webnovel

Kebenaran yang terungkap

Vina memacu langkahnya menuju ruangan kepala sekolah. Begitu juga dengan Acih yang menyusul dari belakang. Vina memperkenalkan dirinya pada Pak Gunawan. Sedetik dia terpesona oleh kecantikan Vina.

"Pak?" Vina melambaikan lengannya ke wajah Pak Gunawan. Kepala sekolah yang terhipnotis oleh kecantikan Vina, menggeleng setelah Vina menyadarkan lamunannya.

"Silakan duduk, Buk," Pak Gunawan mempersilakan ibu dari Khaira itu untuk duduk.

"Dia memanggilku lagi?" Khaira sudah sangat bosan, harus pergi ke ruangan Pak Gunawan lagi. Sudah tiga kali banyaknya, dia memanggil Khaira. Khaira berpikir dia tidak akan kalah debat lagi. Dan tidak akan pernah.

Mata Acih dan Vina bertemu. Vina melepaskan kacamata hitam miliknya. Vina dan Acih saling bertegur sapa.

"Kak Acih?"

"Vina?" Begitu awal mereka bertegur sapa.

"Loh, loh, loh, kalian saling mengenal?" Pak Gunawan tidak begitu tegang dengan situasi saat ini.

"Iya, memangnya kenapa?" tanya ibu dari Rika.

"Ini Ibu dari Khaira loh, Buk Acih. Anaknya memukul anak Ibu," jelas Pak Gunawan. Acih dan Vina tampak terkejut mendengar penjelasan dari kepala sekolah A Christal school itu.

"Apa? Maafkan Khaira ya, Kak," Vina meminta maaf pada Acih atas kesalahan Khaira. Acih yang awal mulanya sangat jengkel dan berhati batu, mendadak berhati malaikat.

"Namanya juga anak-anak, mungkin Khaira tidak sengaja," celetuk Acih. Pak Gunawan yang tadinya ketakutan setengah mati, sudah mulai bisa bernapas lega.

"Mamah, tidak perlulah, meminta maaf, itu bukan salahku." Khaira yang sedari tadi menguping, langsung berkata begitu di depan Vina, Acih dan Pak Gunawan. Vina cukup tercengang mendengar pengakuan dari Khaira. Dia bahkan meminta Khaira agar meminta maaf pada Acih, "Khaira, minta maaf!"

"Sudah aku katakan tiga kali padanya, bahwa aku tidak bersalah, Mah, kenapa sih tidak mempercayai Khaira?" Khaira memohon pada ibunya untuk dapat lebih mempercayai kata-katanya dari pada perkataan orang lain.

Rahmat yang mendengar bahwa Khaira dipanggil lagi ke ruangan kepala sekolah,mengikuti langkah Khaira. Ia juga menguping dari luar. Rahmat yang begitu menyukai Khaira, langsung masuk ke dalam dan berkata, "Tante, tolong percaya pada Khaira. Khaira bukan pelakunya."

"Apa-apan ini? Kamu tidak ada sangkut pautnya ya Rahmat. Pergi kamu!" Pak Gunawan mendorong Rahmat agar keluar dari ruangannya. Tiba-tiba terdengar suara dari ruangan penyiaran, "Ada apa denganmu?" itu adalah pengakuan dari Wina bahwa dia yang memukul kepala Rika.

"Ini gila!" Wina berlari secepatnya ke ruangan penyiaran. Namun, semuanya telah terungkap dihadapan Acih, Vina, Pak Gunawan juga seluruh murid.

"Aku memang orang yang memukul Rika. Namun, itu tidak sengaja," Khaira tersenyum puas. Ia menggulingkan rasa percaya diri Pak Gunawan dihadapannya. Khaira berdiri dengan rasa percaya diri, sambil berkata, "Tahu kan, itu suara siapa. Jelas itu bukan suaraku."

Wina mencoba membuka pintu penyiaran. Dina yang sedang menjaga ruang siaran, langsung ditampar oleh Wina.

"Kamu gila?" Amarah Wina sedang tinggi. Dia bahkan berani melakukan hal itu kepada Dina, siswi yang dikenal sebagai juara satu karate.

"Kamu yang gila!" Dina menendang tubuh Wina sampai terpental.

"Kamu pikir aku takut padamu?" Dina mendekati Wina yang tengah ketakutan. Wina pun, berlari pergi. Tami yang mendengar itu dari lantai paling atas, merasa sedikit lega. Meskipun, itu tidak seberapa jika harus dibandingkan dengan perundungan yang Wina lakukan terhadapnya.

"Kekasihmu," ucap Bobi memberitahu Anto. Anto mencari Wina. Ia khawatir pada kekasihnya.

"Saya akan menelepon orang tua dari Wina, Buk. Maafkan atas kesalahpahaman pihak sekolah." Pak Gunawan meminta maaf kepada Vina. Khaira langsung menyambung ucapan kepala sekolah, "Tidak akan meminta maaf kepadaku?"

"Khaira," bisik Vina.

"Apa Mah? Kalau orang salahkan harus minta maaf, apalagi kepala sekolah ini, gak percaya sama aku," geram Khaira dengan tatapan yang serius pada Pak Gunawan, menunggu kepala sekolahnya meminta maaf pada dirinya.

"Khaira, Bapak minta maaf ya," Khaira tidak menjawab apa pun, dia lekas pergi, setelah keinginannya terpenuhi.

"Sekali lagi, saya minta maaf pada Bapak atas sikap Khaira yang kurang sopan," lontar Vina sebelum dia pergi meninggalkan ruangan kepala sekolah. Vina menyusul Khaira dan memanggil namanya.

"Aku kesal, Mah." ungkap Khaira saat Vina menanyakan alasannya. Tami yang berpapasan dengannya, mulai mendekati Khaira untuk meminta maaf atas kata-katanya. Namun, Tami tidak ingin mengganggu obrolan ibu dan anak itu.

"Tidak usah pak!" suruh Acih, saat pak Gunawan hendak menelepon Ibu Sukma.

"Saya tidak ingin Ibu Acih membawa wartawan,' ujar kepala sekolah.

"Saya tidak akan membawa wartawan atau pengacara, karena saya mengenal betul ibu dari Wina," jelas Acih.

"Wah, sepertinya, para orang tua murid di sekolah ini saling mengenal ya, Baiklah kalau begitu, Buk, permasalahan ini sudah selesai kan?" Acih pergi dari ruangan kepala sekolah.

"Kira-kira siapa ya yang berani melakukan hal itu? Para siswa dan siswi mulai membicarakan lagi tentang pertikaian Khaira dan Wina.

"Aku mendengar dari temanku yang di kelas gold, Wina menampar Kak Dina."

"Kak Dina yang juara satu karate? Wah aku menyesal tidak melihat itu." gosip menyebar sangat cepat dari mulut ke mulut. Kecuali kelas Diamond yang tetap tenang. Apalagi, setelah Khaira memasuki kelas lagi.

Meskipun, pelaku pemukulan dari Rika telah terungkap, kisah perundungan yang Rika dan Wina lakukan tidak terungkap. Tidak ada murid yang berani mengadukannya.

"Vina, aku boleh meminta kontakmu?" Acih meminta izin pada Vina. Mereka sudah cukup lama tidak bertemu. Dahulu, orang tua Vina mengurus Acih, meskipun, keluarga Vina bukanlah orang kaya. Ketika sudah dewasa dan menikah, mereka tidak dapat menerima kabar dari Acih. Orang tua dari Vina sangat menyayangi Acih. Sehingga, Acih melontarkan kata, "Bapak dan Ibu bagaimana kondisinya?"

"Bapak sudah meninggal dua tahun lalu, Kak. Ibu sedang sakit," jelas Vina pada Acih. Perbincangan panjang itu, berakhir di pemakaman besar. Mereka menceritakan kisah masa lalu. Dan berbagi kisah lainnya di rumah milik Vina.

"Buk, ini Acih. Ibu masih ingat kan," Acih mengusap kepala nenek Khaira. Ibu Vina yang sudah lama tidak bertemu dengan Acih, langsung memeluk Acih.

"Kamu kemana saja? Menghilang tiba-tiba?" Acih pun, menceritakan kisahnya. Mereka juga, tertawa bersama. Sering telepon mengganggu obrolan para wanita.

"Ada apa pah?" jawab Acih kepada ayah dari Rika.

"Kamu sudah menemukan pelakunya?"

"Wina, pah, yang melakukan itu. Katanya tidak sengaja," Acih terburu ke rumah sakit, saat suaminya menyuruhnya untuk kembali menjaga Rika.

"Kok kamu gak bilang sih kalo pelakunya Wina? Tapi Wina bilang dia gak sengaja," tanya kedua orang tua Rika.

"Mamah, tau dari siapa?" Rika menjawab dengan terbata.

"Dari ruang penyiaran, semua orang bahkan dengar kalo itu suara Wina," jawab Acih.

"Kamu takut Mamah dan Papah akan marahin Wina ya? Makannya kamu bilang kalo itu Khaira?" Rika mengangguk, dia kira, orang tuanya akan mengetahui tentang perundungan yang ia dan Wina lakukan.