrique dengan mewariskan seluruh aset kepadanya dan jangan percaya pada apa yang dilihat lalu akan ada orang yang datang mengambil semuanya, apakah yang dimaksud dalam surat itu adalah Nathan? Itu berarti ketika Enrique menuliskan surat ini ia masih belum mengetahui bahwa selama ini Nathan telah mengkhianatinya dan telah merencanakan ini semua dengan menghilangkan James terlebih dahulu. Ini gila, sungguh gila pikirnya. Namun ia begitu salut akan intuisi dan insting Enrique yang begitu tajam. Setidaknya beliau bisa merasakan bahwa James masih hidup, meskipun belum mengetahuinya dengan pasti. Lalu sekarang ia harus bagaimana pikirnya. Ia tidak tahu sampai kapan ia harus menyimpan rahasia ini dari Ivory, padahal rasanya gadis itu berhak mengetahui rahasia besar ini.

Saking kelelahan karena terlalu berpikir keras semalaman membuatnya tidak menyadari bahwa dirinya telah tertidur dengan masih memegang secarik kertas yang ditemukannya hingga fajar menyingsing. Ivory merasa aneh mengapa ia masih belum melihat sosok kakaknya pagi itu. Merasa penasaran ia pun mendatangi kamar Jade. Beberapa kali ia mencoba untuk mengetuk pintu kamar tersebut namun tetap tidak ada jawaban dan ketika ia mencoba membukanya ternyata pintu tersebut tidak dikunci semalaman. Ceroboh, satu kata yang tersirat dalam benak Ivory tatkala memasuki kamar Jade. Ruangan tersebut masih terlihat sama dengan yang terakhir kalinya ia lihat dari luar, namun baru kali ini ia memasukinya. Masih dengan nuansa klasik abu putih dengan beberapa rak buku dan meja belajar serta lemari yang letak dan susunannya semua terlihat berjejer dan begitu tertata rapi tanpa ada satupun yang berdiri keluar dari posisinya. Dilihatnya foto – foto kenangan dirinya bersama pria itu dihari ulang tahunnya dan ketika ayahnya mengadakan acara – acara tertentu. Ia tersenyum sendiri melihat foto – foto tersebut. Benar – benar sosok pria yang begitu menghargai setiap momen penting dan menyayangi keluarga pikirnya. Namun ia tidak melihat ada satupun foto Jade dengan ayah ataupun adik kandungnya sendiri yaitu Nathan dan Catherine. Apakah pria itu segitu membenci ayah dan adiknya sendiri hingga tidak mau memajangkan satu pun foto mereka. Ia hanya melihat sebuah foto Jade sewaktu kecil yang sedang digendong oleh seorang wanita muda yang berparas wajah cantik dengan bola matanya yang bulat berwarna keabuan serta rambut coklat terangnya yang disanggul dan sedang memakai topi Fedora berwarna putih. Meskipun gaya berpakaian wanita itu tidak terlihat begitu modis namun ia bisa melihat kecantikan alami yang terpancar dari wanita tersebut. Ternyata ketampanan pria ini diwariskan oleh ibunya pikirnya. Sudah barang pasti bahwa foto wanita yang menggendongnya ini ialah foto ibunya. Ia hanya tertawa kecil melihat foto masa kecil kakaknya itu. Setelah selesai menjelajah semua yang dilihatnya ia pun melihat bahwa pria tersebut masih tertidur begitu lelapnya. Sebenarnya ia tidak tega untuk membangunkannya ketika ia melihat wajahnya yang sepertinya kelelahan. Bahkan dalam keadaan tertidur seperti itu pun kakaknya terlihat begitu tampan pikirnya. Segera menyadari bahwa agak tidak pantas ia berpikir begitu terhadap kakaknya sendiri ia pun lalu menghapus pikiran itu lalu ketika ia baru saja mau membangunkan Jade, ia melihat secarik kertas yang dipegang oleh pria itu. Merasa penasaran ia pun berusaha menariknya untuk melihat dan membacanya. Namun ketika ia melihat isi surat tersebut beribu tanda tanya muncul di benaknya. Ia sama sekali tidak mengerti satu pun isi dari isi surat tersebut dari atas sampai ke bawah. "IRVMUYI. Apaan sih ini? Sesulit ini kah tugas kuliahmu Kak?" gumam Ivory ketika berusaha membaca isi surat itu.

Jade yang tiba – tiba terbangun karena mendengar ada suara seseorang di sampingnya langsung menyerang sumber suara yang didengarnya barusan karena yang ia ingat hanyalah surat yang terakhir kali dipegangnya tidak boleh ketahuan oleh siapapun sehingga ketika mendengar suara tersebut ia berpikir bahwa ada yang sedang berusaha mencuri suratnya. "Siapa kamu?" Tanpa disadarinya tangannya langsung refleks menangkap leher gadis itu lalu memposisikan tubuhnya hingga tertidur di ranjang dengan maksud menjatuhkan lawan dan menekan lehernya hingga wajah mereka kini bertemu dan saling berpandangan untuk sesaat namun Ivory segera meronta dan meminta Jade untuk menyingkirkan tangannya dari lehernya yang membuatnya merasa sesak dan tercekik karena tekanan tangan Jade yang cukup kuat. "Le…pas Kak, i…ni aku," ujar Ivory yang tidak mampu mengeluarkan suaranya seperti biasanya dan hanya bisa terbata – bata. Setelah merasakan tangan kecil gadis yang terus meronta dan mendorongnya agar menjauh itu, Jade baru tersadar bahwa dirinya sedang menimpa tubuh gadis itu lalu segera menyingkir hingga tubuhnya sendiri kini terjatuh di bawah ranjang. "Au! Aduh! Ya Tuhan, aku gak sengaja Iv, aku benar – benar minta maaf, aku tadi kira pencuri yang masuk. Sini, kamu gak apa – apa kan?" tanya Jade seraya bangkit dan membantu gadis itu untuk duduk kembali dan mengelus bagian punggungnya karena perbuatannya tadi telah membuat gadis itu terbatuk – batuk. "Uhuk! Uhukk…Kamu mimpi apa sih Kak, sampai gak bisa bedain mana alam mimpi dan dunia nyata. Untung aku gak sampe mati tercekik olehmu. Uhuk! Uhukk!" ujar gadis itu masih sambil terbatuk – batuk. "Iya, maaf aku gak sengaja beneran. Lagian kamu kenapa tumben banget masuk ke kamarku?" tanya Jade merasa penasaran. "Kamu liat jam dulu tuh!" ujar Ivory singkat dan masih kesal karena masih merasa sakit dibagian lehernya. "Astaga. Aku beneran minta maaf ya, gak nyangka sampe ketiduran gini. Aku beres – beres dulu sehabis itu langsung kuantar kamu. 5 menit. Ok? Tunggu dulu di sini sebentar," ujar Jade seraya memberikan aba - aba kepada Ivory untuk menunggu sebentar dan benar saja entah bagaimana ia menyingkat waktunya hingga tidak melebihi waktu yang telah ditetapkannya kini terlihat pria itu sudah siap dengan setelan kemeja hitam dan celana jeansnya namun masih dengan rambutnya yang tidak beraturan. Ivory hanya bisa menggelengkan kepala dan melongo aneh melihat penampilan awut – awutan pria itu lalu terkekeh sendiri. Kemudian ia mengambil sisir kecil dari tasnya dan menyisir rapi rambut pria tersebut meskipun ia harus lebih menjinjitkan ujung jari kakinya agar bisa mencapai tingginya. Jade merasa tersipu dan debaran jantungnya pun berdetak semakin kencang tatkala memandang wajah gadis tersebut dari jarak yang begitu dekat. Ia merasa begitu tersanjung akan sikap gadis itu hingga tanpa disadarinya ia telah memegang tangan gadis itu, menyibakkan rambut ke belakang telinganya dan mencium keningnya lalu memeluknya. Ia hanya merasa begitu nyaman setiap kali berada di dekat gadis itu. Ivory merasa sedikit risih dengan perlakuan pria itu, meskipun ayahnya pun sering memperlakukannya manja seperti itu, namun seorang sosok kakak seperti Jade yang memperlakukannya seperti itu rasanya agak sedikit aneh pikirnya. "Kamu baik – baik aja kan Kak?" tanya Ivory khawatir. "Iya Iv, maaf tadi aku…ah aku hanya terlalu sayang sama adikku ini," ujar Jade seraya mengelus kepala gadis itu. Ivory hanya bisa menertawakan kelakuan pria itu yang terkadang tidak bisa ditebak olehnya lalu mengajaknya untuk pergi. Jade yang teringat akan surat yang ditinggalnya itu kemudian segera mengambilnya dan menyimpannya. "Itu contekanmu ya Kak?" tanya Ivory meledek. "Ini bahan ujianku. Semalam kupelajari sampe ketiduran. Udah yuk, ntar kamu telat lagi," ujar Jade mengalihkan pembicaraan agar gadis itu tidak menanyakan perihal surat tersebut lagi demi menjaga pesan yang telah disampaikan dalam isi surat. Ia bersyukur karena gadis itu tidak mengerti mengenai isi yang telah dilihatnya itu karena akan panjang cerita jika gadis itu mengerti pikirnya.

"Telat kenapa Kak? Memangnya kita mau ke mana?" tanya Ivory. Jade merasa bingung seketika dan melihat pakaian yang dipakai oleh gadis itu. "Kamu kenapa belum memakai seragammu? Bukannya hari ini masih sekolah? Belum liburan kan?" tanya Jade heran. Ivory hanya menggeleng – gelengkan kepalanya lalu memegang pipi pria yang lebih tinggi darinya itu. "Gini ya Kak, aku hari ini gak sekolah, karena kita akan menghadiri upacara kematian kakek, aku udah nanya mama pagi - pagi tadi. Makanya aku tadi ke sini mau nyuruh kamu siap – siap, karena gak biasanya kamu telat bangun tapi kamunya malah asik sendiri. Ya udah yuk Kak, sekarang kita turun sepertinya semua udah pada nungguin tuh," ujar Ivory mengajak Jade untuk ikut menghadiri upacara kematian kakeknya dan benar saja semua penghuni rumah ternyata memang sudah menunggu kehadiran mereka di bawah. Hari berduka lagi pikir Ivory. Ini sudah kedua kalinya ia menghadiri upacara kematian dari anggota keluarganya. Jika bukan karena waktu itu ia masih balita,s mungkin ini merupakan ketiga kalinya ia menghadiri upacara kematian keluarganya setelah James dan ayahnya. Meskipun hanya tersisa abu yang sudah dikumpulkan oleh pihak Forensik dari jenazah Hubert, namun tetap saja mereka harus menghormati dan mengadakan upacara kematian sebagai penghormatan terakhir kepada beliau. Sungguh tidak disangka, semua orang yang disayanginya telah pergi meninggalkannya untuk selama – lamanya hanya dalam kurun waktu beberapa tahun. Kini hanyalah kenangan dan ratap tangis yang tersisa bagi Ivory dan Moniq. "Kita udah kehilangan papa dan kakek ma, kenapa mereka begitu cepat ninggalin kita?" Ujar Ivory. Moniq hanya meminta putrinya untuk lebih bersabar dan belajar mengikhlaskan sambil memeluk gadis itu. Tidak berapa lama kemudian, Nathan dan Catherine pun mendekati mereka dan menjemput Moniq untuk mengantarnya pulang terlebih dahulu. Sebenarnya Moniq enggan pulang namun karena Nathan sudah memberikan sinyal mata kepadanya maka mau tidak mau terpaksa ia hanya bisa mengikutinya dan mengajak Ivory beserta Jade namun ia menolaknya, ia sudah merasa tidak nyaman untuk berada di dekat Nathan. Ivory pun akhirnya memilih untuk kembali bersama Jade, karena ia pun tidak menginginkan untuk bersama – sama dengan Nathan ataupun Catherine sehingga mau tidak mau Moniq dan yang lainnya pun meninggalkan mereka berdua.

Setelah membawa pulang Moniq, Nathan bukannya kembali ke kantor namun menuju ke Rumah Sakit Jiwa tempat Tiffany dirawat. Ia pun segera melakukan penyamaran untuk menjadi salah satu perawat pria di rumah tersebut dan ketika sudah tiba di rumah sakit ia kemudian mencari tahu mengenai pasien yang bernama Tiffany, dan setelah menemukannya, ia kemudian mendatangi kamar pasien itu. Tidak sulit baginya untuk menemukan data dan ruangan pasien tersebut. Ketika ia memasuki kamar pasien tersebut, ia kemudian mencoba untuk menyapa sang pasien yang terlihat sedang memiringkan kepalanya dan memandang keluar jendela. "Sedang ngelamunin apa Ibu Tiffany?" tanya Nathan yang kini telah menjadi perawat palsu. Mendengar pertanyaan tersebut, pasien yang ditanya lalu memalingkan wajahnya untuk melihat perawat yang sedang mendatanginya. Seperti biasanya ia akan selalu ketakutan dan meronta – ronta serta berteriak histeris ketika ia melihat tamu pria yang datang melihatnya meskipun ia merupakan seorang perawat sekalipun. Segera Nathan menangkap dan mendiamkan pasien tersebut lalu ia membuka masker yang sedari tadi sudah menutupi setengah wajahnya. "Diam! Kamu liat wajahku! Apa kamu masih ingat siapa aku? Aku mewarisi sebagian wajahnya jadi harusnya kamu pasti kurang lebih mengingatku." Ujar Nathan. Tiffany yang merasa seperti mengenal lelaki tersebut lantas kembali ketakutan dan meronta – ronta. "Gerald! Ini gak mungkin! Pergi! Aku gak mau liat kamu lagi! Tolong!" Tiffany terlihat terus berusaha untuk mengusir sosok Gerald yang dilihatnya dari wajah Nathan, namun Nathan masih berusaha untuk menahannya. "Sudah waktunya kamu mati Tiffany. Gara – gara kamu, ayahku meninggalkanku dan ibu ketika aku masih kecil hingga aku mengalami kesengsaraan juga ibuku. Dan sekarang aku ingin kamu merasakan apa yang aku dan ibuku rasakan dulu. Terimalah ini!" Tanpa aba – aba apapun Nathan sudah terlebih dahulu menyuntikkan Pavulon melalui selang infus yang sedang terpasang pada lengan wanita itu, yang merupakan obat pelumpuh yang menghentikan nafas dengan melumpuhkan kerja diafragma paru – paru dalam kurun waktu 1-3menit.

Selang tidak berapa lama kemudian, Tiffany pun sudah tidak bergerak lagi. Nathan segera keluar dan melompat melalui jendela luar agar tidak ketahuan oleh siapapun. Ia segera melarikan diri ke kantor lalu akhirnya Nathan pun segera membakar seluruh pakaian perawat dan alat – alat yang digunakannya untuk menyuntikkan sang pasien agar bisa menghilangkan barang bukti di atas rooftop kantor. Selang beberapa jam kemudian, tiba – tiba Moniq mendapatkan berita darurat dari pihak rumah sakit yang mengabarkan bahwa Tiffany, ibunya sudah tiada karena overdosis. Begitu kagetnya Moniq karena kabar yang sama lagi – lagi berkumandang di telinganya. Meskipun ia tidak pernah mengenal ibunya dengan baik, namun sebagai anak satu – satunya ia tidak mungkin menelantarkan ibu kandungnya sendiri, apalagi ayahnya pun sudah tiada. Tidak ada lagi yang bisa mengurus ibunya selain dirinya, sebagai tanda bakti dan penghormatan terakhir terhadap seorang ibu kandung yang telah melahirkannya.

"Death is something painful, but something we should understand then let go."

- L. J. Literary Works -

linajapardycreators' thoughts