webnovel

Kahfi

Lily tampak memandang ke arah depan, dengan satu tangan ia jadikan tumpuan di dagu, dengan tersenyum manis Lily berkata, "Aku nggak punya teman."

Olive menatap ke arah Lily dengan tatapan tidak percaya, dengan kerutan di dahi yang sangat ketara. Lily menoleh saat sama sekali tidak ada balasan dari sang ampuh, Lily terkekeh singkat.

"Kenapa? Kamu kok kayak kaget gitu," tanya Lily meminta penjelasan kepada Olive yang saat ini masih terkejut.

Olive menetralisir rasa terkejutnya, dirinya tidak percaya perihal Lily yang tidak memiliki teman. Hei, perempuan itu sangat cantik, manis, dan anggun. Bagaimana bisa Lily tidak mempunyai teman? Olive sampai tidak percaya itu.

"Aku nggak percaya aja, kamu cantik, kamu baik kenapa nggak punya teman?" balas Olive jujur.

Lily terkekeh kembali mendengar pertanyaan random dari Olive, menurutnya Olive ini sangat lucu. "Kamu kenapa lucu banget sih! Gemes tahu," gerutu Lily, Lily ingin mencubit kedua pipi Olive, tatapan Olive yang polos membuatnya gemas, ditambah dengan pertanyaan random yang belum pernah ia temukan selama dirinya hidup.

"Aku serius nanya," tukas Olive, dia rasa Lily menganggap pertanyaannya dengan candaan, seolah-olah pertanyaan yang dirinya lempar adalah sebuah pertanyaan lucu yang pantas untuk ditertawakan.

"Oke, maaf. Aku hanya merasa lucu dengan pertanyaan mu, jadi begini aku memang nggak punya teman, kalau kamu nanya kenapa kok bisa nggak punya teman karena kondisi fisik aku yang kamu bilang cantik, ya karena itulah aku dijauhi. Mereka jauhin aku karena fisik aku yang cantik, mereka jauhin aku juga karena takut tersaingi, kalah saing, takut cowok mereka diambil, dan lain sebagainya. Aku malah pengen kayak kamu, kamu cantik natural, cantik hatinya, cantik pikirannya," ungkap Lily panjang lebar.

Lily tidak bermain-main dengan ucapannya, apa yang dia katakan memang benar adanya. Sudah sangat lama Lily tidak mendapatkan teman, terakhir kali Lily mendapatkan teman ialah, saat dirinya duduk di bangku sekolah dasar, saat dirinya masih kelas enam.

Lily tidak ditemani, dan dijauhi dengan alasan dirinya yang cantik dan teman-teman takut Lily merebut kekasih mereka dengan kecantikannya. Dahulu sempat terjadi suatu kejadian, dimana teman-teman salah paham dengannya.

Jadi, dahulu terdapat seorang gadis marah besar karena kekasihnya mengirimkan pesan kepada Lily, dan gadis itu menyalahkan Lily, gadis itu berkata bahwa Lily merusak hubungannya, dan menyebarkan rumor palsu yang mencoreng nama baik Lily.

Padahal, Lily sama sekali tidak merespon pesan yang dikirimkan oleh kekasih gadis itu, dan memilih untuk memblokirnya. Tetapi tetap, Lily yang terkena batunya. Oleh sebab itulah ia dijauhi oleh teman-temannya hingga sekarang, nama 'perusak hubungan' sudah tersemat di dalam namanya. Ada saja orang iri.

Olive menggeleng kan kepalanya keras, dirinya tidak mengerti dengan jalan pikiran Lily yang dengan mudahnya mengklaim masalah hidup orang lain itu gampang, dan dengan percaya diri dia berkata dia ingin menjadi seperti orang tersebut, padahal dia belum mengetahui seluk beluk dari orang tersebut.

"Nggak boleh gitu, gak baik," tegur Olive lembut, Lily menoleh dengan bibir yang terdapat noda minuman.

"Maksudnya?" Merasa tidak paham akan apa yang dikatakan Olive, Lily memilih untuk bertanya.

Olive menghela napasnya. "Kamu nggak boleh menganggap remeh masalah seseorang, sampai kamu bilang 'aku malah pengen jadi kayak kamu' dengan alasan apapun. Tau kata-kata 'kamu memang nggak seberuntung orang lain, tapi orang lain juga belum tentu sekuat kamu' ? Dari kata-kata itu bisa kita simpulkan bahwa, kalau kita memang belum tentu sekuat itu untuk melawan masalah, melawan cobaan yang ditimpa di dalam kehidupannya. Kalau kamu liat dia kuat, berarti topeng, dan mentalnya kuat," jelas Olive panjang lebar.

Lily mendengarkan secara seksama, menelaah setiap kata yang diucapkan oleh Olive, tanpa terlewat satu pun. Dari sini dia mengerti letak kesalahannya. Lily salah dalam beropini, selama ini Lily berpikir bahwa masalahnya lah yang besar, dan berat. Masalah orang lain ia pandang remeh.

Lily mengangguk. "Okay, aku mengerti kesalahan ku, maafkan aku."

"Tidak perlu meminta maaf, cukup renungkan dan jangan pernah mengulanginya kembali. Jam istirahat sudah hampir habis, aku akan kembali. Mau ikut?" Olive berdiri dengan menepuk-nepuk area belakangnya dengan kedua tangan, membersihkan debu yang menempel dicelanya.

Lily mengangguk antusias, dirinya berdiri dan merangkul Olive. Mereka berdua berjalan ke gedung kantor dengan perasaan senang.

"Kamu belum jawab pertanyaan ku, nanti pulang kerja aku akan meminta jawabannya," kata Lily sebelum mereka berpisah karena ruangan mereka yang berbeda.

Olive tidak menanggapi ucapan Lily, tubuh mereka benar-benar menjauh, dan terlihat menghilang ditelan dengan tembok.

Olive tidak sengaja melihat bosnya yang tengah bersantai di ruangan khusus pekerja cleaning service. Jika kalian bertanya, siapakah bosnya? Jawabannya adalah, Kahfi.

Ya, Kahfi lah bosnya di perusahaan besar ini, cukup terkejut kala Olive mengetahui informasi penting ini. Pantas saja Olive dengan cepat diterima disini. Dalam hati, Olive mengucapkan beribu-ribu kata bersyukur kepada Tuhan.

"Nona." Panggilan itu mampu membuat Olive terkejut, Olive membuyarkan lamunannya dan menoleh ke arah sumber suara. Itu suara Kahfi, siapa lagi yang akan memanggilnya dengan sebutan 'nona' kalau bukan Kahfi?

"Iya, Pak?" Berbeda dengan Kahfi yang memanggil Olive dengan sebutan 'nona', Olive justru memanggil Kahfi dengan panggilan 'Pak'.

Kondisi muja Kahfi berubah kecut. "Kenapa harus 'Pak?' saya tidak setua itu," gerutu Kahfi kepada Olive.

Olive mengangguk samar. "Maaf, Pak– eh."

"Panggil saja, Mas Kahfi," perintah Kahfi langsung, Olive membelalakkan kedua matanya.

"M-mas?" ujarnya mengulang, Kahfi mengangguk kan kepalanya.

"Ya, betul. Panggil saya Mas Kahfi saja, dari pada Pak."

"Tetapi, bukannya di dalam kantor kita harus berbicara formal? Apakah panggilan Mas itu formal?" Bukan maksud Olive menentang, atau membantah perintah Kahfi. Tetapi agar Olive lebih paham apa yang dimaksud dengan formal.

"Sudah nggak tidak masalah, tolong panggil saya dengan sebutan Mas. Oke Nona?" Kahfi tetap kekeh dengan permintaannya.

Mau tidak mau Olive mengangguk, menuruti perintah dari bosnya. "Baik, m--mas."

Sejujurnya, Olive sedikit aneh kala menyebut kata 'mas' padahal menurutnya ini sangat biasa saja, dan sudah seperti makanan sehari-hari ketika di pulau Jawa, memanggil lelaki yang lebih tua, dengan sebutan mas. Tetapi mengapa saat panggilan itu tersemat di nama Kahfi, terasa berbeda? Ini sungguh aneh, dan luar binasa, maksudnya luar biasa.

"Bagus, oh iya tadi saya melihat ruangan sekretaris saya kotor, boleh tolong bersihkan? Saya akan meminta dua sampai tiga orang untuk membantu membersihkannya." titah Kahfi, Olive mengangguk kan kepalanya patuh.

"Baik, m-mas, saya akan bersihkan itu segera," jawab Olive segera berlalu.

"Sebentar!"