webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Ternyata aku g'ak sesayang itu sama kamu

Cakya dan Erfly akhirnya memutuskan duduk di salah satu bangku taman rumah sakit, karena sudah mulai gelap, maka tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka.

Erfly dengan lembut meletakkan kruknya dengan hati-hati bersandar ke meja. Kemudian menarik nafas berat, tatapannya tertunduk menembus meja taman yang ada dihadapannya.

"Segitu niatnya Erfly menghilang dari Cakya...", Cakya tiba-tiba bicara lirih, sangat terdengar nada kesedihan dari suara Cakya, bahkan lebih nyaris putus asa.

"Terima kasih sudah menolong putri saya, saya akan minta sekretaris saya memesan tiket untuk anda pulang", Erfly bicara dingin, suaranya terdengar sangat jauh di telinga Cakya. Bahkan Erfly tidak perlu repot-repot menatap lawan bicaranya.

Cakya tidak percaya ini, orang yang selalu menatapnya dengan penuh kasih dan kelembutan, sekarang berubah menyerupai gunung es yang bahkan tidak bisa dia raih sedikitpun.

"Bertahun-tahun aku nyariin kamu, bertahun-tahun aku bertahan dengan luka ini hanya dengan satu harapan suatu saat bisa bertemu kamu. Dan... Ini yang aku dapat, atas luka yang setia aku rawat selama bertahun-tahun...?", Cakya bicara dengan suara tertahan, mukanya memerah karena berusaha keras menahan amarah yang telah sampai ke ubun-ubunnya.

"Harusnya dari awal kita g'ak pernah ketemu...", Erfly bicara lirih, tatapannya tetap tertunduk dalam sedari tadi.

"Apa...? Lalu apa yang kita jalani selama ini...? Dan kita baik-baik saja sebelum kamu tiba-tiba menghilang begitu saja hanya dengan selembar surat sialan itu", Cakya bicara dengan nada setengah berteriak.

"Ternyata aku g'ak sesayang itu sama kamu", Erfly bicara pelan, berusaha keras agar air matanya tidak menyerbu keluar.

"Oh... Hahahaha... Lulucon macam apa lagi yang kamu mainkan sekarang...?", Cakya tertawa remeh.

"Terus... Kalau kamu g'ak sesayang itu ke aku...? Kenapa kamu nerima lamaran aku pas digunung...? Kenapa kamu bisa begitu dengan nyamannya tidur di punggungku saat di gunung...? Kenapa kamu begitu khawatir saat aku terluka...? Kenapa kamu segitu cemburunya melihat aku sama perempuan lain...?", Cakya bertanya putus asa, memukul tepat pada luka Erfly.

Erfly diam sejenak, menata kembali hatinya yang mulai goyah karena ucapan Cakya barusan. Erfly menarik nafas berat, kemudian memejamkan matanya, sembari beristigfar dalam hati berkali-kali.

"Apa yang terjadi di masalalu udah lama aku tinggal sepuluh tahun yang lalu. Sekarang... Aku udah bersama kebahagian aku, dan... Sudah waktunya kamu juga melakukan hal yang sama...", Erfly bicara pelan.

Cakya spontan berdiri, dan membalikkan tubuh Erfly hingga tepat berada di hadapannya. Cakya meletakkan kedua telapak tangannya menutupi kedua pipi Erfly, badannya membungkuk hampir seperti sedang rukuk dalam sholat, memaksa Erfly menatap tepat kewajahnya saat ini.

"Tapi... Kebahagian aku itu bersama kamu Erfly...", Cakya bicara kata perkata dengan memberikan penekanan.

Air mata Erfly mengalir tanpa permisi. "Tapi... Aku g'ak bisa...", suara Erfly bergetar kali ini tidak dingin seperti sebelumnya.

"Kenapa...?", Cakya bertanya lembut.

"Aku udah menikah sama mas Satia...", Erfly akhirnya memutuskan untuk jujur, menelan air liurnya yang tiba-tiba terasa pahit, berharap Cakya segera mundur.

"Kenapa harus Satia...? Kenapa bukan Cakya...?", Cakya bertanya frustrasi kali ini, tubuhnya terasa lemah mendengar penolakan Erfly. Cakya perlahan duduk jongkok tepat dihadapan Erfly, jemari tangannya mengusap mukanya frustrasi.

"Erfly g'ak bisa sama Cakya...", Erfly bicara lirih, kembali menegaskan ucapan sebelumnya.

"Tapi... Cakya sayang banget sama Erfly. Bertahun-tahun Erfly ninggalin Cakya, rasa ini tetap utuh. Bahkan sedetik Cakya g'ak bisa ngelupain tentang kita...", Cakya bicara lirih, meminta belas kasihan Erfly.

"Kalau Cakya sayang sama Erfly, Cakya g'ak akan kayak gini...", Erfly tiba-tiba bicara diluar dugaan Cakya.

Cakya spontan mengalihkan tatapannya, menatap wajah Erfly lekat dengan kening berkerut, karena tidak mengerti dengan ucapan Erfly.

"Cinta itu g'ak akan pernah saling menyakiti. Tapi... Cinta Cakya ke Erfly, itu akan membunuh Erfly secara perlahan", Erfly bicara pelan, hatinya terasa tercabik-cabik saat ucapan itu meluncur dari bibirnya.

Cakya tetap mengerutkan keningnya tidak begitu paham dengan ucapan Erfly, akan tetapi satu yang bisa Cakya tangkap dari sikap Erfly, ada alasan yang kuat kenapa Erfly menghilang begitu saja.

"Maksud Erfly apa...? Jelasin ke Cakya, agar Cakya mengerti duduk persoalannya. Jangan hukum Cakya seperti ini...", Cakya bicara lirih memohon belas kasihan Erfly.

Sudah bertahun-tahun Cakya seperti orang gila, hanya berkutat dengan lukanya, dan menyebut satu nama perempuan di hidupnya 'Erfly' itu saja.

"Stop untuk cari tahu jawabannya, karena itu hanya akan nyakitin Cakya lebih dalam lagi. Hanya itu saran yang bisa Erfly kasih, sebagai orang yang pernah berarti buat Cakya...", Erfly bicara perlahan, berharap Cakya bisa mencerna ucapannya baik-baik.

Erfly segera meraih kruknya kemudian berlalu dari hadapan Cakya begitu saja.

Cakya masih duduk diam terpaku, sampai suara HPnya membuyarkan lamunannya. Cakya meraih HPnya, kemudian mengangkat telfon yang masuk.

"Abang dimana...?", terdengar suara perempuan dari ujung lain telfon.

"Lombok, ditempat Erfly", Cakya tidak menutupi keberadaannya.

"Akhirnya abang pergi sejauh ini...", terdengar suara tangisan perempuan di ujung lain telfon pecah seketika.

Cakya tidak bereaksi apa-apa.

"Semoga abang menemukan kebahagiaan yang abang cari selama ini", perempuan diujung lain telfon akhirnya bicara lirih, kemudian detik berikutnya hubungan telfon berakhir.

Cakya memutuskan untuk kembali ke ruang rawat inap si kembar, berharap Erfly ada di sana. Dia harus menemukan jawaban yang dia cari selama ini.

Cakya mengetuk perlahan, kemudian detik berikutnya membuka daun pintu. Tidak ada siapa-siapa di ruang rawat inap, Cakya segera berlari ke meja suster jaga.

"Maaf suster, pasien di ruangan itu...", belum juga Cakya menyelesaikan ucapannya, suster jaga sudah menyodorkan sebuah amplop putih kehadapan Cakya.

Walaupun bingung Cakya masih menerima amplop pemberian suster tersebut. Cakya duduk di kursi terdekat yang bisa dia raih.

Ada kertas kecil berwarna putih terlipat rapi didalam amplop. Dengan hati-hati Cakya membuka lipatan kertas itu.

"Hallo Om jagoan.

Erfly mau mengucapkan terima kasih sama Om jagoan udah jadi dewa penyelamat bagi Erfly. Kalau g'ak ada Om, Erfly g'ak tahu akan jadi seperti apa.

Erfly minta maaf Om, tidak bisa pamit langsung sama Om. Erfly harus keluar kota, bunda ada kenalan dokter Ortopedi, dia menyarankan Erfly dirawat disana.

Oh ya Om, itu ada tiket pesawat untuk Om pulang, Erfly juga udah siapin supir untuk mengantar Om ke Bandara. Sekedar uang buat bekal di jalan.

Sekali lagi terima kasih Om jagoan atas bantuannya, semoga suatu saat kita bertemu lagi, tapi... Dengan suasana yang jauh lebih baik.

Salam hangat, Erfly"

Cakya membuka kembali amplop yang ada ditangannya, menatap kosong pada selembar tiket pesawat tujuan Sungai Penuh. Serta ada beberapa lembar uang seratus ribuan.

Cakya tertawa getir, menertawakan dirinya sendiri.

Cakya mengusap kasar mukanya merasa frustrasi, "G'ak ibu, g'ak anak. Sama saja", Cakya bicara remeh.