"Ini."
Barry menyodorkan sebuah sapu tangan bermotif garis-garis kepada gadis yang sedang duduk di depannya. Gadis itu memiliki wajah elok dengan potongan bob feminim. Matanya sipit dan berkulit pucat ala orang Asia tulen. Bila diperhatikan dari samping, gadis itu sungguh manis.
Sang gadis berkata sambil masih sedikit berlinang air mata, "Terima kasih, Barry."
"Sama-sama, Filina."
Tak disangka Barry akan menemui hal tidak diduga hari ini. Rencananya setelah pulang sekolah, dia akan ke ruang rekreasi untuk tidur siang sampai sore. Lebih baik tidur daripada bosan di rumah. Tetapi terdengar suara isak tangis sebelum sampai ke ruang rekreasi. Barry sempat berpikir jangan-jangan itu suara isak tangis seorang hantu. Penuh ketakutan, sekaligus penasaran, dia mencoba mengintip dan malah mendapati ketua osis sedang menangis.
"Jadi," Filina tersenyum menawan setelah menyeka air matanya, "apa yang membawamu kemari?"
"Awalnya aku ingin tidur siang. Lalu tiba-tiba terdengar isak tangis, kupikir hantu. Ternyata kamu."
Filina tertawa kecil. "Maaf. Aku hanya tahu ruangan ini saja yang kosong dari semua kegiatan klub."
"Sama," balas Barry. Lalu kembali melanjutkan dengan sedikit ragu, "Kenapa… kau menangis?"
Filina menatap Barry tajam. Sikap tegas dan penuh kecurigaan ciri khas sang ketua osis terpampang jelas. Buru-buru hati Barry menjadi kecut.
"Tidak apa-apa kalau kau tak mau cerita," Barry mengurungkan niatnya.
"Maaf, seharusnya aku tidak boleh bersikap kasar." Filina menghela napas. "Karena sikap dan wajah galakku inilah, teman-teman dan anggota osis lain tidak menyukaiku."
Mungkin perkataan Filina benar. Selama ini telah menyebar gosip bahwa Filina sangat ketat dan kejam dalam mengatur sesuatu. Harus beres. Guru-guru suka menyuruhnya, tetapi murid-murid menjauhinya. Bagi Barry sendiri, dia tidak peduli akan gosip itu. Karena tidak pernah berhubungan dengan Filina dan seringkali hanya memandang gadis serius itu dari jauh.
Barry mengangkat sebelah bahu. "Tetapi kerjaanmu beres, bukan?."
"Juga tambahan musuh serta ketidaksenangan."
Filina menunduk sejenak sambil mengigit bibir.
"Menurutmu apa yang harus kulakukan? Kau teman sekelasku dan lebih pintar bergaul dengan yang lain."
Mata Barry melebar. Gadis terkenal teladan, pintar, dan elok ini meminta nasihat dari dirinya yang seorang pemalas, pembolos, dan berandal.
"Aku bukan orang yang tepat."
Filine menoleh ke arah Barry. "Apa kau membenciku?"
"Tentu saja tidak," jawab Barry heran. Tidak mengerti kenapa Filina bertanya hal itu.
"Kalau begitu kau orang yang tepat," Filina menarik kesimpulan singkat. "Semua orang sudah menjauhiku. Selalu menghindar di mana aku berada, tetapi kau tidak."
"Err… itu."
"Itu apa?" tanya Filina tegas.
"Aku hanya tidak peduli saja."
Filina memutar bola mata. "Maksudmu kau tidak peduli padaku?"
Alis Barry terangkat langsung. Agak terkejut dengan sikap bawa perasaan yang dimiliki oleh Filina. Mungkin inilah maksud cerita teman-temannya bahwa perempuan itu suka main perasaan. Jadi harus hati-hati berbicara.
"Aku bukan tidak peduli padamu," jelas Barry, masih menatap paras menawan tapi galak Filina. "Hanya tidak peduli akan gosip-gosip tentangmu karena aku tahu kau gadis yang baik dan pekerja keras."
Sejenak tercipta keheningan yang terasa satu jam bagi Barry. Lawan bicaranya kini mulai menyipitkan mata sebelum sebuah senyum mendadak merekah.
"Terima kasih," ucap Filina dengan sepasang lesung pipi. Amat manis. "Kupikir orang-orang sudah kehilangan hati nurani mereka. Padahal aku sudah berbuat sebaik yang kubisa."
"Mungkin kau terlalu memaksakan dirimu."
Alis Filina terangkat samar. "Hm?"
"Seperti, terlalu serius dan ingin semuanya serba sempurna. Kau perlu agak santai."
"Apa yang kau tahu?" lontar Filina spontan. Sedetik kemudian dia mendadak merasa bersalah. "Maaf, aku seharusnya tidak berkata kasar. Kebiasan buruk."
Filina memukul jidatnya. "Aku yang meminta tolong, aku pula yang tidak mau terima. Apes sekali."
"Tenang saja. Aku sudah biasa dibegituin oleh ayahku dulu."
"Ayahmu?"
Barry menggeleng kepala. "Dulu ayahku parah. Sangat serius dan perfeksionis. Pokoknya ada yang salah, marah-marah besar. Kami semua anak-anaknya selalu menghindarinya, sampai…"
"Sampai?" tanya Filina ingin tahu.
"Ibuku minta cerai."
Tangan Filina menutup mulutnya. "Oh."
"Karena ayahku sudah keterlaluan. Sejak itu dia merubah diri dan santai."
Anggukan kepala Filina memberitahu Barry kalau gadis tersebut mengerti apa yang dikatakannya.
"Kau juga jangan berlebihan. Bawa santai saja sikapmu itu."
Kedua mata Filina mengarah ke atas, berpikir sejenak.
"Hei, Barry. Boleh aku bertemu ayahmu?"
"Hah?" Barry mengerutkan dahi. "Untuk apa?"
"Aku senang kau sudah mendengarkan keluh-kesahku." Filina menepuk bahu Barry. "Selanjutnya aku ingin tahu apa yang harus kulakukan dari arahan ayahmu."
"Ayahku sibuk," lontar Barry enggan, berusaha melarikan diri dari urusan merepotkan. "Aku jamin dia tidak mau."
Senyum Filina menyeringai. Barry tidak suka dengan apa yang ada di pikiran gadis tersebut.
"Kalau belum bertanya, kita tidak akan tahu. Atau kau lebih suka disetrap karena bolos klub Bahasa Inggris?" ancam Filina dengan nada pelan.
Keringat dingin membanjiri dahi Barry. "Apa aku punya pilihan lain?"
"Kau rasa?"
"Baiklah, baiklah," setuju Barry akhirnya. Pasrah. "Tapi kau harus membantuku mengerjakan tugas matematika."
"Aku tidak mau," tolak Filina langsung. "Itu pr kita masing-masing."
"Menarik." Barry mengangguk kepala beberapa kali. "Atau kau mau batal bertemu ayahku?"
"Itu…"
Filina tercengang. Barusan saja dia mengancam, kini diancam balik. Berani sekali Barry padanya, namun dia membutuhkan bantuannya. Kedua matanya melirik ke kiri dan kanan dalam gerakan cepat. Terlihat khawatir sekali.
"Kita sepakat atau tidak?" tanya Barry sok. Memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan.
Filina memandang sinis tapi sedikit tersenyum pada Barry. "Kau memang kurang ajar."
"Yang kurang ajar siapa, bilang orang lain kurang ajar."
Barry dan Filina sama-sama tertawa. Untunglah Filina sudah bisa ceria kembali, jarang-jarang dia bisa menjadi seorang gadis yang ingin curhat. Selanjutnya Filina bercerita panjang lebar tentang apa yang dialaminya lagi. Dan Barry mencoba fokus mendengarkan karena dalam pikirannya tergiang-giang protes akan rencana tidur siangnya yang sudah hancur lebur. Tidur siangnya yang amat berharga.
Terlalu serius membuat segalanya menjadi kaku. Santai saja dan nikmati hidup.