"Candra hanya anak kemaren sore, kenapa mama malah mentransfer semua sahamnya ke Candra. Bukannya ke bang Dirga anak paling tua, atau Wika yang jauh lebih paham soal perusahaan...?", Wika mengajukan keberatannya dengan terus terang.
Sinta tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Wika. "Ada 2 cara buat cari tahu jawabannya. Pertama kamu bisa telfon ibuk langsung dan tanya. Atau... Kamu mau cara yang kedua, kamu ke rumah tahanan ketemu Candra, dan temukan sendiri kenapa ibuk buat keputusan seperti itu", Sinta bicara dengan penuh keyakinan.
Wika masih bingung dengan jawaban yang diberikan oleh Sinta. Akan tetapi Wika memutuskan untuk mencoba cara yang kedua terlebih dahulu, jadi Wika dan Dirga memutuskan untuk ke rutan bersama Sinta.
Seperti biasa Sinta membawa makanan buat Candra. Saat Candra masuk ke ruang tunggu, Candra seperti biasa mengucap salam dan menyalami Sinta dengan santun. Candra perlahan mulai makan dengan lahapnya seperti biasa.
"Bagaimana keadaan kamu dek...?", Sinta bertanya pelan.
"Alhamdulillah Candra baik mbak", Candra menjawab dengan senyuman yang melukis indah di bibirnya.
"Dek"
"Iya mbak"
"Keadaan perusahaan makin sulit dek, sepertinya kita tidak bisa membayar gaji karyawan akhir bulan ini"
"Bagaimana dengan orang yang mau membeli perusahaan mbak...?"
"Mbak boleh tanya satu hal dek...?"
"Kenapa harus minta izin sih mbak, tanya aja"
"Apa yang akan kamu lakuin dengan saham yang kamu punya...?"
"Candra g'ak akan ngapa-ngapin mbak. Yang jelas sekarang ini, bagaimana caranya pegawai tetap tidak kehilangan pekerjaan. Kasian mereka mbak yang bergantung hidup sama perusahaan"
"Apa rencana kamu...?"
"Mbak bilang mau jual perusahaan, apa sudah ada kabar...?"
"Sudah ada beberapa pembeli yang menawarkan dari beberapa kota"
"Kalau bisa, yang di Jakarta, Bandung dan Tangerang jangan di jual mbak"
"Kenapa memangnya...?"
"3 daerah itu yang punya potensi besar buat berkembang. Hasil penjualan perusahaan, semoga cukup untuk menutup kerugian. Candra bisa minta tolong mbak...?"
"Apa dek...?"
"Kalau bisa, mbak usahain beli sisa saham yang masih sama investor"
"Kenapa...?"
"Agar kita tidak selalu bergantung kepada mereka mbak untuk kedepannya. Seg'aknya kita punya lebih dari setengah jumlah saham yang ada, jadi kita punya kekuatan untuk mengambil keputusan. Syukur-syukur kita bisa beli 100% saham yang ada"
Sinta tersenyum, kemudian mendekatkan HPnya ke bibirnya. "Kalian dengar sendiri bukan...?", Sinta bertanya dengan penuh percaya diri.
Candra mengerutkan keningnya, tidak mengerti dengan tingkah Sinta. Pintu ruanganpun terbuka perlahan, Wika dan Dirga muncul dari balik daun pintu. Ternyata dari tadi Sinta melakukan panggilan lewat telfon dengan Wika dan Dirga yang menunggu di depan.
"Ni Wika...? Bang Dirga...?", Candra bicara heran melihat orang yang tidak pernah ada dalam pikirannya akan muncul ditempat seperti ini.
Wika dan Dirga langsung menyerbu memeluk Candra. Mereka malah menangis bersama. Sinta tersenyum melihat pemandangan yang ada di hadapannnya saat ini.
***
Waktu berlari dengan cepat, usaha ketringan Erfly dan keluarga Mayang berjalan lancar. Pesanan selalu datang silih berganti. Keuntungan merekapun semakin menjanjikan. Bahkan Erfly sudah bisa membeli sebuah mobil untuk mempermudah mengantar pesanan dan belanja.
Rheno bahkan telah lulus latihan menyetir sehingga bisa bertanggung jawab mengendarai mobil operasional ketringan. Bahkan ibu Mayang sudah mempekerjakan 2 orang tetangganya, untuk mempermudah menyelesaikan pesanan.
Hari ini tepat tanggal 17 agustus. Cakya melaksanakan tugas dengan baik menjadi pasukan pengibar bendera. Cakya cukup beruntung terpilih dari sekian banyak temannya, menjadi salah satu dari 3 orang pasukan inti yang mengibarkan bendera.
Setelah upacara selesai, Pasukan pengibar bendera diberi waktu bebas untuk bertemu dengan keluarganya masing-masing. Cakya menghampiri Erfly yang berdiri dengan ayah, ibu, Wulan dan Tio.
Cakya menyalami semua orang.
"Kerja yang bagus prajurit", Erfly tiba-tiba nyeletuk asal.
Semua orang spontan tertawa mendengarkan candaan Erfly.
"Abang pulang kapan...? Mau ayah jemput...?", ayah Cakya bertanya.
"G'ak usah pa. Kita masih ada acara perpisahan ntar malam", Cakya menjawab pelan.
***
Alfa malas-malasan mengangkat HPnya yang berdering dari tadi. Karena hari ini alfa tidak ada jadwal, Alfa memutuskan untuk seharian istirahat dirumah saja.
"Halo...?", Alfa menjawab malas.
"Maaf dokter saya dari rumah sakit DKT", terdengar suara perempuan muda di ujung lain telfon.
"Iya ada apa...?", Alfa bertanya bingung.
"Saya dapat nomor dokter dari dokter Firman. Dokter diminta ke rumah sakit DKT, apa dokter punya waktu...?", perempuan itu bertanya dengan ragu-ragu.
Alfa diam sejenak untuk berpikir. Dokter Firman tidak akan pernah meminta bantuannya kalau bukan hal yang sangat genting. "30 menit lagi saya kesana", Alfa menjawab pasti.
"Baik. Terima kasih dokter. Selamat pagi", perempuan yang berada diujung telfon mengakhiri hubungan telfon.
Alfa langsung mandi, dan bersiap ke rumah sakit DKT. Alfa disambut langsung oleh dokter Firman saat tiba diparkiran. Dokter Firman langsung membawa Alfa ke ruang UGD.
"Coba dokter periksa keadaan pasien. Mudah-mudahan prediksi saya salah", dokter Firman bicara pelan.
Alfa memeriksa keadaan pasien dengan teliti. Alfa bahkan melihat hasil CT Scan, ronsen, cek darah, Alfa tidak mau melewatkan petunjuk gejala sedikitpun. Satelah beberapa saat, Alfa melepaskan stetoskop dari telinganya.
"Persis seperti dugaan dokter Firman", Alfa menjawab dengan nada paling rendah.
"Lalu apa yang harus kita lakukan dokter...?", dokter Firman bertanya cemas.
"Untuk saat ini kita harus lakukan operasi secepatnya. Mengeluarkan peluru yang ada ditubuhnya. Jujur saja, posisinya sangat rentan, salah sedikit pasien bisa lewat dimeja operasi", Alfa bicara jujur apa adanya.
"Saya bisa minta tolong dokter untuk melakukan operasi itu...?", dokter Firman memohon dengan penuh harap.
Alfa berpikir keras memutar otaknya. Menimbang baik dan buruknya. Kemudian Alfa menarik nafas berat.
"Boleh saya bertemu dengan keluarga pasien...?", Alfa angkat bicara.
"Mari ikut keruangan saya, saya akan minta wali pasien menemui dokter diruangan saya", dokter Firman memberi arahan. Sebelum masuk ke ruangannya, dokter Firman sebelumnya mampir keresepsionis meminta suster jaga untuk menghubungi wali pasien agar keruangannya.
Alfa dan dokter Firman menunggu beberapa saat, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. "Masuk", dokter Firman bicara setengah berteriak.
Devi muncul dari balik daun pintu. "Duduk Devi", dokter Firman bicara pelan.
"Terima kasih dok", Devi bicara sopan, kemudian duduk dibangku yang terdekat yang bisa dia raih.
"Bu Devi...? Anaknya pak Jendral...?", Alfa bicara dengan tidak yakin.
"Iya, saya dokter. Orang yang pernah dokter operasi", Devi bicara pelan meyakinkan Alfa dengan ingatannya.
"Lalu... Pasien...?", Alfa bertanya bingung, masih berusaha menghubungkan hubungan Devi dan pasien.
"Dia... Tunangan saya dokter. Keluarganya ada diluar kota, jadi... Mereka menyerahkan semua keputusan kepada saya menjadi walinya", Devi menjawab pertanyaan Alfa secara detail.
"Hem... ", Alfa menarik nafas berat. "Kalian berdua memang cocok. Kompak membuat saya harus memutar otak lebih keras dari biasanya", Alfa bicara pelan, kemudian tertawa kecil menertawkan dirinya sendiri.
"Maksud dokter...?", Devi bertanya tidak mengerti dengan ucapan Alfa barusan.
"Saya langsung saja, jujur... Keadaan pasien kurang menguntungkan. 3 peluru yang bersarang ditubuhnya, semua dalam posisi yang membahayakan. Kita harus segera melakukan operasi mengangkat peluru tersebut. Ini tidak akan mudah, bisa saja pasien kehilangan nyawanya di meja operasi", Alfa menjelaskan kata perkata.
Devi tidak merespon, aura mukanyapun tidak berubah sedari tadi. Bukankah Alfa baru saja mengatakan, kalau dia bisa saja kehilangan tunanganya dalam rentan waktu menunggu, atau saat di meja operasi sekalipun.