webnovel

Bab 12. Mulai Ada Hasrat

"Kamu sudah tenang kan, Dil?" Kaisar memberi minum dan mengusap-usap pundak Dila.

Dila hanya mengangguk,

"Maafkan aku, jika perkataan ku ada yang salah." Kaisar begitu hangat malam ini.

Dila memejamkan matanya, merasakan semilir angin pantai yang menerobos masuk kedalam tubuhnya. Berharap hati dan pikirannya mulai tenang kembali, melupakan setiap luka di masa lalu. Perih, memang perih. Tapi, semua sudah berlalu. Dila pun membuka matanya, ia menghela nafas berkali-kali, membuat dirinya rileks, dan nyaman.

"Maafkan saya, Pak. Saya hanya terlalu terbawa suasana. Maafkan saya, jika kelakuan saya membuat Bapak tak nyaman." Dila menunduk.

Kaisar masih berdiri sambil memegangi pundak Dila, "Dil, kamu itu terlihat seperti orang yang ketakutan. Aku bisa merasakannya dari ucapan dan gerik postur tubuhmu. Maafkan aku ya, sudah ... kita jalan-jalan disekitar pantai. Agar hatiku lebih tenang. Ayo, ikutlah bersamaku." Kaisar meminta Dila untuk ikut dengannya.

"Ah, i-iya, Pak ..."

Kaisar berjalan didepan, sedangkan Dila dibelakangnya. Dila tak berani berjalan mengimbangi Kaisar, apalagi berada di sampingnya dalam keadaan romantis seperti ini. Dila tahu diri, kapasitasnya disini sebagai apa. Tapi, tiba-tiba Kaisar berbalik, dan berjalan kearah Dila. Dila kaget, karena Kaisar seakan menjemput dirinya.

"Kenapa kamu berjalan di belakangku? Apa pantai ini seperti kantor bagimu?" tanya Kaisar yang kini berdiri tepat dihadapan Dila.

Dila menggigit bibir tipisnya, "Ah, maaf sekali, Pak. Saya terbiasa seperti ini. Bukankah Bapak juga selalu bilang, kalau saya harus selalu ada dibelakang Bapak?"

"Kamu selalu saja banyak alasan, Dil. Sudah kubilang, jika ini diluar kantor, kamu adalah temanku, bukan sekretarisku. Jadi, anggap aku Kaisar, bukan Presdirmu! Dan aku juga menganggap mu teman wanitaku, bukan sekretarisku!" Tegas Kaisar.

"Uhuk, uhuk ..." seketika Dila tersedak, ketika Kaisar berucap teman wanita.

"Kenapa?" tanya Kaisar.

"Emm, enggak kok, Pak. Tenggorokan saya gatel," Dila malu.

"Please, call me K A I S A R. Understand?" Kaisar mulai melotot.

"Ah, so sorry, Mr. Kaisar, I'm forget!" Dila sedikit tersenyum.

"Kaisar, Dil. Kaisar ..." Kaisar mencubit pipi Dila.

"Aww, sakit, Kai. Kamu beneran sih nyubitnya!" Dila cemberut.

"Nah, gitu dong. Kan enak, kamu gak usah formal gitu kalau kita diluar." Kaisar tersenyum.

"Iya, iya." Dila melebarkan senyumannya.

Kaisar menatap Dila dengan hangat, "Ayo, kita ke sana. Suasananya sangat indah, Dil. Gemerlap cahaya kapal laut, ditengah deburan ombak, sangat indah. Ayo kita ke sana!" Tangan Kaisar refleks menarik tangan Dila, hingga kini mereka berpegangan.

"Eh, Ka-Kai," Dila merasa tak nyaman.

"Udah, ayo!" Kaisar tak menyadari bahwa tangannya menggenggam tangan Dila.

Dila mau tak mau ikut bersama Kaisar, dengan tangan mereka yang saling menyatu. Entahlah, jika Kaisar bukan Bos nya, mungkin saja Dila enggan untuk berduaan seperti ini. Baginya, laki-laki adalah ham terbesar dalam hidupnya. Namun, Kaisar adalah pengecualian, karena Kaisar adalah orang yang memberinya kehidupan.

Kaisar dan Dila pun sampai di dermaga pantai. Mereka duduk berdampingan menikmati indahnya pantai dimalam hari. Deburan ombak yang menghempas karang,

"Dil ...."

"Iya, Kai?" Dila mencoba berbicara rileks,

"Kenapa ya, kalau aku berdua sama kamu, berapa jam lamanya pun, aku selalu nyaman, aku gak pernah ngerasa bosan kalo deket sama kamu. Tapi, sama wanita lain, atau sama supirku, rasanya gak betah. Sama Ailyn pun, aku ngerasa gak nyaman, beda kalau aku lagi bareng sama kamu, Dil." Ucap Kaisar.

"Uhuk, uhuk ..." lagi-lagi, Dila tersedak untuk yang kedua kalinya.

"Kenapa sih, kamu? Kamu udah dua kali tersedak lho!" Kaisar heran.

"Eng-enggak kok, Kai ... aku cuma kedinginan aja, ya mungkin karena kamu terbiasa dengan kehadiranku, karena kita sering bertemu juga setiap hari, jadi interaksi antara aku dan kamu, juga sebagai sekretaris mu, membuat kamu nyaman."

Kaisar menatap Dila tanpa berkedip, ia pun membuka jas nya. Tatapannya masih tetap tertuju pada Dila, meskipun ia sedang membuka jas nya. Tanpa Dila sadari, jas yang Kaisar buka, dipakaikan ke tubuh Dila. Kaisar menutupi bahu dan punggung Dila dengan jas nya. Ia membenarkan posisi jas nya yang kini menempel di bahu Dila. Dila kaget, ia tak menyangka Kaisar akan memakaikan jas ke bahunya.

"Ka-Kai, kenapa jas nya?" Dila gugup.

"Barusan kamu bilang, kamu kedinginan kan? Walau jas ku tak terlalu tebal, tapi setidaknya bisa membuat tubuhmu hangat. Apalagi, kamu hanya mengenakan kemeja saja," Kaisar tersenyum lembut.

Sssrrrhhhh, entah mengapa, jantung Dila berdegup semakin kencang atas perbuatan dan ucapan Kaisar. Ia merasa aneh, kenapa akhir-akhir ini, dekat dengan Kaisar membuatnya nyaman. Jantungnya selalu merespon ketika Kaisar melakukan perlakuan hangat padanya. Dila tak memungkiri, bahwa dirinya pun menerima semua perbuatan hangat yang dilakukan Kaisar.

"Tapi, kamu pasti kedinginan, Kai ...."

"Aku gak apa-apa, yang penting kamu gak kedinginan, Dil." Kaisar tersenyum.

Dila menyentuh kerah jas Kaisar, tanpa sadar, ia melebarkan senyumannya, karena kehangatan jas Kaisar yang menempel ditubuhnya.

"Hangat?" tanya Kaisar membuyarkan lamunan Dila.

"Ah? Mmh, i-iya, Kai ... hangat sekali. Terima kasih," Dila gugup.

Jas ku saja membuat tubuhmu hangat, Dil. Apalagi tubuhku, lebih hangat dari jas itu!" Kaisar menggoda Dila.

Lagi-lagi, Dila tersedak untuk ketiga kalinya, "Uhuk, uhuk ...."

"Kenapa sih, kamu tersedak terus, Dil? Memangnya apa yang salah dengan ucapan ku?" Kaisar menahan tawa.

"Enggak kok, udah lupain aja. Ini udah hampir jam delapan malam loh, apa kamu gak berniat untuk pulang?" tanya Dila.

"Aku masih nyaman disini," jawab Kaisar.

"Ya sudah, kalau gitu aku pulang duluan aja ya? Boleh gak?" pinta Dila.

"Aku masih nyaman disini karena ada kamu. Kalau kamu pulang, ya tempat ini jadi enggak nyaman lagi, Dil. Tunggu sebentar lagi, aku masih ingin disini." Ucap Kai menahan Dila.

"Ah, iya ... baiklah, Kai." Dila tersenyum.

Mereka berdua masih duduk diujung dermaga, sambil menatap laut lepas dan ombak yang berhembus. Suasana dingin berubah, karena Dila dan Kaisar merasa hangat dan nyaman. Dila tahu, ini salah. Hal ini tak boleh terjadi. Sesak dadanya jika teringat masa lalu nya yang begitu menyedihkan. Sebaik apapun Kaisar padanya, ia tak akan mau pada wanita yang sudah di jamah oleh laki-laki lain, apalagi Dila juga sudah mempunyai anak.

"Dila, apa hubungan kita akan tetap seperti ini?" tanya Kaisar.

"Maksudnya?" Dila mengernyitkan dahinya.

"Apa hubungan kita akan tetap menjadi antara sekretaris dan Bosnya saja?" tanya Kaisar.

"Tentu saja, Kai. Memang begitu kenyataannya, bukan?" jawab Dila.

"Apa tak ada rasa lebih dari dirimu untukku? Kenapa aku merasa, bahwa kau juga seorang wanita untukku, bukan hanya sekretarisku saja," ujar Kaisar.

Dila tak mengerti dengan ucapan Kaisar yang berbelit-belit,

"Maksudnya gimana sih, Kai?" Dila tak mengarah pada hal percintaan, makanya ia tak mengerti.

Kaisar berbalik kearah Dila, ia memegang bahu Dila, "Aku Bos mu, dan kamu sekretarisku. Aku pria, dan kamu wanita. Aku dan kamu sama-sama tak bisa menjalin hubungan pribadi, karena kita selalu sibuk. Aku hanya bisa bersama satu wanita setiap harinya, yaitu kamu. Hal itu juga berlaku untukmu. Kamu wanita, dan kamu juga tak ada kesempatan untuk menjalin kehidupan pribadimu, bukan begitu?" Kaisar tersenyum.

"I-iya, lalu? Memang tugasku untuk mengerjakan semua apa yang kamu perintahkan, bukan?" Dila mencoba mengartikan.

"Iya, tapi aku merasa tak ada lagi wanita lain yang sempurna, yang bisa mendampingiku, selain kamu Dila ..." Kaisar memberanikan diri,

"Hahahah, tentu saja, karena mereka tak akan tahan dengan sikapmu, hanya aku yang memahami dirimu, wahai Bapak Presdir Kaisar Gavindra." Dila terkekeh, ia tak menanggapi serius ucapan Kaisar.

"Aku serius, Dil. Aku hanya nyaman denganmu. Tak ada wanita yang bisa membuatku nyaman seperti ini selain kamu. Bukan masalah pekerjaan, bukan hubungan antara presdir dan sekretarisnya, tapi hubungan antara kamu dan aku, sebagai pria dan wanita. Aku nyaman karena kamu wanita yang disisiku, bukan sebagai sekretarisku. Apa kamu bisa merasakan hal yang sama, Dila? Apa kamu bisa menganggap aku pria? Bisakah kamu melihat sisi dari diriku bukan sebagai Bos mu?" tanya Kaisar penuh harap.

Ya Tuhan ... ucapannya benar-benar memacu jantungku. Kenapa dia jadi seperti ini padaku? Sekalipun aku tertarik dengannya, aku tak boleh memberikan harapan. Jika dia tahu diriku yang sebenarnya, apakah dia masih bisa berkata nyaman denganku? Batin Dila ....

"Pak lupakan, jangan bahas masalah pribadi." Dila mencoba mengalihkan.

"Sekarang, kamu adalah bagian dari kehidupan pribadiku, Dil ...."

"Pak, hentikan." Dila menunduk.

"Dil ... hati ini yang sulit memahami perasaanku, maafkan aku." Kaisar mengerti bahwa Dila begitu tak nyaman.

"Kumohon, jangan ucapkan kata-kata seperti ini lagi," Dila menunduk dan menutup wajahnya.

"Ada apa denganmu, Dila? Cerita padaku, apa yang membuatmu begitu menutup dirimu?"

"Tak ada, lupakan saja. Mari kita pulang, Pak. Ini sudah malam, kalau Pak Kais tak mau pulang sekarang, bisa saya pulang sendiri." Dila bangkit dari duduknya, dan berjalan menghindari Kaisar.

"Dila, tunggu! Ada denganmu sebenarnya? Hei, tunggu!"