webnovel

Chapter 4: Pesan

"Halo."

"Oi, Dima!"

Tidak ada orang lain lagi yang memanggilnya sesemangat itu kalau bukan Edward. Dima bertanya-tanya kenapa Edward meneleponnya sore-sore.

"Ya. Ada apa, Ward?"

"Kau punya waktu?"

Masih menempelkan ponsel ke telinga kanan, Dima menengadah menatap jam dinding. Arah jarum jam pendek tepat menunjuk angka satu dengan jarum panjang berada di atas angka enam. Terlalu awal untuk beralasan sibuk.

"Kalau sedikit ada. Ada apa?"

Terdengar nada desah dari ujung sana. "Apa kau mau belajar makanya cuma punya sedikit waktu?"

"Tentu saja," sahut Dima polos. "Juga baca buku."

"Ok, ok," Edward berkata akhirnya, "Aku akan langsung ke intinya saja. Ayo kita jalan-jalan."

"Tapi Edward…"

"Oh, ayolah, Dima," keluh Edward sambil memukul jidatnya. "Kau sudah sering menolakku.

Sesekali kau harus ikut ajakanku, lagipula hari ini Sabtu. Jalan-jalan sebentar tidak ada salahnya kok."

Memang benar sih, kalau diingat Dima, dia sudah sering menolak ajakan Edward keluar pada hari Sabtu. Karena suasana harinya amat santai dan membaca buku sambil duduk terlentang menjadi pilihan paling utama. Namun bila ditolak lagi, pasti sahabat itu tetap akan memaksa. Bisa-bisa datang dan menyeretnya keluar. Hari Sabtu yang berharga, bagaimanapun harus dikorbankan.

"Baiklah. Kau menang, Edward," Dima menjawab pasrah. "Tapi cuma sore. Aku mau belajar malam nanti."

"Bagus!" seru Edward semangat. "Coba kau intip jendelamu."

Keheranan segera menghinggapi Dima. Apa maksud gerangannya? Dengan alis berkerut Dima melangkah lebar menghampiri jendela dan menggeser sedikit tirai sehingga pekarangan rumah terlihat jelas. Di pinggir jalan utama, tepat di samping kotak pos dekat pintu pagar, seorang laki-laki berjaket hitam sedang duduk santai. Menyandar sebuah motor besar berbodi tajam serta hitam. Tampak keren dan jantan. Laki-laki itu melambai ke arah Dima.

"Cepat turun! Kita touring!"

"Astaga, Edward. Kapan kau datang?" tanya Dima tak sangka.

"Sebelum kutelpon. Ayo cepat!"

Lalu Edward mematikan telepon. Dima hanya bisa geleng-geleng kepala, sahabatnya memang tak bisa diduga-duga. Setelah berganti pakaian, memakai tas selempang, dan memasukkan barang-barang ke dalamnya, Dima turun dari kamar menemui Bunda yang sedang duduk menonton televisi di ruang tamu.

"Bunda, aku mau keluar."

"Oh, Dima. Ke mana?" tanya Bunda pelan.

"Bersama Edward. Paling jalan-jalan keliling lalu makan."

Bunda tersenyum. "Jam berapa pulang, Nak?"

"Sebelum malam. Soalnya Edward pasti keluar lagi malam nanti."

"Kalau begitu hati-hati," pesan Bunda. "Dan ingatkan Edward jangan ngebut."

"Ok."

Tentu saja Bunda tidak menaruh curiga sama sekali. Sudah terlalu sering dia keluar bersama Edward, walau kadang-kadang Edward membawanya ke tempat-tempat yang tidak pantas dulu, seperti kasino atau bar. Tapi tidak pernah saat malam, jadi keadaan lebih aman. Walau hampir saja pernah tertangkap. Sejak itu Dima bersikeras melarang Edward membawanya ke tempat-tempat seperti itu lagi.

"Touring ke mana kita?" tanya Dima saat membuka pintu pagar.

Edward menjawab datar, "Ikut aku saja."

Jawaban Edward terdengar tidak bersemangat. Langsung saja Dima dapat menangkap sinyalnya.

"Edward, apa terjadi sesuatu?"

"Tidak, aku hanya ingin jalan-jalan saja," sahut Edward sambil tersenyum. "Ayo."

Dima tentu saja tidak yakin. Di sekolah tadi pun Edward bersikap diam dengan mata melotot. Kelihatan dipenuhi amarah dan lipatan-lipatan pada jidatnya bertumpuk-tumpuk. Sayangnya, Dima dipanggil oleh Pak Brontas perihal sesuatu jadi tidak sempat mengindahkan Edward.

"Kau sebaiknya utarakan setelah touring nanti." Mata sinis Dima mengancam Edward.

"Hahaha. Aku memang tidak bisa lari darimu."

Setelah mengenakan helem, Dima melompat ke bangku tinggi belakang motor Edward. Duduk sebaik mungkin agar seimbang, bila salah sedikit saja bisa-bisa terperosok menyentuh pantat pengendara depan. Dan itu bukan pemandangan indah untuk dilihat orang. Edward menghidupkan mesin, menaikkan pegangan gas motor beberapa kali sehingga mesin motor menggaung-gaung.

"Pegang yang erat, Dima," Edward memperingatkan, "aku akan ngebut."

Belum sempat membalas Edward sudah melajukan motor. Mendadak agak cepat sehingga Dima hampir terpelanting ke belakang, namun sebelah tangan panjangnya mampu meraih badan Edward dan membantu agar duduk stabil di tempat. Selebihnya dia duduk mengikuti badan Edward yang semakin menunduk ke depan bagai seorang pembalap. Melesat keluar dari komplek perumahan ke jalan besar.

Sungguh aneh. Biasanya Edward mengajak dirinya berbicara kala berkendara, kali ini dihiasi keheningan. Cuma menatap fokus ke depan sambil menarik gas motor dalam aksinya ngebut di jalanan dan berkelit menghindari satu motor ke motor lain atau satu mobil ke mobil lain. Meski melewati batas kecepatan, Dima menahan diri menegur Edward. Memang suasana hatinya sedang tidak baik.

Aksi ngebut selama satu jam itu terasa bertahun-tahun. Walau bising di jalan, tapi enak sekali bagaimana hormon adrenalin di dalam tubuh menjalari jantung yang berdebar-debar serta sensasi takut bercampur keberanian semu. Jika Dima bisa merasakannya, Edward apa lagi. Akan lebih terasa sebagai orang yang mengemudi motor. Mereka berkeliling sampai Edward berhenti di depan sebuah kafe.

"Kau harus cerita masalahmu, Edward," suruh Dima saat melepas helem.

Edward mengigit bibir. "Sejauh ini bisa kuatasi."

"Aku ragu setelah melihat dirimu begitu diam dalam melajukan motor."

"Baiklah," sahut Edward sambil mengangkat sebelah bahu. "Setidaknya touring tadi membuatku lebih lega. Kau juga kan?"

"Cukup menyenangkan," sahut Dima singkat.

"Kau ambil sebuah tempat untuk kita, biar aku yang pesan saja," usul Edward saat mendorong pintu kaca kafe tersebut.

Terlihat banyak sekali anak muda ketika Dima masuk. Kafe itu memang baru buka minggu lalu, Dima mendengarnya dari Edward, tapi tidak menyangka akan dikunjunginya secepat ini. Tentu saja mata-mata para anak gadis terpana melihat Edward. Sebagain tersenyum yang dibalas Edward dengan senyum juga. Dima memilih tempat duduk di ujung ruangan guna menghindari perhatian. Sebuah lampu kuning menerangi tempat duduk itu dari atas walau sekitarnya agak remang, membuat tempat itu cocok sebagai meja interogasi.

"Dua minuman cokelat." Edward meletakkan dua buah minuman berbau pekat kopi.

Dima mengangat alis samar. "Minuman cokelat atau kopi?"

"Kopi, cokelat itu cuma tambahan."

"Oh."

Edward melepas jaket serta mengesampingkannya sebelum duduk dengan napas panjang.

Ekspresinya datar dan terkesan suram.

"Ada apa, Ward?" tanya Dima ringan. "Katakan saja."

"Kau ingat gadis yang disukai ketua geng musuhku?"

Bagaimana Dima bisa lupa?

"Ya. Ada apa dengannya?"

"Salah seorang temannya tahu aku dari geng lain dan menjebakku," Edward menjelaskan pelan.

"Hampir saja aku dikeroyok kalau anggota gengku tidak membantuku."

Dima cuma bisa terdiam. Mau berkata tapi nanti dikira menghakimi.

"Tapi yang membuatku kesal, aku belum tahu tentang gadis itu sama sekali. Padahal tinggal sedikit lagi, tapi semua rencanaku gagal," lanjut Edward mulai geram. "Namanya saja aku tidak tahu, apalagi lainnya. Sial!"

Suara Edward mengundang beberapa mata. Mereka kembali ke aktivitas masing-masing setelah dipelototi Edward.

"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Dima, pura-pura tertarik.

Edward merentangkan tangan lalu bersandar pada kursi dengan santai. "Sementara istirahat dulu. Aku capek."

Dima hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Lebih baik mendengarkan saja. Malas sekali setiap membahas geng Edward.

"Ngomong-ngomong, Dima," celetuk Edward tiba-tiba. "Kau tidak mau tes pacaran?"

"Topik itu lagi." Dima memutar bola mata. "Kau sudah tahu aku tidak tertarik, Ward."

"Oh, ayolah," bujuk Edward, mengambil minuman dan menyeruput panjang. "Soalnya ada seorang gadis yang tertarik padamu."

"Aku tidak tertarik." Dima tersenyum.

"Begini." Edward bersedekap. "Gadis itu benar-benar cantik, baik, montok, dan tebak apa lagi?"

Dima menjawab malas, "Tinggi?"

"Sayang sekali. Dia lebih pendek darimu." Edward menurunkan nada suaranya. "Dia yang duluan mau mengejarmu. Jarang-jarang, loh."

"Aku tetap tidak tertarik, Edward," Dima menegaskan sekali lagi. "Aku punya misi yang lebih penting."

"Ya, ya. Aku tahu, mau jadi dokter, kan?" sela Edward malas. "Aku tahu, tapi ini kesempatan emas. Kau tak mau melewatkannya."

Dima menatap Edward lurus-lurus. "Aku atau kamu, Edward?"

Sejenak Edward berdeham. "Aku sih mau-mau saja. Namun gadis itu tertarik padamu, bukan padaku. Gimana dong?"

"Aku tidak tertarik."

Satu kalimat itu sudah diprediksi Edward akan didengarnya berulang kali dari Dima. Sebagai seorang sahabat, walau harus kasar, dia harus bisa membantu sahabatnya untuk setidaknya mencicipi sedikit masa muda. Apapun caranya. Terutama karena dia sudah berjanji pada orang terkait.

"Begini saja, Dima," Edward berkata tegas per kata. "Lebih baik kau mencoba sedikit dulu, baru nanti liat kelanjutannya. Bagaimana?"

Dima mulai mendesah. "Aku mulai berpikir kau mengajakku karena ingin membahas hal ini."

"Tentu saja tidak," bantah Edward, jelas-jelas berbohong untuk menjaga nama baik. "Aku cuma mau membantumu, Dima."

"Terserahmulah, Edward," Dima pasrah. "Kau pasti tetap akan memaksaku juga walau aku sudah berkelit. Dan juga entah melakukan apa agar aku berkata iya."

"Hahaha. Akhirnya kau mengerti diriku."

Dima cuma bisa menggeleng kepala. Berpikir mungkin bukan ide bagus membiarkan Edward bertindak sesuka hati.

***

"Bang Dima, di mana kaset Korea ku yang kutitipkan?!"

Terdengar suara Ratmi dari bawah. Padahal Dima baru saja konsentrasi belajar.

"Di jok motor, coba kau cek dulu!" seru Dima, sudah enggan turun makanya menjerit.

"Makasih, Bang!"

"Ada-ada saja anak itu," lontar Dima agak lelah. "Sebaiknya aku belajar dulu."

Setelah bersantai di kafe tadi, Edward mengajaknya lagi keluar. Mereka kembali touring dan mengunjungi sebuah pusat pembelanjaan. Sekitar dua jam mereka berkeliling yang diakhiri dengan bermain bowling. Ini pertama kalinya Dima bermain bowling sehingga gelagapan. Lemparan-lemparannya sering meleset dan menguras tenaga. Baru akhir-akhir dia sudah beradaptasi serta mencetak 3 kali strike. Menyenangkan tapi melelahkan.

Sebuah bunyi cuitan terdengar singkat. Dima memeriksa ponselnya, sebuah pesan masuk.

Hai

Pesan? Seingat Dima dia tidak memberikan nomornya pada sembarang orang. Ah, apakah mungkin ini gadis yang dimaksud Edward? Pasti kerjaan Edward.

Dima: Hai juga. Siapa kamu?

Gadis: Penggemar rahasiamu.

Cuma itu? Tidak ada kelanjutan apapun. Apa gadis itu pemalu?

Dima: Kau dapat nomorku dari mana?

Beberapa menit berlalu baru terdengar ciutan lain. Mungkin gadis itu menimbang-nimbang apakah harus memberitahunya kalau Edward yang memberikan nomornya.

Gadis: Dari temanmu. Katanya kau tidak keberatan.

Benar juga. Dima bilang terserah pada Edward karena sudah malas berdebat dengannya.

Dima: Baiklah. Tidak masalah, ada apa?

Mungkin terkesan dingin, tapi Dima sama sekali tidak tertarik pada gadis itu. Langsung ke inti saja.

Gadis: Kau sudah makan?

Dima: Sudah sedari tadi. Kau udah?

Gadis: Sudah

Balasan singkat lagi. Dima tidak mengerti kenapa gadis itu harus membalas singkat kalau dia memang tertarik padanya. Seharusnya para perempuan akan cerewet kalau bisa berkomunkasi dengan orang yang mereka sukai, berdasarkan banyak cerita yang didengar Dima.

Dima: Kau sedang ngapain?

Gadis: Duduk-duduk saja.

Balasan singkat lain. Kali ini Dima merenung sebentar, baiknya dia diamkan dan belajar saja. Toh dia tidak peduli di tempat awal. Pesan lain masuk setelah beberapa puluh menit. Dima kembali membaca dengan sedikit antusias.

Gadis: Kau sedang apa?

Dima: Belajar

Gadis: Malam minggu belajar?

Apa ada yang salah belajar di malam minggu? Seketika dahi Dima berkerut.

Dima: Ya. Ada yang mau kukejar

Gadis: Oh, ok. Kalau gitu belajar dulu saja, nanti kapan-kapan aku chat lagi

Dima: Ok

Dima sudah sempat menulis "Terima kasih untuk pengertiannya" tapi diurungkan dan diganti dengan "Ok". Takutnya malah membuat gadis misterius itu tidak nyaman, seakan-akan menganggunya belajar. Sekarang gadis itu sudah tidak menggirimnya pesan lagi, maka bebas sudah baginya untuk belajar. Dia memutar pelan alunan musik instrumental dan mulai mengerjakan soal-soal.

Next chapter