webnovel

Ragu untuk Kuliah

Seorang gadis pelayan datang menghampiri dengan sebelah tangan memegang nampan. Senyumnya merekah manis. Dia mengambil dan menaruh pesanan ke atas meja.

"Terima kasih," kata Ajib sambil membalas senyum. "Akan kupanggil jika ada pesanan lain."

Pelayan itu hanya menunduk patuh, masih melontarkan senyum manis.

"Kau masih saja mempesona para gadis."

Pandangan Ajib teralih kepada pria di depannya. Pria itu memakai kacamata hitam dan berkaos putih ketat. Menampakkan lemak dan tubuh lebar, namun sedikit berotot. Sehingga mirip seorang pegulat.

Ajib mengangkat sebelah bahu. "Aku tidak melakukan apa-apa, Husin."

"Penampilanmu masih sama dengan waktu kau masih muda," terang Husin, menggeleng kepala. "Apa resepnya?"

"Makan makanan sehat, olahraga, cukup tidur, dan selalu tersenyum."

"Omong kosong." Husin tersenyum kecil. "Aku yakin kau melakukan lebih dari itu."

"Dan itulah sebabnya kau mau meminta nasihatku," Ajib menanggapi cepat. "Apa yang mengganggumu, kawan?"

Husin menarik napas kala memandang jendela di sampingnya. Ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu untuk diutarakan. Hatinya penuh kegundahan. Orang belum tentu mengerti bila mendengar, namun Ajib mungkin saja. Itulah kenapa dia mengajaknya bertemu tatap muka.

"Pernahkah kau ingin melakukan sesuatu, tetapi tidak yakin bisa melakukannya?" tanya Husin akhirnya.

"Tentu saja. Apalagi hal baru," jawab Ajib. "Kau juga, bukan?"

"Hanya saja, aku tidak tahu apakah setimpal dengan harga yang akan kubayar."

Alis Ajib terangkat samar. "Kau ingin melakukan apa?"

Husin menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil bersedekap. Ia menarik napas lalu berhembus pelan.

"Aku ingin kuliah jurusan kedokteran kembali." Husin menelan ludah. "Selama ini aku terus memikirkannya, tetapi aku tidak yakin."

"Sudah kuduga, kau memang masih suka dunia kedokteran," tebak Ajib. "Lalu apa yang kau takutkan?"

"Begini…" Husin menggigit bibir, "aku sudah berumur 38 tahun, sama sepertimu, dan akan butuh waktu 10 tahun untuk lulus kuliah serta buka praktek sendiri. Itu berarti umurku akan 48 tahun. Apalagi aku masih punya keluarga."

Kepala Ajib terangguk-angguk. "Bukankah penghasilanmu cukup memadai?"

"Ya. Ini hanya masalah waktu."

Sejenak Ajib terdiam seribu bahasa sambil menggosok dagu. Berusaha memikirkan alasan yang masuk diakal agar sahabatnya tetap lanjut kuliah kedokteran. Sudah sedari dulu Husin menunda. Walau sebenarnya dia memiliki potensi brilian.

"Ah," celetuk Ajib. "Apakah kau serius ingin belajar kedokteran, Husin?"

Husin menegakkan kepala. "Tentu saja."

"Kalau kau tidak kuliah kedokteran sekarang, umurmu pun tetap akan 48 tahun dan ironisnya kau tetap bukan seorang dokter," jelas Ajib singkat. "Jadi kenapa kau tidak kuliah saja? Jadi di umur 48 tahun, kau sudah seorang dokter."

Mata Husin seketika melebar. Seperti orang yang tiba-tiba mendapat hikmah dari langit. Ia merasa jawaban Ajib sangat tepat dan kena sasaran.

"Oh, kenapa aku tidak pernah terpikirkan hal itu," seru Husin senang. "Kenapa kau bisa sepandai itu, Ajib?"

"Karena aku memang pandai." Ajib membungsungkan dada. "Kau yang belum tahu saja."

"Omong kosong."

Tawa keduanya meledak. Menarik perhatian orang-orang yang duduk di sekitar mereka. Berkat pertemuan dengan Ajib, Husin langsung tersadar. Jika tidak diambil kesempatan kali ini, dia akan bernasib sama ke depan. Setelah merenungkan sesaat, dia membulatkan tekad dan kuliah kedokteran. Alhasil menjadi seorang dokter pada umur 48 tahun.

Keraguan menyebabkan penundaan yang berujung pada ketakutan untuk melakukan sesuatu. Berpikirlah logika, positif, dan minta bantuan jika diperlukan.

Next chapter