"Bagaimana gampang, kan?"
Adalah pertanyaan yang paling menohok, yang paling ngawur, yang paling menyebalkan yang selalu di dengar oleh anak sekelas. Sasha yang mendengarnya saja, tidak tahu harus menjawab apa. Seluruh anak sekelas hanya tertawa kaku mendengarnya.
Dari dulu, Matteo adalah dosen yang aneh dan menyebalkan. Dulu ketika mereka baru masuk semester 2, dia langsung menghantam mahasiswanya dengan alogaritma dan logika sederhana. Tiga bulan sebelum naik ke semester 3, Matteo langsung mengajari cara membuat kalkulator sederhana. Padahal mahasiswa yang lainnya masih asyik belajar desain website.
"Ini untuk melatih kalian agar terbiasa memakai logika di otak kalian untuk berpikir kritis dalam pemecahan masalah," begitu katanya, "kita banyakin praktik yang modelan begini saja, biar meresap ilmu-ilmunya."
Lalu, ketika akhirnya masuk semester 3, kelas Sasha mendapatkan Matteo sebagai dosen coding mereka. Jika para mahasiswa di kelas lain sedang belajar membuat website profile, maka di kelas yang diajar oleh Matteo langsung diminta praktik untuk membuat program input dan menghitung tingkat lanjutan, semacam kalkulator tapi tingkat lanjutan, dan juga program to do list.
"Dari ilmu logika dasar ini, coba kalian membuat kalkulator advance," kata Matteo lagi.
"Huh????"
Bagaimana? Bingung, kan? Sama, kelasnya Sasha juga tidak kalah bingungnya. Belajar bareng Pak Matteo serasa tidak ada cantik-cantiknya, semuanya tentang logika, logika, dan logika.
Seluruh kelas hanya melongo mendengarnya. Mereka tidak berkutik saat Matteo memberikan tugas itu untuk kelas mereka. Setelah memberikan tugas itu, pria berkacamata itu langsung pamit pergi untuk menghadiri rapat dengan para dosen.
"Gila, aku ngang-ngong mulu dengan apa yang diajarkan Dosen Reid," keluh Yasmin dengan menempelkan pipinya pada mejanya.
"Berasa jadi meme kucing yang hah huh hah huh itu deh," gumam yang lain dengan meremas rambutnya, "tiap si bapak jelasin, ilmunya mental. Gak paham."
Sementara itu, Sasha, yang terkenal sebagai salah satu yang terpintar, tidak kalah ngang-ngongnya dengan Yasmin dan teman-teman kelasnya. Entahlah, dosennya yang satu itu mungkin menerangkan terlalu cepat atau bagaimana, Sasha sendiri juga tidak mengerti. Baru pertama kalinya dia sebodoh ini.
"Sasha, kamu paham dengan yang dijelaskan oleh Dosen Reid tadi?" tanya salah satu temannya.
Sasha menggelengkan kepalanya.
"Jiah, yang pintar saja tidak paham, apalagi aku yang juara 22 di kelas."
"Tugasnya digunakan sebagai nilai ujian tengah semester lagi," kata yang lainnya.
Mereka semua tahu, jika mereka sudah mendapatkan satu tugas begini, maka tidak akan ada kelas-kelas lagi dari Matteo sampai hari ujian tengah semester tiba, karena apa yang sudah diajarkan adalah final. Tinggal praktik pembuatan programnya saja.
"Iri deh sama kelas sebelah, mereka bisa belajar dengan ceria begitu," gumam Yasmin.
Sasha menghela nafasnya kesal. "Aku tidak mau lama-lama di kelas ini. Beli es teh manis yuk, Yas."
"Sha, habis ini kelasnya Dosen Ortiz, kan? Hubungi kami di grub kalau memang ada kelas ya," kata salah satu teman laki-laki Sasha sembari merapikan buku dan laptopnya.
Sasha, sebagai komunikator kelas untuk wali kelas dan Dosen Leah Ortiz, menganggukan kepalanya. Oh ya, siapa wali kelasnya Sasha? Betul, Pak Matteo yang barusan mengajar itu tuh.
"Kita-kita mau beli es kelapa di depan, ikut gak?" tawar yang lain.
"Skip dulu deh, mau es teh manis nih tiba-tiba," sahut Yasmin.
"Oke deh! Kabari ya!"
"Yoi!"
*
Di luar, setelah mendapatkan segelas jumbo berisi es teh manis, Yasmin dan Sasha duduk di halaman jurusan kampus. Mereka bersandar di bawah pohon sembari memandangi anak-anak jurusan lain lewat.
"Dari pagi ada mata kuliah Matematika, agak siangnya ada matkulnya Dosen Reid, sempurna sekali penderitaan kita ini," keluh Yasmin.
Sasha mengompres kepalanya dengan gelas teh yang dia beli. "Otakku terasa panas."
Tiba-tiba saja lewat segerombolan anak-anak dari jurusan lain, berpakaian mencolok, dan tertawa bersama. Nampaknya mereka baru saja keluar dari kelas, tapi sepertinya mereka tidak ada beban.
"Kenapa aku merasa seperti salah ambil jurusan ya, Sha?" tanya Yasmin heran, "lihat tuh anak-anak jurusan Akuntansi bisa kelihatan ceria gitu."
Sasha tersenyum. "Kau mau indah jurusan?"
"Rasanya sih mau deh. Aku tidak kuat belajar di jurusan Teknik Informatika, seriusan. Otakku tidak mampu untuk belajar matematika," sahut Yasmin lagi.
"Tapi, anak jurusan akuntansi yang kukenal, yang kebetulan tinggal di lantai satu apartemen tempatku tinggal, mengeluhkan betapa sulitnya matematika di jurusan Akuntansi," imbuh Sasha dengan menghela nafasnya.
"Hah? Di jurusan Akuntansi juga ada Matematika?"
"Seriusan, kemarin aku bantuin mereka mengerjakan satu soal pilihan ganda. Itu pun jawabannya juga tidak ketemu, hahahaha!"
"Aduduh, kau yang pintar sedari sekolah saja tidak menemukan jawabannya, bagaimana diriku yang hanya ranking dua setelah rankingmu."
"Yaahh, mau bagaimana lagi? Mau tidak mau harus kita kerjakan. Kurang lima semester lagi kita berkuliah," jawab Sasha dengan menghela nafasnya.
Lalu detik berikutnya, lewat lagi anak jurusan lain tengah bercanda santai di seberang sana. Keduanya saling bertukar pandang dan menghela nafas berat bersamaan.
*
Malam harinya, Sasha mencoba untuk mengerjakan tugasnya. Awalnya sih mudah ya, karena logika otaknya sudah bisa diajak kompromi, sebesar sepuluh persen lebih banyak dari sewaktu dijelaskan kemarin.
Tiba-tiba saja, ponselnya berdering. Saat Sasha mengecek rupanya itu adalah telepon dari kakaknya yang ada di kampung halaman sana.
"Halo, apa?"
"Dingin sekali jawabanmu," jawab sang kakak dari telepon sana.
"Sasha sedang mengerjakan tugas nih, Kak. Sulit banget, rasanya mau muntah," jawab Sasha dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sudah menyerahlah saja dan pindah ke San Chaco sini, berkuliahlah di kampusku dulu."
"Gila ya? Ini dulu kampus tempat Mama berkuliah tahu! Mama dulu anak teladan di kampus ini!"
"Tapi, Mama kan mengambil jurusan Sastra, bukannya Teknik Informatika, Dek."
"Big no! Pokoknya Sasha harus lulus di kampus tempat Mama berkuliah dulu, biar sama kayak Mama! Sasha tidak akan menyerah, pasti bisa!"
Terdengar kakaknya menghela nafas dari seberang sana.
"Memangnya kenapa, Kak? Apa dah malam-malam telepon begini?"
"Oh, aku cuman ingin memberitahu. Kartu hasil studimu semester kemarin sudah kuterima. Kau memang pintar, tapi kau agak bodoh di satu mata kuliah ya? Sayang banget, bagimana kalau kau berhenti dan balik pulang saja? Sayang sekali uangku kau hamburkan begitu."
Duarr!!
Mendengar hal itu, Sasha seketika membeku. Waduduh, dia lupa kalau kartu hasil studi di kampusnya juga dikirimkan via surat ke setiap orang tua mahasiswa. Biasanya sang kakak tidak punya waktu untuk mengecek hasil belajar adik-adiknya, tapi kali ini kok bisa-bisanya dia punya waktu luang untuk membuka surat itu.
Sebenarnya, kakak Sasha bukanlah tipe kakak yang keras dan menyebalkan. Hanya saja, setiap kali berbicara itu selalu nyelekit jika di dengar, padahal nadanya terdengar halus dan santai. Pokoknya langsung menusuk ke hati deh!
"Duh, sorry banget nih, Kak. Dosennya memang pelit nilai," jawab Sasha dengan menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
"Dosennya yang pelit nilai, atau kau yang memang tidak mampu?"
"Ih, Sasha mampu kok! Jangan samakan tugas Sasha dengan Sean ya! Beda!"
"Tidak ada yang menyamakan tugasmu dengan Sean. Kau berkuliah, sementara dia bergabung militer. Tugas dan tujuan kalian berbeda meskipun kalian kembar."
"Iya makanya. Kalau Sean masuk militer seperti Papa, berarti Sasha masuk kuliah seperti Mama. Biar kembaran gitu."
"Lalu bagaimana ini? Kau mau mendapat nilai jelek terus di mata kuliah itu? Mataku sakit melihat satu mata kuliah yang nilainya jelek begini. Coba kalau masuk di kampusku, kau pasti mendapat nilai sempurna seperti aku dulu."
"Yaah, mau bagaimana dong, Kak? Dosennya emang pelit dan sulit ditembus. Lagian nilai Sasha yang lain pada bagus tuh."
"Terus kamu sebagai mahasiswa mau menyalahkan dosennya? Sudah belajar keras belum? Sudah melampaui kapasitasmu belum?"
"Ya, ini Sasha masih berusaha, Kak. Galak banget deh."
"Ya sudahlah, teruslah berusaha. Pokoknya di semester ini kalau nilaimu membuat mataku sakit lagi, aku akan menyeretmu pulang ke sini!"
"Eh! Kok gitu?!"
Klik!
"Ya ampun, belum selesai mendebat sudah ditutup aja teleponnya. Dasar kakak Adam egois!" gerutu Sasha dengan melempar ponselnya ke arah ranjang.
Rasanya tenggorokannya haus sekali, Sasha meraih botol minumnya, tapi sial sekali sebab isinya kosong. Wanita muda itu mendengus dan berdiri dari kursinya. Ia kemudian berjalan ke arah dapur untuk mengisi botolnya yang kosong.
Setelah itu, Sasha meneguk airnya sembari berjalan ke arah meja nakas dekat televisi, mengambil teropong dan berjalan ke arah jendela. Dia mencoba mengintip Dosen Reid yang tinggal di apartemen di seberang sana.
"Astaga, dia lagi mainan alat itu lagi dong!" Sasha mengucapkannya dengan tertawa kecil.
Kegiatan apa yang dimaksud? Betul. Matteo sedang bermain dengan mainan seks kesukaannya, yang berbentuk setengah tubuh wanita dari pinggang turun ke paha. Sementara pria itu akan memakai virtual reality headset untuk menonton video porno. Kalian tahulah bagaimana cara memainkan mainan itu.
Ketika Sasha menganggapnya sebagai mainan seks kesukaan, itu karena dia tidak sekali dua kali mendapati dosennya tengah bermain dengan mainan itu sendiri. Biasanya sih, Matteo menutup gorden kamarnya, lalu bermain dalam kegelapan. Sekarang, dia lupa mematikan lampu tidurnya dan asyik bermain di kursi gamingnya sana.
Sasha tertawa kecil melihatnya. Baginya itu sangat lucu, karena dengan melihat hal itu, ia selalu disadarkan akan satu hal. Bahwa dosennya bukanlah dewa yang menyebalkan, tapi juga seorang manusia dewasa yang lucu.
Rambut hitamnya bergoyang saat dia memutuskan untuk berlari masuk ke dalam kamar, mengambil ponselnya. Dengan peralatan seadanya dan kekuatan kamera ponsel yang super dahsyat, Sasha merekam kegiatan tidak senonoh yang dilakukan oleh Matteo.
"Bagaimana kalau kita gunakan ini untuk kenang-kenangan?" kekeh Sasha dalam hatinya.
Setelah mengambil video itu, Sasha kemudian kembali menutup gorden kamarnya dan kembali ke kamarnya.
"Saatnya kembali mengejakan proyek," ujarnya dengan senang.
Ternyata melihat dosennya begitu adalah salah satu bentuk mood booster bagi Sasha. Ya ampun, dasar!
*
Matteo terengah-engah, dia telah mencapai orgasme yang telah tertahan selama tiga hari ini. Pria itu kemudian melepas VR headset miliknya, dia masih bisa merasakan kedutan pada rudalnya. Saat matanya mulai terfokuskan, pria bermata cokelat itu terkejut. Ternyata sedari tadi dia tidak menutup gordennya!
"Sial!" umpatnya sembari berdiri dari kursinya dan berlari menutup gorden.
Dadanya berdebar-debar, dia lalu mengintip ke luar, ia mengecek jendela-jendela yang ada di apartemen seberang sana. Semuanya gelap, tertutup oleh gorden, apakah ini berarti tidak ada yang melihatnya tadi? Jadi dia aman?
"Duh, bodoh sekali kau, Matteo! Gara-gara horny sampai lupa tutup gorden! Dasar bodoh!" umpat lagi dengan berlari melompat kecil menuju ke kamar mandi, dia harus membersihkan mainan dan tubuhnya, serta tak lupa membuang cairan kenikmatannya.
Setelah bersih, pria itu kemudian keluar dari kamar mandi dengan hanya tertutup handuk. Matteo berjalan ke arah meja kerjanya, lalu mengecek VR headset miliknya, mematikannya dan berjalan ke arah dapur untuk menikmati sekaleng bir.
"Sudah lama sekali aku tidak menonton video porno, rasanya aneh sekali," gumamnya sembari mengamati tangannya sendiri.
Dia mengatakan hal itu, karena sebelum-sebelumnya, Matteo menggunakan foto seseorang sebagai bahan imajinasinya. Oke, mungkin ini terdengar menjijikan dan tidak bermoral. Percayalah banyak pria yang seperti itu, mari kita berpikir realistis dan tidak auto heboh menanggapinya.
Matteo kemudian memakai baju, lalu berjalan ke meja kerjanya. Dia mengecek ke aplikasi game yang dikenal oleh banyak orang. Namanya Steam, para penyuka game pasti tahu nama ini. Ia lalu mengecek status online teman-temannya.
LangitBiru dan JagungManis sedang online, kecuali Iamyourduches5. Tumben sekali jam segini si Duchess tidak online.
"Si Duchess ini kalau dipikir-pikir sangat misterius ya. Semua foto profilnya hanya bergambar hewan kucing, bukannya gambar manusia atau karakter anime," gumam Matteo dengan menggosok-gosok dagunya, "mana jarang banget bisa ketemu main game barengan. Jadi penasaran dan ingin kenal lebih dekat."
Ada jeda selama beberapa menit sebelum akhirnya Matteo mulai mengetikan sesuatu, setelah itu menekan tombol enter pada keyboard.
"Duchess tumben offline jam segini. Main Apex kuy! Besok sama anak-anak."
-Bersambung ke Chapter 04-