webnovel

Menjenguk

"Oh tuhan, siapa yang berani melakukan ini pada anakmu?" Farah bertanya.

"Katanya, murid baru, dan dia juga perempuan," jawab Acih.

"Apa perempuan?Aku yakin tidak ada satu pun, lelaki yang akan menyukainya," timpal Ria, ibu dari Rahmat.

"Begitu keterlaluan! Aku tidak akan membiarkan siapa pun, yang melukai anakku bisa bebas berkeliaran begitu saja, keluarganya pun, akan kubenci," geram Acih. Sukma yang baru saja datang, langsung menanyakan kondisi Rika. "Dia belum sadar?"

Adam kembali ke kelas. Ia amat marah saat melihat kursinya diduduki oleh Khaira. Dan berkata, "Apa hakmu untuk duduk di sini."

"Aku pikir ini kosong," jelas Khaira.

"Duduklah bersamaku!" ajak Wina pada Adam. kebetulan kursi di sebelah Wina yang ditempati oleh Rika itu kosong.

"Kau saja yang pindah ke sana." Adam menyuruh Khaira untuk duduk berdekatan dengan Wina. Khaira menggeleng, dia juga beralasan, "Aku tidak ingin duduk di samping seorang perunding."

Wina yang mendengar keluhan dari Khaira membalasnya, "Kamu pikir aku ingin duduk di sampingmu?"

"Duduklah di samping Wina!" Rahmat menyuruh teman sebungkunya itu untuk membiarkan Khaira tetap di sampingnya.

"Duduk denganku!" ajak Helen, pada Adam. Helen menepuk kursi kosong di sampingnya. Siswi yang menolak Khaira saat Khaira akan duduk di sampingnya. Khaira yang melihat itu hanya bisa berkata dengan lirih, "Dasar orang-orang sinting."

Adam berakhir di tempat olahraga. Dia memantulkan bola basket. Sedangkan, Rahmat mengajak Khaira berkeliling sekolah. Untuk melihat fasilitas lengkap yang mewah. Khaira pergi ke toilet wanita.

"Toilet ini lebih mewah dari yang ada di rumah, " batin Khaira. Di depan cermin di melihat Tami. Khaira menanyakan sesuatu, "Apa tidak ada yang ingin kamu ucapkan kepadaku?"

"Kamu berharap aku akan mengatakan terima kasih?" Tami memperjelas maksud dari ucapan Khaira.

"Aku tidak tahu mengapa kamu begitu menyembunyikan tentang perundungan yang dilakukan oleh orang lain terhadapmu, apa lagi kamu tidak melawan tindakan mereka, jika kamu hidup seperti itu terus, kamu tidak akan pernah dihargai oleh siapapun." Khaira memberikan Tami nasihat.

"Aku tidak butuh kata-kata mutiaramu itu," sinis Tami.

Khaira yang sudah muak dengan perlakuan Tami padanya, tidak akan peduli lagi pada Tami apa pun yang akan terjadi padanya.

"Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan pernah menolong kamu lagi," ujar Khaira melontarkan kata-katanya pada siswi bertubuh gempal itu.

"Aku tidak mengharapkan bantuanmu," Khaira yang amat kesal dengan ucapan Tami, langsung membanting pintu toilet.

"Siapa sih orang yang tadi kubantu. Namun, tidak tahu diri," omel Khaira. Rahmat yang mendengar itu langsung mengusir rasa penasaran Khaira, "Namanya Tami, dia tidak memiliki satu pun teman,"

Khaira terkejut oleh tingkah Rahmat yang begitu datang dengan tiba-tiba di belakangnya.

"Kamu mengejutkanku," Khaira memegang dadanya. rahmat yang melihat Khaira terkejut olehnya, langsung mengambil dan memberikan Khaira air minum, "Ini minum dulu. Maaf aku telah mengejutkanmu,"

"Lihatlah itu! Sepertinya si Rahmat langsung tersihir oleh anak baru itu," obrol oara murid perempuan.

"Kamu cemburu kan? Aku dengar kamu menyukainya," timpal yang lain.

"Mana mungkin aku menyukainya. Aku kehilangan akal jika itu terjadi." Para siswi itu melangkah pergi dari kantin. Wina yang mendengar percakapan para gadis, ingin memanfaatkan Virly, anak perempuan yang disebut menyukai Rahmat. Sebaik apa pun Virly menyembunyikan perasaannya, tapi tingkah lakunya yang selalu gugup di depan Rahmat tidak bisa ia sembunyikan. Dan Wina memahami situasi itu.

"Terima kasih," tami memberikan cokelat sebagai ungkapan terima kasihnya pada Anto. Ia memberikannya dengan malu.

"Aku tidak bisa menerima cokelat dari orang lain, nanti kekasihku marah." Anto menolak cokelat pemberian dari Tami. Para murid terkejut, melihat itu.

"Mengapa dia begitu berani? Dia tidak tahu siapa kekasih Anto?" obrolan antar murid itu membuat suasana kantin menjadi ramai. Tami dikelilingi oleh para murid.

"Aku ingin lihat apa yang akan Wina lakukan." Murid lain berasumsi bahwa Wina akan melakukan hal kejam lagi pada Tami.

"Lalu, mengapa kamu membelaku?" tanya Tami pada Anto. Dari keramaian banyak orang, Wina menyelinap ke dalamnya. Ia berkata, "Aku yang menyuruhnya."

Tami masih bergeming. Ia bingung pada situasi ini. Wina mempermalukannya dengan berkata, "Perasaanmu begitu mudah ditebak, kamu akan langsung menyukai pria yang menolongmu bukan? Aku melakukan itu, untuk menjatuhkan harapanmu."

"Kamu pasti berpikir bahwa aku menyukaimu," tebak Anto. Wina melanjutkan kata-kata tajamnya,

"Pikiranmu pasti penuh dengan bayang-bayangnya, Jangan pernah berpikir bahwa kamu bisa memiliki kekasihku! Dan berhentilah menyukainya!"

"Kita menyadarkan kamu dari kenyataan, bahwa tidak ada satu pria pun, yang akan menyukaimu." Anto menarik lengan Wina dan menciumnya. Wina dan Anto berciuman di depan banyak orang. Rasa malu mereka seakan telah hilang. Tami pun pergi dengan rasa sakit yang menyesakkan dadanya. Khaira dan Rahmat melihat Tami keluar dari kerumunan. Khaira melihat Tami menangis, diikuti dengan tawa para siswa dan siswi.

"Kamu tidak ingin membantunya?" Rahmat bertanya pada Khaira, setelah Khaira terus melihat ke belakang.

"Dia tidak ingin aku bantu, jadi aku tidak bisa menolongnya lagi," jelas Khaira. Tami merasa hatinya dihancurkan oleh banyak orang. Selain dia tidak mempunyai siapa pun yang dia percaya. Sekarang, dia juga diejek oleh seluruh murid.

Bulir bening terus berdesak ke luar, terasa asin ketika terus mengalir di pipi. Tami berencana untuk mengakhiri kehidupannya yang menyedihkan. Ia merasa sangat bodoh, karena apa yang dikatakan Wina dan Anto itu adalah kebenaran. Ia langsung jatuh cinta sedetik setelah Anto membelanya.

"Jangan berharap bisa memiliki kekasihku!" kata-kata dari Wina itu, terus terbayang-bayang dalam benaknya. Suara tawa para murid yang menertawakannya pun, masih begitu menggema di telinga Tami. Tami teringat akan ucapan Khaira, juga saat Khaira membela dirinya.

"Berani-beraninya dia menyukai Anto," gunjing para siswi. Khaira yang amat penasaran, langsung memberanikan diri untuk bertanya. "Apa yang sedang terjadi?"

"Si Tami, dia menyukai Anto, apa dia tidak tahu, bahwa Anto adalah kekasih dari wanita yang sangat membencinya, dia malah memberikan Anto sebuah cokelat," celoteh Rifa menjelaskan.

"Lalu apa lagi yang terjadi?" Khaira yang masih peduli pada Tami bertanya lebih dalam lagi.

"Lalu Wina datang, dan memberitahu Tami, bahwa Anto adalah kekasihnya."

"Mereka berciuman dihadapan Tami dan seluruh murid," sambung yang lain.

"Berciuman? Bukan cuman akal sehatnya saja yang hilang. Namun, rasa malunya pun sudah punah," gerutu Khaira.

"Kepala sekolah dan para murid di sini begitu aneh, dan sudah kehilangan kewarasan," batin Khaira. Ia tidak sadar, bahwa dia juga adalah murid di sekolah A Christal School.

"Du duu du." Pak Gunawan sedang bersenandung di ruangannya. Dering telepon menyudahi lagu yang ia nyanyikan.

"Kamu telah menghukumnya kan?" tegas Buk Acih memastikan hukuman yang akan Khaira terima.

"Belum." Begitu santai Pak Gunawan menjawab. Membuat Buk Acih menjadi emosi. Dan mengancam Pak Gunawan, " Aku akan membawa pengacara ke sekolahmu!"

"Tunggu, Buk, Buk Acih," Pak Gunawan menghela napas cepat, ia amat geram dengan kejadian ini. Dan memanggil Khaira untuk datang ke ruangannya.

Tami yang tidak tahu lagi harus bagaimana menahan rasa malu, berniat meminum obat dengan dosis yang banyak. Seseorang menendang botol obat yang Tami sentuh. Sehingga, obat itu berhamburan ke luar.

"Kenapa kamu menendangnya," Tami mengambil pil obat yang terjatuh.

"Jangan mati di sini!" ungkap siswa yang tidak ingin diganggu. Ia cukup jengkel dengan tangisan Tami. Tami masih menangis. Siswa itu pergi meninggalkan Tami seorang diri.

"Asal kau tahu, itu bukan obat, tapi vitamin!" teriaknya dengan lantang.

"Bodoh!" lirih Tami sambil

memegang kening. Tami telah salah mengambil obat. Ia memang mencurinya dari ruang medis, karena terburu-buru, dia salah mengambil obat.

"Mengapa Bapak memanggil saya lagi?" Khaira menghadap Pak Gunawan.

"Ibu dari Rika tidak menerima hasil keputusan yang saya buat, dan dia ingin kamu dihukum." tegas Pak Gunawan.

"Sudah aku bilang, aku bukan pelakunya. Pelakunya ada Wina." Khaira membalikkan segala tuduhan yang ia terima.

"Kalo begitu, kamu punya bukti apa?" Seolah tidak kapok, Pak Gunawan menantang Khaira lagi. Khaira berpikir sejenak dan mengatakan, "Tongkat kayu itu buktinya."

"Kalau begitu, bawa buktinya ke sini!" titahnya pada Khaira. Khaira yang sangat bosan dengan perintah Pak Gunawan yang terus menyuruhnya memberikan bukti, khaira menggebrak meja dan bertutur, "Bukan tugasku untuk membawa barang bukti ataupun seorang saksi. Sekolah elit ini begitu ceroboh, bagaimana bisa CCTV tidak terpasang, dan yang lebih parahnya lagi, kepala sekolah tidak adil. Hanya mempercayai ucapan satu orang, Haruskah aku melapornya ke menteri pendidikan?"

Pak Gunawan bagai berada di ujung jurang yang di dalamnya ada ular. Dan di atasnya ada singa. Ia mendapatkan ancaman dari banyak pihak.

"Kamu, berani pada saya?" tegur Pak Gunawan. Khaira membela dirinya lagi, "Saya akan menyegani Anda, jika Bapak mampu bersikap adil."

Pak Gunawan selalu kehabisan kata-kata, jika berdebat dengan Khaira.

"Pergi!" usir Pak Gunawan pada Khaira.

"Dia bilang keadilan? Menteri pendidikan? Belum ada murid yang berani melawan kata-kataku sebelumnya," lirih Pak Gunawan. Ia senang bingung, bagaimana caranya agar pertikaian ini lekas usai.

"Mah," panggil Rika dari ranjang pasien.

"Apa sayang, kamu gak papa kan?" tanya Acih menanyakan kondisi putrinya. Ia amat khawatir karena Rika sempat tidak sadar.

"Jangan banyak bergerak ya," Acih mengambilkan minum untuk Rika.

"Rika udah sembuh kok, Mah,"

"Hallo, Mah?" jawab Wina mengangkat sambungan telepon miliknya.

"Apa menjenguk? Gak bisa, ada kelas tambahan," jelas Wina. Meskipun, ia telah puas mempermalukan Tami, hatinya berdebar hebat.

"Ada apa denganmu?" tanya Anto. Namun, Wina menyembunyikan rasa gelisahnya. Dia berkata pada Anto, bahwa dia khawatir dengan kondisi Rika.

"Aku dengar, kamu yang memukul kepala Rika. Apa itu benar?" Anto memegang lembut lengan Wina. Dia berusaha menenangkan Wina dan berkata, "Tidak apa-apa jika itu salahmu, aku akan selalu berada di sisimu."

Wina pun, mengakui kesalahannya pada Anto. "Aku memang orang yang memukul Rika. Tapi, aku tidak sengaja."

Anto berusaha untuk menenangkan kegelisahan Wina. Dengan membuat lelucon yang membuat Wina terhibur. Seseorang yang menguping percakapan sepasang kekasih itu, merekam pengakuan Wina.

"Khaira, kamu dari mana saja?" tanya Rahmat yang dari tadi sibuk mencarinya.

"Aku tadi dipanggil lagi ke ruangan kepala sekolah," ucap Khaira.

"Apa kata Pak Gunawan?" Rahmat khawatir Khaira akan dijatuhi hukuman.

"Ibu dari Rika, dia ingin aku dihukum. Namun, aku sudah bisa melawan ucapannya. Dia kalah dengan kata-kataku," ujar Khaira. Rahmat menghela napas lega. Dan memberikan selamat pada Khaira, "Selamat ya,"

"Selamat? Apa maksudnya?" Khaira menyipitkan mata.

"Banyak murid yang takut pada Pak Gunawan, mereka tidak bisa menghindari hukumannya. Dan Pak Gunawan terkenal sebagai kepala sekolah yang tidak adil," ucap Rahmat yang dengan bangga mengejek Bapak kepala sekolah.

"Sstt!" Khaira memberikan kode pada Rahmat agar tidak berisik. Rahmat tidak menyadari, bahwa mereka masih berada di depan ruangan kepala sekolah.

"Siapa di luar?" tanya Pak Gunawan yang telah mendengar kata-kata Rahmat yang menjelek-jelekkan dirinya. Rahmat dan Khaira pun, berlari.

"Katakanlah, Rika, siapa yang membuat kamu seperti ini," Acih menyelidiki biang keladi yang membuat anaknya sampai terluka.

"Aku lupa, Mah," Rika yang masih mengunyah makanan itu, sebenarnya masih ingat betul, bahwa Wina yang telah memukulnya. Dia hanya takut akan salah bicara jika ia membuka mulutnya.

"Lupa? Mamah sudah tahu siapa yang melakukan ini. Anak baru itu kan?" tebak Acih. Namun salah menduga. Rika hanya menggangguk pelan.

"Apa betul, ini dengan ibu dari Khaira Agnesia?"

"Hallo? Mohon maaf ini dengan siapa ya?" Vina merasa tidak menyimpan nomor yang meneleponnya.

"Ini kepala sekolah Christal School. Apa ibu bisa datang ke sekolah? Khaira telah melanggar peraturan sekolah dengan melakukan kekerasan terhadap murid lain Buk, tapi Khaira sama sekali tidak merasa bersalah dan terus melawan perkataan saya. Buk," tutur Pak Gunawan menjelaskan kejadian palsu pada Vina.

"Baiklah, Pak, saya akan ke sekolah sekarang." Vina melajukan mobil baru yang ia beli tadi. Vina tidak menyangka, bahwa Khaira mampu melawan kepala sekolah.

"Khaira, mengapa kamu menjadi anak yang pembangkang sih? Padahal ini hari pertamamu di sekolah baru," gumam Vina. Ia juga terjebak dalam kemacetan.

Pak Gunawan hanya mampu menyelesaikan dengan cara mempertemukan kedua orang tua murid. Agar, Khaira tidak dapat lagi melawan kata-katanya.

"Saya ingin ketegasan Bapak," tuntut Acih. Dengan bosan, Pak Gunawan menjawab, "Ibu dari Khaira akan datang, ibu dimohon untuk datang juga, jika bisa, Rika juga datang. Agar tidak ada kesalahpahaman," ujar Pak Gunawan lewat pesan teks.

"Kesalahpahaman? Apa dia gila? Sudah jelas pelakunya anak baru itu," gerutu Acih. Namun, Acih merasa ada yang janggal dengan sikap Rika. Awalnya, Rika berkata bahwa dia lupa siapa pelakunya. Tetapi, Rika langsung menggangguk setelah Acih berkata bahwa Khaira lah pelakunya.

"Tidak perlu takut, di sini ada Mamah," Acih memeluk Rika yang terlihat ketakutan.

"Aku tidak takut, Mah," jawab Rika. Acih mengajak Rika untuk ke sekolah. Dan berkata akan bertemu dengan anak perempuan yang memukul anaknya itu. Namun, Rika enggan untuk ikut. Rika takut jika diselesaikan dengan pertemuan, tindak perundungannya dengan Wina akan terbongkar.