webnovel

Bab 2. Akibat Perjodohan

Dila merebahkan tubuhnya di ranjang sempit miliknya. Ia benar-benar lelah. Tenaganya terkuras habis hari ini. Memang, ia tak memikirkan makan malam untuk sekarang, karena ia telah dinner bersama Bos dan Rekan Bos nya.

"Clais, sayangku. Bunda Rindu kamu, Nak. Ini sudah malam. Dia tidur belum ya?" Dila berbicara sendiri.

Dengan sigap, Dila memencet nomor pada handphonenya. Ia menelepon Mbok Marni, seseorang yang telah ia anggap sebagai Ibunya sendiri.

~Clarissa, my pretty~

Tut.. tut..

Telepon tersambung. Tak lama, Buk Marni mengangkat teleponnya.

"Hallo, rahajeng wengi, gek Dila. Ngampura, Mbuk baru angkat teleponnya." Ucap Mbuk Marni dengan logat Balinya.

"Gak apa-apa, Mbuk. Apa Clais sampun sirep?" tanya Dila.

"Sampun, Gek. Tadi pukul 8 dia sirep. Mungkin dia lelah gek, dari tadi dia main saja kerjanya." Jawab Mbok Marni

"Baiklah kalau gitu, nggak apa-apa Mbuk. Kalau Dila dibolehkan sama Bos, minggu ini Dila bisa pulang. Tapi, Mbuk jangan dulu bicara pada Clais ya, Dila takut ada acara mendadak sehingga tak bisa izin cuti." Jelas Dila.

"Becik, gek. Mbuk karesep. Ini sampun wengi, Mbuk kayun mekolem dulu ya, besok pagi saja telepon lagi." Ucap Mbuk Marni.

"Inggih, Mbuk. Rahajeng wengi, rahajeng mekolem …."

"Mbuk juga ya, Mbuk,"

Telepon pun ditutup. Dila segera merebahkan tubuhnya. Ia harus istirahat, ia harus fresh menghadapi hari esok yang pastinya penuh tantangan dan penuh kejutan.

Selamat malam dunia, selamat tidur untukku. Ternyata, aku bisa hidup lebih baik lagi, aku bisa menjadi wanita yang baik. Aku kira, setelah kejadian buruk yang menimpaku, aku akan tak berguna lagi. Tetapi, Allah menyayangiku, Allah memberiku kesempatan agar aku bisa hidup lebih baik lagi. Semoga aku bisa kembali menemukan kebahagiaanku yang seutuhnya, meskipun aku sudah tak punya keluarga lagi. Kini, keluargaku adalah Clais dan Mbok Marni, yang selalu ada dalam suka dan duka hidupku. Terima kasih, atas kebahagiaan sederhana ini, ya Allah. Aku bersyukur. Ucap dila berbicara sendiri.

******

Keesokan harinya,

Kediaman Kaisar Gavindra.

Suasana sarapan kian mencekam, kala Papa Kaisar, Abhimana Gavindra, telah berbicara mengenai nasib percintaan kehidupan anak sulungnya. Keluarga Kaisar adalah keturunan Jawa-Bali, namun mereka bukan lahir di tanah Bali, mereka hanya memiliki leluhur asal Bali, dan meneruskan perusahaan kakek moyang nya di Bali.

Walaupun mereka tinggal di Bali, mereka tak bisa berbahasa Bali dengan benar, karena sejak kecil, Kaisar dan Keluarganya menetap di Australia. Setelah Kakek dan neneknya memindahkan kekuasaan perusahaan pada Papa Kaisar, mereka memutuskan menetap di Bali.

"Kenapa kalian terus membahas hal itu! Sudah kubilang, aku tak sudi. Aku sibuk, aku tak ada waktu untuk memikirkan seorang wanita." Jawab Kaisar.

"Kai, Mama tidak mau kamu tua dalam kesendirian. Kamu sudah 30 tahun, Kai. Apa kamu mau begini terus? Mama tak akan menjodohkan kamu dengan sembarang wanita. Dia wanita berkelas, dan cocok mendampingi kamu, Kaisar. Papa dan Mama telah bertemu keluarganya. Dia pengusaha asal Jakarta, yang mempunyai Resort dan Hotel di Denpasar. Anaknya juga seorang model cantik. Kamu harus bertemu dengannya, Kai. Mama gak mau tahu. Sore ini, kamu harus pulang tepat waktu." Tegas Mama Kaisar, yang bernama Ayu.

"Ma, Kaisar tak mau! Jika aku bilang tidak, berarti tidak!" Tegas Kaisar.

"KAISAR! Jangan pernah sekalipun kamu membentak Mama-mu! Dengarkan aku, kalau kamu masih ingin menjabat di perusahaan, temui wanita itu sore ini. Kamu tak boleh menghindar. Kamu tahu risikonya, bukan? Jika kamu menghindar, aku tak akan segan-segan, memberikan perusahaan kepada adikmu, Airlangga!" bentak Papa Kaisar.

Brengs*k! Sembarangan saja, susah payah aku mendirikan perusahaan ini hingga berkembang pesat seperti sekarang, namun apa yang terjadi jika aku menolak perjodohan ini? Adikku yang akan menggantikanku? TIDAK BISA! Aku harus menuruti keinginan mereka, agar perusahaan tak jatuh ke tangan Langga. Aku tak sudi. Batin Kaisar.

"Aku pergi." Kaisar meninggalkan kedua orang tua dan adiknya.

Kaisar pun berlalu tanpa menjawab lagi perkataan kedua orang tuanya.

"Pa, bagaimana ini? Kenapa Kai marah?" tanya Mama Ayu.

"Dia takut akan ancaman jabatan. Dia pasti akan datang sore ini, lihat saja nanti." Ucap Papa Abhi.

Kaisar segera memasuki mobil. Pak Satya, telah standby menunggu di dalam mobil. Mereka segera berangkat menuju perusahaan. Suasana hati Kaisar sedang kacau. Ia benar-benar marah pada keputusan kedua orang tuanya.

Sesampainya di perusahaan, seperti biasa, Dila menyambut kedatangannya dan menyapanya. Dila tersenyum padanya, namun Kaisar tak menoleh kearahnya sedikit pun. Dila heran, entah apa penyebab Kaisar seperti itu, pikirnya.

Sepertinya, Pak Kai sedang ada masalah, kalau seperti ini, aku pasti jadi sasaran kemarahannya. Aku harus bekerja dengan benar, aku tak boleh melakukan kesalahan apa pun hari ini. Semoga, dewi fortuna berpihak padaku. Batin Dila.

Dila membawakan teh dan kopi menuju ruangan sang presdir dingin tersebut. Seperti biasa, Dila menyimpannya di meja Kaisar. Dila tersenyum, dan membungkukkan badannya, lalu ia berbalik dan berniat akan kembali ke tempatnya.

"Tunggu!" Kaisar menahan Dila.

Astaga, apalagi ini, Batin Dila.

"Iya, Pak?" Dila berbalik.

"Sejak kapan aku mau meminum teh selain teh asli dari pucuk wangi? Sejak kapan aku mau meminum teh kemasan?" tanya Kaisar dengan nada marah.

Ya ampun, kenapa dia tahu bahwa teh ini bukan teh pucuk yang asli. Kenapa dia bisa se-detail ini. Duh, gawat! Batin Dila

Jantung Dila tak karuan. Ia rasanya mendapat masalah baru hari ini. Kaisar tak bisa ditebak apa maunya. Kaisar selalu bersifat sesuka hatinya. Dila selalu mencoba memahami Kaisar, walau sampai saat ini, Dila tak pernah tahu, kenapa sang presdir selalu saja bersifat seperti itu.

"Maaf, Pak. Teh asli kita persediaannya sudah habis. OB kita lupa membelinya, teh kemasan itu pun saya yang tadi pagi membeli di minimarket seberang. Karena, kalau teh pucuk asli, kita harus membelinya langsung dari produsen teh yang tempatnya cukup jauh dari sini, Pak." Jelas Dila.

"Kalau kamu tak bisa memberiku teh yang semestinya aku minum, kenapa kamu tak bertanya padaku, apa mauku? Kenapa kau bertindak sesuka hatimu? HAH?" bentak Kaisar.

"Maaf, Pak. Saya lupa, saya pikir Pak Kai tak akan marah, sekali lagi maafkan saya. Saya akan menggantinya. Baiklah, apa yang ingin Bapak minum selain teh ini? Biar saya buatkan sesuai keinginan hati Pak Kai. Maafkan saya, membuat suasana hati Bapak menjadi tidak nyaman." Dila terus meminta maaf.

"Kamu sudah lama bekerja di sini, tapi mengatasi hal seperti ini saja kamu tak becus, Dila! Kamu bisa kerja tidak? Kalau kamu tak bisa bekerja, biar aku carikan penggantimu, banyak kandidat sekretaris yang lebih baik dan profesional dari kamu!" Kaisar benar-benar emosi.

"Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya. Saya tak akan mengecewakan Bapak lagi. Jangan ganti saya, saya harus bekerja dan mendapatkan uang. Saya janji, saya akan bekerja lebih baik lagi, Pak." Dila tak ingin memperpanjang masalah.

"Pergi kamu!" bentak Kaisar lagi.

"Maaf, Pak. Biar saya ambil kembali teh nya, saya akan ganti. Apa yang Bapak inginkan sekarang?" tanya Dila baik-baik.

"Aku tak menginginkan apa pun. Tak usah diganti. Aku akan meminumnya. Kembali ke tempatmu!" Ucap Kaisar sedikit lembut.

"Baik, Pak. Permisi." Dila tak sadar, air mata di pelupuk matanya telah membendung dan ingin segera jatuh.

Apa? Ada apa denganku? Kenapa aku lemah sekali? Kenapa aku menangis? Biasanya, Pak Kai memang selalu marah-marah kan? Kenapa aku malah sedih? Tapi, kemarahannya kali ini, aku baru mendapati dia se-marah ini hanya karena secangkir teh. Ada apa denganmu, Pak? Batin Dila.

Dila telah keluar dari ruangan Kai. Kai terdiam. Pikirannya benar-benar berkecamuk karena perkataan kedua orang tuanya yang berkata bahwa ia akan segera dijodohkan. Kai sadar, setelah ia melihat bendungan air mata di pelupuk mata Dila.

Kenapa aku harus memarahinya? Kenapa aku begitu emosi dan kesal padanya? Kenapa aku harus berbicara yang menyakiti hatinya? Dila menangis? Baru kali ini, aku melihatnya berkaca-kaca. Apa aku terlalu kasar padanya? Aarrrrggghh, maafkan aku, Dila. Kalau bukan karena perjodohan ini, kamu tak akan terkena amarahku. Kaisar mulai sadar, saat ia merenung sendiri.