webnovel

Patah Hati

"Kenapa kamu diam Rafa? Apakah ini jaket kamu?"

"Eh, iya, itu jaketku."

"Oh, kalau gitu aku pinjam dulu ya?"

"Iya, kamu pakek dulu tidak apa-apa."

"Terima kasih Rafa."

"Iya, sama-sama."

"Oh iya, aku antarkan kamu pulang mau?"

"Tidak perlu Rafa. Aku harus lanjut bekerja."

"Tidak perlu. Tadi aku sudah mengizinkan kamu sama pemilik tempat ini. Katanya malam ini tidak apa-apa jika kamu pulang lebih awal."

"Benarkah? Kamu bertemu dengannya tadi?" tanya Debi heboh. Yah, selama Debi bekerja di sini. Debi belum pernah bertemu dengan pemilik tempat ini yang terkenal sangat tampan.

"Iya, aku bertemu dengannya saat mengambilkan minum untuk kamu tadi."

"Oh, gitu ya! Kamu tahu, selama aku bekerja di sini, aku belum pernah bertemu dengan pemilik tempat ini. Katanya sih dia sangat tampan. Apakah itu benar?"

Rafa tersenyum dengan pertanyaan Debi barusan. Rafa sampai malu mendengarnya.

"Iya, dia memang sangat tampan. Kamu suka dengannya?"

"Tidak. Mana mungkin aku bisa suka dengannya. Orang ketemu saja aku belum pernah."

"Berarti kalau kamu sudah bertemu dengannya, kamu akan menyukainya?"

"Ya enggak gitu juga. Aku tuh tahu diri. Mana mungkin pemilik tempat ini suka sama aku yang hanya bekerja sebagai pelayannya."

"Siapa tahu tanpa kamu sadari. Pemilik tempat ini suka sama kamu."

"Aku gak suka berandai, tapi aku lebih suka kenyataan."

"Baiklah. Kalau gitu, kapan aku bisa antar kamu pulang?"

"Aku pulang sendiri saja Rafa."

"Apa kamu yakin mau pulang sendiri? Aku mengkhawatirkan kamu."

"Tidak apa-apa, aku bisa pulang sendiri kok."

"Yakin kamu mau pulang sendiri?"

"Iya Rafa. Aku pulang sendiri saja."

"Baiklah kalau kamu memang mau pulang sendiri."

Tap tap tap

Marko menghentikan langkahnya dan ikut bergabung bersama teman-temannya.

"Kamu dari mana?"

"Tidak dari mana-mana."

"Kamu tadi tahu tidak. Kalau ada pelayan tempat ini yang hampir menjadi korban pelecehan?" kata Bima heboh.

"Tidak. Aku tidak tahu."

"Ketinggalan berita kamu Marko. Pelayan itu sampai pingsan dan dibawa Om kamu ke ruangannya."

"Iya Marko. Dari yang aku lihat, sepertinya Om kamu suka sama pelayan itu," sahut Gilang.

Marko melihat Gilang. Mark memberikan tatapan tidak sukanya.

"He, ini muka kenapa lagi? Aku bicara yang sebenarnya. Tadi Om kamu kelihatan panik banget. Ini pertama kalinya aku melihat Om kamu sepanik itu sama seorang pelayan. Tidak mungkin kan dia seperti itu kalau dia gak suka?"

"Betul banget itu. Aku setuju dengan Gilang," sahut Bagas menambahi.

Marko semakin memberikan tatapan tak bersahabatnya. Pikiran Marko mengulang mengingat kejadian tadi. Apa yang Marko lihat. Seperti yang diucapkan teman-temannya.

"Apa mungkin yang dikatakan mereka benar ya?" bisiknya.

Cklek

"Debi."

Langkah Debi harus terhentikan saat mendengar namanya dipanggil. Debi membalikkan badannya dan melihat Renata berjalan mendekatinya.

"Apa yang dikatakan anak-anak benar tentang kamu Debi?"

"Memangnya apa yang dikatakan anak-anak Kak Renata?"

"Kalau kamu hampir menjadi......."

Renata menghentikan ucapannya. Rasanya Renata tidak tega jika harus melanjutkan ucapannya. Tatapannya saja terlihat sangat sendu.

"Iya Kak."

"Tapi kamu tidak apa-apa kan?"

"Iya, aku tidak apa-apa kok Kak."

"Kamu mau pulang?"

"Iya Kak, kata Rafa dia sudah mengizinkan aku sama pemilik tempat ini."

"Rafa? Rafa siapa?"

"Rafa teman kuliah aku Kak. Dia kenal sama pemilik tempat ini."

"Setahu aku, Pak Juna tidak punya teman dekat yang bernama Rafa deh. Apa mungkin Rafa yang kamu maksud itu Pak Juna?"

"Mana mungkin Kak Renata. Rafa tidak mungkin Pak Juna. Pak Juna kan sudah berumur, sementara Rafa itu masih muda."

"Tapi kata anak-anak tadi, kamu ditolong Pak Juna dan dibawa Pak Juna ke ruangannya."

"Tidak kok Kak, yang menolong aku bukan Pak Juna, tapi Rafa."

"Iya kah? Berarti anak-anak salah informasi dong?"

"Iya, mungkin Kak."

"Kalau gitu. Kapan-kapan aku kenalkan sama teman kamu yang bernama Rafa. Aku jadi penasaran sama dia."

"Iya Kak, kalau dia ke sini, aku akan mengenalkannya sama kamu."

"Oke. Aku tunggu."

"Ya sudah, aku pulang dulu ya Kak!"

"Iya, nanti hati-hati di jalan."

"Iya Kak."

Debi berjalan masuk ke dalam ruangan. Debi mengambil tasnya yang berada di dalam loker.

Langkah Debi berderap keluar dari dalam ruangan. Debi masih mengenakan jaket yang melekat di tubuhnya.

Setiap pijakan kaki Debi menuju pintu keluar. Saat itu Debi mendapatkan tatapan tak bersahabat dari rekan kerjanya. Tapi Debi tidak memperdulikan itu. Toh Debi juga sudah mendapatkan izin dari pemilik tempat ini.

Debi mengedarkan pandangannya di parkiran. Debi mencari tukang ojek yang sudah ia pesan lewat aplikasi tadi.

"Di mana tukang ojeknya ya? Katanya dia sudah sampai di sini?"

Deg

Debi terkejut. Pandangan Debi melihat seseorang yang juga melihatnya saat ini. Pandangan mereka bertemu, dan Debi kembali mengingat kejadian tadi.

"Marko ada di sini? Apa mungkin dia yang menolongku tadi ya? Aku tadi benar-benar melihat Marko memukuli laki-laki yang mau berbuat jahat kepadaku?" bisiknya.

Debi diam sembari melihat Marko yang juga masih diam sedari tadi. Entah apa yang ada di dalam pikiran Marko saat ini. Yang jelas Marko terus diam tanpa berucap.

"Kebangetan kamu Marko. Tega-teganya ninggalin kami," protes Bima yang berlari mengejar Marko.

"Iya, kamu tega banget Marko," sahut Bagas dan Gilang kompak.

Mereka mengehentikan langkah mereka. Saat itu mereka terkejut melihat Debi.

"Kamu ada di sini Debi?" tanya Gilang.

"Iya."

"Eh, ini kan jaketnya Marko. Kenapa bisa ada sama kamu?"

"Ini jaketnya Marko?" balas Debi memastikan. Yah, Debi terkejut dan juga penasaran saat mendengar ucapan Gilang barusan.

"Iya, itu jaketnya Marko."

"Apa kamu yakin kalau ini jaketnya Marko?"

"Iya, yakinlah. Orang tadi saat ke sini bareng Marko. Dia memakai jaket ini. Tapi sekarang kok bisa ada sama kamu ya?"

Debi melihat Marko. Debi mencoba mencari kebenaran dari ucapan Gilang barusan. Jika memang jaket ini milik Marko. Itu tandanya Rafa telah berbohong kepadanya.

Debi menunggu, namun Marko tak kunjung juga berucap. Marko semakin terlihat acuh, membuat Debi yang menunggu jawaban menjadi sedih.

"Apakah kamu menang benar-benar sudah melupakan aku, Marko? Segitunya kamu membenciku," bisiknya.

"Ayo kita pulang."

Marko melangkahkan kakinya mengabaikan Debi yang melihat kearahnya.

"Kami pulang dulu Debi."

"Iya."

Debi masih tersenyum. Meski hatinya sangat sakit mendapatkan perlakuan dari Marko. Debi membalikkan badannya. Punggung Marko semakin hilang saat dia masuk ke dalam mobil. Debi tidak mengalihkan pandangannya, dan terus melihat mobil Marko yang semakin jauh dari pandangannya.

Debi memegang dadanya. Rasanya di dalam sana ada yang sakit. Sangat sakit, sampai Debi merasa kesulitan untuk bernafas. Sekarang Debi sudah tidak lagi mengenali Marko. Padahal keadaan Debi sangat menyedihkan, tapi sedikitpun Marko tidak bersimpati kepadanya.

"Ya Tuhan, apakah ini yang dinamakan patah hati?"