webnovel

Zannah

Kahfi menggeleng kan kepalanya, lama-lama dirinya pusing mendengar banyak jenis makanan bernama pentol yang tadi disebutkan oleh sang adik.

"Banyak banget, astaghfirullah."

* * * *

"Kamu pagi banget sih, Lip!" protes Kartika. Wanita itu memprotes kala melihat sang anak yang sudah siap untuk pergi bekerja.

Olive menoleh dengan mengangguk kan kepalanya. "Iya, Bu. Katanya memang jam segini masuknya, soalnya harus beresin kantor pagi-pagi sebelum dipakai orang kantor," ucap Olive.

"Kamu nggak lagi bohong, kan?" Kartika mengatakan itu dengan tatapan curiga. Olive menggeleng tegas.

"Nggak, Bu. Olive beneran, kalau ibu nggak percaya ayo ikut Olive, deh," ajak Olive, sejujurnya ada rasa malas yang ada di dalam benaknya. Malas karena terus saja dicurigai oleh ibunya sendiri, padahal memberi rasa percaya pada anak sangatlah penting untuk kesehatan mental mereka.

"Nggak, males. Ibu malu kalau punya anak hanya sebagai cleaning servis kantor," cibir Kartika. Olive menghela napasnya gusar.

"Tapi, Bu apapun itu yang penting halal, apa salahnya, kan?"

"Halah, sok suci banget pakai ngomong yang penting halal, dikasih uang segepok pasti udah mata duitan," ejek Kartika

Olive menggeleng kan kepalanya. "Nggak, Bu," sanggah Olive

"Udah! Sana kerja, cari uang yang banyak, kalau nggak kamu Ibu jodohin ke Pak Dodot!" pesan Kartika, dengan menyelipkan ancaman yang tidak main-main.

Olive sampai merinding sendiri kala mendengar ancaman tidak mengenakkan itu terus saja terucap dari bibir sang ibu. "Iya," sahut Olive.

Olive berjalan menyusuri jalanan, gang demi gang desanya dia lalui dengan wajah ceria. Seperti biasa Olive bertemu dengan anak-anak yang akan berangkat sekolah. Di sepanjang jalan Olive hanya dapat menatap mereka semua dengan tatapan iri.

Bagaimana tidak Olive merasa iri, Olive tidak henti-hentinya melihat anak-anak yang akan pergi sekolah dengan diantar dengan kedua orang tua mereka, ada pula yang diangar oleh ayah mereka, bahkan ada pula yang berangkat bersama dengan teman-teman mereka dengan diselingi candaan.

Olive tidak pernah merasakan hal itu rasanya, kapan dirinya merasakan kan bercanda dengan teman-teman, kasih sayang seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, diperhatikan, di mengerti perasaannya? Jika hari itu ada Olive ingin sekali cepat-cepat datang ke hari itu, sekalipun saat itu adalah sakaratul mautnya.

Tidak ingin tenggelam dalam rasa iri dengki yang sangat jelek, Olive memilih cepat cepat berjalan ke tempat kerjanya yang baru.

"Mbak itu kok jelek, ya?"

"Hust kamu nggak boleh ngomong gitu, nggak baik!"

"Tapi aku ngomong fakta, loh."

"Iya dia ngomong yang sebenarnya, kenapa kok nggak baik sih?"

"Iya tapi nggak boleh gitu, gimana nanti kalau kedengeran mbak itu? Kasihan loh."

Bisikan demi bisikan terdengar, Olive semakin sakit hati rasanya saat mendengar bisikan dari anak-anak sekolah dasar itu. Olive rasa anak-anak sekolah itu membicarakan dirinya, karena saat ini posisi mereka hanyalah keempat anak sekolah dasar itu dan Olive.

"Eh kayaknya mbaknya denger deh."

"Iya, itu mbaknya diem di tempat."

"Kamu sih! Aku kan sudah bilang jangan begitu, kasihan loh."

"Lari aja yuk!"

"Lariiii." Dengan serentak, keempat anak sekolah dasar tersebut melarikan diri kala tahu Olive menghentikan langkahnya.

Olive menghela nafasnya, tidak dirinya tidak marah. Apa yang dikatakan oleh anak-anak tadi ada benarnya, ya memang dirinya jelek, mau menolak, dan menyanggah bagaimana lagi?

* * * *

"Nak, hati-hati di jalannya, ya! Jangan ngawur kalau naik mobil," pesan Umma pada Kahfi, anak lelakinya akan berangkat kerja hari ini. Saat ini sudah pukul setengah enam pagi.

"Iya Umma," balas Kahfi patuh.

Zannah menuruni anak tangga, perempuan itu terlihat tengah bersiap-siap untuk berangkat sekolah.

Remaja perempuan itu saat ini sedang menduduki bangku sekolah menengah akhir, kelas dua belas.

"Zannah mau bawa bekal?" tawar Umma, ibu tiga anak ini sangat ribet dengan urusan anak-anaknya.

Ibrahim saja masih asyik minum kopi di teras rumah, dengan membaca koran. Sangat santai.

"Nggak perlu, Umma. Nanti Zannah beli sendiri di kantin," tolak Zannah halus.

"Kalian mau berangkat bareng?"

Zannah dan Kahfi saling bertukar pandang. Keduanya kompak menggelengkan kepalanya.

"Loh kenapa?"

"Kakak kalau naik mobil, lamaaaaaaaa."

"Zannah kalau sama aku gerutu terus." Keduanya menjawab pertanyaan sang Umma dengan serentak di waktu yang sama.

Umma terkekeh mendengar jawaban kedua anaknya. Lucu sekali mereka berdua ini batin Umma.

* * * *

"Zannah!"

Zannah menoleh ke arah sumber suara, terlihat disana ada seorang perempuan berhijab yang bergaya cekek, kalau ditanya perempuan itu akan menjawab trend.

"Iya, kenapa?"

"Nih, ada yang ngasih ini ke kamu," ujar perempuan itu menyodorkan sebuah kotak yang entah isinya apa pada Zannah. Zannah mengerutkan keningnya.

"Dari siapa?"

Temannya mengedikan bahunya acuh. "Aku nggak dibolehin ngasih tau identitasnya ke kamu."

Zannah mengangguk mengerti. "Ya udah, bilangin ya, terima kasih udah ngasih ini ke aku," pinta Zannah memberikan amanah kepada teman perempuannya yang sempat membantu memberikan kotak hadiah.

"Oke!"

Fatmah pergi berlalu, ya perempuan itu bernama Fatmah. Zannah memandangi kotak yang ada di tangannya, sembari tersenyum kecil.

"Dari siapa ya kira-kira?" Zannah mulai bermonolog pada dirinya sendiri, dengan posisi yang masih berjalan di koridor sekolah. Banyak sekali murid-murid lalu lalang, dengan aktivitas mereka masing-masing. Zannah memasuki kelasnya, dan duduk di bangkunya tanpa memperdulikan temannya yang berada di kelas.

"Cie dapet hadiah lagi, dari siapa tuh?" Pertanyaan itu mampu membuat Zannah sedikit terkejut, bukan terkejut apa melainkan remaja itu semula sedang merenung.

"Kamu ngagetin banget, ih!" decak Zannah memukul temannya pelan, temannya yang dipukul mengaduh, lebih tepatnya pura-pura mengaduh kesakitan.

"Sakit Zannah," tegur temannya. Zannah menoleh dengan memutar bola matanya malas.

"Alay deh, alay!" dengus Zannah.

"Zannah ngomongnya."

Zannah dan Ira menoleh bersamaan, disana terdapat seorang lelaki yang dikenal alim. Dengar-dengar lelaki itu pindahan dari pesantren, entah motif apa lelaki itu pindah.

Zannah mengangguk, dengan pelan. Ira tersenyum menggoda dengan kedua mata yang melirik lirik nakal ke arah Zannah. "Cie," bisik Ira.

Zannah menyenggol Ira pelan. "Sut! Jangan begitu!" tegur Zannah pada Ira.

* * * *

"He kamu, siapa namanya?" Olive menoleh mendapati seseorang yang bertanya nama padanya, Olive saat ini sedang mengepel lantai kantor yang terlihat bersih. Banyak sekali teman-temannya yang ikut melaksanakan tugas sebagai cleaning servis.

"Olive, Bu," balas Olive dengan ramah.

"Oh, oke. Tolong ya bersihkan lantai bawah meja saya, dari tadi saya cari pada lagi sibuk," pinta perempuan itu dengan ramah.

Olive mengangguk patuh, dirinya mengikuti arah langkah perempuan yang memintanya untuk membersihkan bagian bawah meja dia.

"Ini ya, tolong banget, soalnya kotor banget ini." Tibalah mereka di tempat perempuan itu bekerja, dan memang benar di sana sangat kotor.