webnovel

Pria yang tak dikenal

Perlahan air mata Diana kembali tumpah, hatinya sesak membayangkan kenyataan yang akan terjadi dimasa depan untuknya dan Maira. Pernikahan Maira tinggal dua minggu lagi, apa yang akan terjadi dengan pernikahannya jika kebenaran ini terungkap?

"Dian…"Maira kembali memanggilnya

"Lihat..lihat dia.. masih tidak mau mengaku juga? Kamu berteman dengan Maira, tapi kamu tidak pernah mencontoh dirinya. Kalian ini, bagaikan langit dan bumi. Kapan kamu akan membuat ayah bangga?" Jaka masih meluapkan emosinya.

"Ayah juga kapan bisa membuat Dian bangga?" Sela Diana tak terima saat ayahnya membandingkan dirinya dan Maira.

Seenaknya ayahnya meminta peran anak yang baik untuknya, lalu kapan ayahnya menjadi ayah yang baik? Bukankah sifat kasarnya ada karena ayahnya yang mengajarinya? Diana membuang muka.

"Diana.. tidak apa-apa, kamu katakan saja padaku, aku akan selalu ada disini untuk mendukungmu.."Maira menggenggam lebih erat tangan Diana. Mencoba menengahi pertengkaran antara ayah dan anak itu.

Diana bagaikan tersengat listrik sampai ke hatinya mendengar kata-kata Maira yang mendukungnya, rasa bersalahnya semakin besar untuk sahabatnya itu.

"Aku.. aku tidak tau.."Diana menggeleng dengan putus asa.

"Tidak tau.. Apa maksudmu?" Jaka membentak.

"Aku benar-benar tidak tau siapa ayahnya, aku tidak mengenalnya.."Lirih suara Diana sambil menunduk dalam.

"Ataghfirullahal adzhim…"Maira berseru tak percaya "Kamu hamil oleh pria yang tidak kamu kenal?"

"Kamu.. benar-benar pembawa sial..!!"Maki Jaka sambil keluar dengan membanting pintu rumah.

Maira mengelus dadanya yang kaget karena sikap ayah Diana yang sangat kasar, jika bukan karena terpaksa dia tidak akan mengunjungi rumah Diana, karena Maira selalu tak nyaman dengan sikap kasar pria paruh baya itu.

Dengan lembut Maira menarik tubuh Diana yang bergetar kedalam pelukannya, dia menepuk bahu Diana pelan,

"Sabar Dian, ini ujian Allah untukmu.."Gumam Maira yang mendengar Diana mulai terisak.

'Tidak Maira, ini bukan ujian Tuhan, ini terjadi karena kebodohanku sendiri, ini adalah hukuman untukku, karena aku yang dibutakan oleh cinta dan nafsu dan menggoda tunanganmu..'Diana berucap dalam hatinya.

Dia menangis bukan karena sikap kasar ayahnya, tapi karena keberadaan Maira yang membuatnya dilema. Dia tidak tau harus bersikap bagaimana, di satu sisi dia ingin bayinya mendapat pengakuan dari ayahnya

Tapi disisi lain dia tidak ingin menyakiti Maira lagi. Satu-satunya sahabat yang selalu ada untuknya sejak dulu.

Hari mulai beranjak siang, Maira berusaha menghubungi Danny agar pria itu mau membelikan beberapa makanan dan mengantarnya ke rumah Diana.

Dia begitu khawatir dengan Diana yang belum makan apapun sejak pagi padahal dia tengah berbadan dua.

"Jangan merepotkan Kak Danny Maira, aku tidak apa-apa.."Sela Diana sedikit takut saat Maira meminta Danny membelikan keperluannya."Lagi pula Kak Danny sedang bekerja"

"Tidak apa-apa Dian, Kak Danny tidak akan keberatan dengan ini, bukankah selama ini kamu juga sudah sangat membantuku dan Kak Danny?" Ucap Maira lembut "Aku dan Kak Danny tidak akan pernah bisa membalas segala pengorbanan yang kamu lakukan untuk kami selama ini"

Diana tersenyum kecut mendengar ucapan Maira. Masihkah dia berpikir seperti itu jika dia mengetahui kenyataan yang sebenarnya?

Diana pamit untuk tidur kepada Maira begitu mendengar Danny sudah dijalan, dia tidak ingin bertemu pandang dengan pria itu, dia terlalu takut dengan reaksi yang akan di perlihatkan oleh pria itu padanya, membayangkannya saja sudah membuat perutnya mual.

Maira dengan telaten mengusapkan minyak kayu putih di beberapa bagian tubuh Diana agar mualnya bisa sedikit reda. Tak lama terdengar bunyi mesin mobil yang berhenti di depan rumah, pintu mobil yang tertutup cukup keras membuat jantung Diana serasa mau copot.

"Sebentar ya.. Kak Danny sudah datang.."Pamit Maira.

Danny masuk dan mengucapkan salam yang dijawab oleh Maira dengan nada riang. Jantung Diana berdebar antara rasa senang sekaligus takut. Dia senang karena akhirnya bisa melihat Danny, tapi juga takut padanya.

Maira mengambil belanjaan dari tangan Danny "Maaf ya Kak, udah ngerepotin" Maira menatap penuh rasa bersalah.

"Tidak apa-apa.. kebetulan kerjaanku juga tidak terlalu mendesak"Jawab Danny.

Maira membawa seporsi bubur ayam yang dipesannya dan membawanya kepada Diana "Dian, bangunlah. Kamu harus sarapan"Pinta Maira.

"Maaf Mai, aku masih merasa mual.."Tolak Diana lemah, kedatangan Danny makin membuat mualnya tambah parah. "Takutnya nanti aku muntah.."

Maira mengusap bahu Diana"Tapi kamu harus tetap makan, nanti kasihan bayimu kalau kamu tidak makan" Diana membisu "Dian.. bangun makanlah sedikit"

Diana perlahan berbalik dan mencoba untuk bangun, dia merasa sangat pusing, wajahnya pucat dan keringat mulai bermunculan di wajahnya.

"Dian.. kamu nggak papa kan?" Maira menatapnya khawatir.

"Nggak apa-apa" Diana menggeleng "Kalian pulanglah.. kerjaan kalian masih banyak untuk mempersiapkan hari pernikahan, jangan terlalu mengkhawatirkan aku.."

"Bagaimana bisa kami meninggalkan kamu dengan kondisi seperti ini?" Maira menyela tak senang "Ayo.. sebaiknya kamu kerumah sakit"Maira menarik lengan Diana.

"Tidak.. aku beneran tidak apa-apa" Diana masih bersikeras walau peluh mulai membanjiri wajahnya.

"Tidak, kamu tidak bisa membohongi aku.."Maira berjalan keluar dari kamar dan memanggil Danny yang sedang fokus dengan ponselnya.

"Kak.. kita harus membawa Diana ke rumah sakit, dia tidak sedang baik-baik saja"Maira mengucapkan dengan kekhawatiran yang tidak bisa dia sembunyikan.

Wajah Danny berubah "Dia kenapa?" Tanya Danny berusaha setenang mungkin.

"Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan kalau sudah dirumah sakit. Tapi sekarang Diana harus di bawa kerumah sakit dulu" Hati Danny kesal setengah mati dengan sandiwara yang sedang dilakukan Diana saat ini.

Tapi dia menahan dengusannya karena dia tidak ingin Maira menanyakannya. Bagaimanapun juga, Maira adalah wanita yang sangat peka, hal kecil yang bisa menjurus pada kejanggalan, dia akan mencurigainya.

"Bagaimana dengan mobilmu?"Tanya Danny karena baik dia dan Maira sama-sama datang dengan mengendarai mobil.

"Mobilku di sini saja dulu, nanti diambil lagi"

"Baiklah.. Jika keadaannya tidak terlalu serius, kita bisa langsung pulang hari ini kan?" Ujar Danny

"Entahlah.. aku tidak yakin jika dia baik-baik saja" Desah Maira

Tak berapa lama Maira masuk dan membantu Diana berganti pakaian sebelum memapahnya keluar menuju mobil yang dikendarai oleh Danny.

Danny yang sudah duduk di kursi kemudi, membiarkan saja Maira membantu Diana untuk masuk kedalam mobil. Tatapannya lurus kedepan dan baru melajukan mobilnya saat Maira sudah menutup pintu.

"Apa kamu masih merasa mual..?" Maira bertanya dengan khawatir

"Sudah tidak lagi.."Jawab Diana lemah, dia menutup matanya demi menghindari bersitatap dengan Danny

.

"Tapi kamu masih berkeringat dingin.."Sela Maira sambil menyeka keringat di dahi dan leher Diana. Ekspresinya begitu khawatir menambah gelombang rasa bersalah dihati Diana.

Tanpa sadar tatapan Danny yang lurus ke jalan raya beralih ke kaca spion dan melihat Diana yang bersandar di jok belakang sambil memejamkan matanya, wajahnya seputih kertas.

Danny merasakan tenggorokannya yang terasa sangat kering, dadanya berdebar antara panik dan kesal. Dia takut jika nanti Diana benar-benar hamil anaknya dan mengatakan kebenaran itu pada Maira.

Bagaimanapun dia tidak akan pernah membiarkan Diana menggagalkan pernikahan antara dirinya dan Maira, karena Maira adalah wanita yang dicintainya.

Tidak.. dia tidak akan pernah membiarkan itu terjadi..