3 Catatan 2 : Prestise

Sheren menatap Mama dengan tatapan datar. Mama pun balas menatap putri bungsunya dengan tatapan datar, sama datarnya dengan Sheren. Mama mengetuk-ngetuk meja ruang keluarga dengan tatapan lurus terpaku pada sang putri. "Jadi, bisa kamu jelaskan apa rencanamu ke depannya?"

Sheren menghela napas panjang. Lagi dan lagi, Mama menanyakan hal yang sama. Pertanyaan yang diulang seribu kali hingga dia merasa bosan. "Mama, She sudah bilang berulang kali bahwa She hanya ingin hidup tenang seperti orang-orang pada umumnya. Menjadi orang biasa, menjalani hidup biasa, dan menghabiskan masa tua dengan santai."

Mama memutar bola matanya kesal. "Sheren Sayang, Mama sudah bilang ribuan kali bahwa kamu harus punya rencana yang matang untuk kehidupanmu ke depannya! Untuk masa ini dan masa depan! Kamu harus hidup dengan rencana-rencana agar jika satu saat hidupmu jatuh, kamu tidak akan terjatuh dengan sangat dalam!"

"Loh She juga punya rencana loh Ma! Jangan salah! She sudah punya rencana untuk hidup tenang!" jawab Sheren santai.

Mama menatap Sheren dengan tatapan kesal. Wanita cantik dengan paras yang sangat mirip dengan Sheren itu tak habis pikir dengan pola pikir anaknya. Bagaimana bisa gadis ini justru tidak memiliki rencana apa-apa?! Apa tadi katanya? Hidup tenang? Hidup biasa saja? "She, bukan itu maksud Mama, Nak! Mama ingin kamu punya rencana yang pasti untuk masa depanmu! Rencana tentang pekerjaan yang akan kamu lakukan di masa depan, rencana tentang keuanganmu di masa depan agar anak-anakmu tidak hidup dengan kesulitan-kesulitan, rencana tentang bagaimana kamu bisa bertahan di situasi tersulit sekalipun!"

Gadis cantik dengan rambut hitam panjang itu kini mengerjap, menatap Mama dengan tatapan polos. "Loh kan nanti She punya suami! Jadi, yang bekerja ya suamiku."

Mama mencubit gemas pipi Sheren yang tengah duduk di sisi kirinya. Cubitan Mama membuat pipi Sheren tertarik dan itu membuatnya kesal. Gadis berambut hitam itu kemudian menepis tangan Mama dengan kasar. Dia kesal karena Mama dengan sesuka hati mencubiti pipinya. "Kan Mama sendiri yang bilang kalau nanti kewajiban She ketika sudah menjadi istri adalah mengabdikan hidup She untuk keluarga She! Kenapa sekarang Mama jadi marah-marah ke Sheren?" bantah Sheren kesal.

"Menjadi istri bukan berarti kamu hanya ongkang-ongkang kaki saja, Sheren Queena! Kamu juga harus membantu suamimu mencari uang. Uang tersebut kamu masukkan ke dalam rekening tabunganmu agar kamu memiliki dana cadangan untuk menghadapi situasi sulit yang bisa saja terjadi di masa depan. Kita tidak bisa meramal masa depan, Sayang. Dan sebagai manusia, kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang!" tangkis Mama dengan nada kesal.

Sheren mendecak kesal. Gadis itu kemudian menatap Mama dengan tatapan menantang. "Baiklah, baiklah, She akan dengar rencana Mama untuk She!"

Mama menatap Sheren dengan tatapan gemas. "Baik! Tapi kamu harus mengikuti apa kata Mama! Paham?"

Sheren mengangguk asal. Baiklah, baiklah, lagi pula Sheren tidak memiliki rencana apa-apa tentang hidupnya. Toh dia terlahir untuk memenuhi ekspektasi orang-orang. Jadi, yang bisa dia lakukan adalah duduk dengan tenang sembari mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut Mama.

"Jadi, Mama mau kamu menjadi pengusaha atau dokter. Mengerti? Kalau bisa dua-duanya," ucap Mama tegas.

Sheren menaikkan alis kanannya seraya berkata, "Aku bukan Shaka yang bisa segala hal."

Mama kini menatap Sheren dengan malas. "Kalau begitu, tunjukkan apa rencana berhargamu! Jangan hanya ingin hidup tenang, hidup santai ketika tua, dan hidup biasa-biasa saja!"

Sheren melengos. Baiklah, baiklah, dia kalah! "Oke, baik! She turuti mau Mama," kata Sheren. Gadis itu mengedip, lalu dalam hati melanjutkan kalimatnya, "Jangan salahkan aku jika suatu saat aku memberontak, Ma! Jangan harap aku benar-benar menuruti kemauan Mama."

Mama menepuk kepala Sheren dengan bangga. Tatapan mata beliau menunjukkan bahwa beliau benar-benar bahagia dengan kepatuhan Sheren tadi.

***

Medali emas, piala setinggi tower, serta piagam-piagam adalah benda-benda paling berharga bagi kedua orang tuanya. Benda-benda itu sangat berharga melebihi emas batangan milik orang tua mereka. Sheren dan Shaka dituntut untuk menjadi pribadi yang berprestasi, kompetitif, serta selalu menjadi yang nomor satu. Tuntutan yang setimpal atas fasilitas yang mereka terima selama ini. Dan kini, Shaka tersenyum-senyum riang seraya memasuki rumah. Pemuda itu baru saja pulang dari final lomba debat nasional. Shaka sengaja tidak memberitahu keluarganya bahwa dia mengikuti lomba itu. Tujuannya adalah supaya Shaka tidak mengecewakan orang tuanya jika kalah.

"Ma, Yah, She!"

Mama, Ayah, dan Sheren menoleh pada si pemuda yang baru saja memasuki ruang keluarga sembari menyapa mereka. Sheren menatap Shaka dengan pandangan acuh tak acuh, sementara kedua orang tuanya menatap si sulung dengan tatapan terfokus padanya.

"Ada apa, Kak?" tanya Mama lembut.

Shaka tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapi dan putih. Kemudian, Shaka merogoh tas ransel yang dipakainya. Tangannya mengaduk-aduk tas itu selama beberapa saat. Sheren melirik kakaknya sekilas, kemudian kembali melanjutkan makannya. Gadis itu tengah memakan keripik singkong.

Kemudian, sebuah kotak beludru berada dalam genggaman Shaka. Kotak itu berwarna hitam dan berukuran sedang. Sheren melengos tak peduli saat dia menyadari isi kotak tersebut. Sementara kedua orang tua mereka justru tertawa riang. Mama lalu berdiri. Wanita cantik itu kemudian berjalan menuju tempat Shaka berdiri. Lalu, Mama membimbing Shaka untuk duduk di sofa tunggal yang berhadapan dengan sofa yang diduduki adiknya. Shaka menurut, pemuda itu lalu duduk dengan tenang di sofa tersebut. Mama kembali duduk di tempatnya semula.

Kini, Mama dan Ayah menatap si sulung dengan penuh perhatian. Sementara si bungsu kini benar-benar tidak peduli dengan kakaknya dan justru sibuk dengan keripik singkong dan keripik kentang baladonya. Namun, Sheren mendengarkan percakapan yang akan terjadi itu.

"Shaka dapat itu dari lomba apa, Kak? Kenapa Shaka tidak memberitahu Mama dan Ayah sebelumnya? Kami kan bisa mengantar kamu," tanya Ayah lembut.

Shaka tersenyum lembut. "Enggak apa-apa Yah. Aku tidak ingin mengecewakan Ayah dan Mama jika aku gagal."

"Enggak dong! Kami enggak kecewa jika Kakak gagal," bantah Ayah.

Mama menatap Shaka dengan lembut seraya berkata, "Kenapa kamu berpikiran begitu, Nak? Kalah dan menang adalah hal yang wajar kok."

Mendengar itu, Sheren tak tahan untuk tidak menyahuti perkataan Mama. "Benarkah? Wah kalau begitu, kemarin bukan Mama dong yang mengatakan bahwa aku tidak boleh melakukan kesalahan pada kompetisi piano enam bulan ke depan?" Sheren kemudian menampilkan ekspresi ngeri, "Hiiiii... Kalau begitu siapa yang berbicara seperti itu kemarin? Alien? Atau hantu? Lalu, siapa yang dengan terang-terangan memberikan tuntutan untuk tidak menjadi 'produk gagal' ? Alien juga kah? Ooooo... Mengerikan sekali!"

Kemudian, Sheren bergegas pergi dari ruang keluarga dengan ekspresi bergidik ngeri. Oh tentu saja dia sengaja. Dia sengaja berbicara seperti itu agar orang tuanya tahu bahwa dia membenci tuntutan orang tuanya yang terlalu tinggi. Dan tentu saja, Sheren membawa serta dua toples berisi keripik singkong dan keripik kentang balado ke dalam kamarnya. Sheren tak peduli bagaimana reaksi Mama dan Ayah nanti. Yang jelas, dia sudah merasa lega dengan kenyataan bahwa dia bisa mengungkapkan isi hatinya selama ini.

***

Sheren menatap buku notasi yang berada di atas meja belajarnya. Buku itu terletak berjejer dengan berkas-berkas persyaratan lomba. Sebenarnya, Sheren mengikuti lomba ini dengan senang hati. Dia menyukai piano dan dengan sukarela mengikuti kompetisi ini.

Namun, justru rasa suka itu tercoreng dengan pemikiran ambisius Mama yang beliau tanamkan padanya. Pemikiran ambisius Mama yang menyuruhnya untuk juara ini dan itu membuatnya merasa seperti seekor burung yang hidup di kandang emas yang super mahal. Semahal apa pun kandang tersebut, namun tetap saja kandang itu tidak lebih dari sebuah penjara yang menyiksa.

"Apa aku harusnya tidak pernah mengikuti les piano? Namun aku menyukainya. Sayangnya, sikap ambisius Mama menodainya," monolog Sheren. Sedikit penyesalan pun timbul di hatinya. Penyesalan tentang mengapa dia harus memiliki seorang ibu yang ambisius.

Namun, Sheren juga tahu bahwa penyesalannya tidak akan pernah bisa mengubah apa-apa, tidak dengan situasi dirinya dan keluarganya. Sheren tidak bisa memilih di keluarga apa dia akan dilahirkan.

Ketukan di pintu kamarnya kemudian terdengar dari luar secara tiba-tiba. Ketukan itu menginterupsi kegalauan Sheren tentang Mama. Lalu, Sheren mengernyit heran. Dia tak habis pikir dengan orang yang berada di balik pintu itu karena telah menginterupsi kegalauannya. Kemudian dia berkata, "Siapa?!"

"Ini aku, Dik. Apa aku boleh masuk?" sahut pemilik suara itu. Suara itu sangat familiar di telinga Sheren. Suara berat yang dalam dan berasal dari saudara kembarnya.

"Enggak boleh! Kamu ngapain sih ke sini?!" balas Sheren ketus. Maaf-maaf saja, Sheren sedang tidak ingin mengalami situasi canggung di tengah suasana hatinya yang memanas.

Di luar kamar Sheren, Shaka menatap kecewa pada pintu kamar adiknya yang tertutup itu. Namun, Shaka tidak menyerah. " Bentar aja kok! Boleh ya? Enggak sampai lima menit!"

"Ogah! Pergi sana!" Sahutan Sheren yang sama kukuhnya untuk tidak mengizinkannya memasuki wilayah teritorialnya membuat Shaka kecewa. Namun, dia akhirnya memilih untuk menyerah dan mengiyakan larangan adiknya. Lalu, Shaka berjalan pergi meninggalkan tempatnya berdiri tadi.

Sementara itu, Sheren menghela napas lega karena dia tidak lagi mendengar suara saudaranya dari balik pintu. Maaf-maaf saja, bukannya dia membenci saudaranya itu. Dia sayang Shaka kok, dengan ala kadarnya. Namun, dia mengakui bahwa dia sama sekali tidak dekat dengan Shaka. Dari kecil, dia justru dekat dengan Kak Felicia. Kak Felicia adalah sepupunya yang juga kembar. Kadang Sheren berpikir, tidak bisakah dia menukar Shaka dengan Kak Felicia? Karena menurutnya, Kak Felicia justru orang yang tepat untuk menjadi kembarannya. Namun, Tuhan tidak sependapat.

Sheren kemudian mengambil buku harian berwarna merah muda dengan motif pita. Gadis itu lalu mengambil pena. Buku itu memuat segala keluh kesah Sheren dan buku ini adalah buku kedua di bulan ini setelah dia menghabiskan satu buku penuh untuk menuliskan keluh kesahnya. Hanya ada satu halaman yang terisi dan itu berada di halaman depan setelah sampul.

***

Surabaya, 13 Januari 2020

Bagi Mama dan Ayah, prestise dan piagam serta medali emas adalah hal-hal yang sangat berharga. Melebihi emas batangan yang mereka simpan di safety box bank. Dan pernyataan mereka yang tidak konsisten membuatku bingung. Di satu sisi, mereka sangat ambisius. Namun di sisi lain, mereka seolah bertindak bahwa mereka adalah orang tua bijaksana yang akan selalu ada di sisi putra-putri mereka kendati anak-anaknya melakukan kesalahan. Figur yang terlihat sempurna bukan? Tapi justru hal itu aku malah menimbulkan tanda tanya besar.

Mengapa Ayah dan Mama bersikap demikian? Hanya Tuhan dan kedua orang tuanya saja yang tahu.

avataravatar
Next chapter