webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Erfly sudah kembali bersama Satia

Kahfi duduk dengan santai di salah satu kursi di ruang tunggu IGD rumah sakit. Menunggu dengan tenang dengan HP di daun telinga sebelah kiri. Pada suara daringan HP ke 3, terdengar suara dari ujung lain telfon.

"Halo... Selamat malam... Dengan Alfa disini ada yang bisa saya bantu...?", terdengar suara lelaki yang sudah lama tidak didengar oleh Kahfi.

"Setan alas, menghilang tanpa memberi kabar. Manusia batu, harusnya kamu mati sekalian...", Kahfi langsung memaki lelaki yang berada diujung lain telfon dengan sumpah serapahnya.

Lelaki di ujung lain telfon bukannya balik marah, malah tertawa renyah sebelum bicara. "Dapat nomor aku dari detektif mana kamu...?", Alfa bertanya santai.

"Erfly...", Kahfi menjawab pelan.

"Butterfly...?", Kahfi bertanya tidak yakin kalau dia tidak salah orang, karena Kahfi hanya mengenal satu Erfly selama ini.

"Si kembar...", Kahfi kembali menambahkan.

"Hem... Ketemu dimana kamu sama dia...?", Alfa kembali bertanya ringan.

"Dia pasien ku beberapa jam yang lalu", Kahfi menjawab santai.

"Pasien...? Kok bisa...?", Alfa bertanya bingung.

"Maaf dokter tolong tanda tangannya", Nazwa bicara dengan suara agak berteriak.

"Sebentar...", Kahfi bicara pelan, kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju meja resepsionis.

"Nazwa...? Kamu lagi di rumah sakit DKT...?", Alfa bertanya lirih.

"Hah... Dokter kenal suster Nazwa...?", kali ini Kahfi yang mendapat kejutan, seingat Kahfi selama berteman dengan Alfa, Alfa bukanlah orang yang suka mengingat cewek, diotaknya tentang perempuan sudah di tutup oleh satu nama Butterfly.

"Siapa...?", Nazwa malah angkat bicara kali ini, karena mendengar namanya disebut-sebut oleh Kahfi.

"Dia pernah 2 kali menjadi asistenku saat melakukan operasi", Alfa bicara lirih.

"Woah.... Kemajuan pesat ini. Seorang dokter Alfa bisa mengingat seorang perempuan yang hanya bertemu beberapa kali", Kahfi tertawa renyah meledeki Alfa.

"Dokter Alfa...?", Nazwa bicara hampir tidak percaya.

"Dasar anak setan", kali ini malah Alfa yang mengupat.

Kahfi malah tertawa puas mendengar kekesalan Alfa. Kahfi kembali duduk ke tempat semula, di sudut lain Nazwa masih diam-diam melirik Kahfi dengan ekor matanya.

"Kenapa Erfly bisa menjadi pasien kamu...?", Alfa kembali bertanya mengalihkan perhatian Kahfi.

"Dia melakukan pendakian bersama KPA dari Lombok, dan... Jatuh ke jurang saat mau turun dari gunung Kerinci", Kahfi bicara pelan.

"Kirim rekam medisnya", Kahfi tiba-tiba memberi perintah.

"Nanti aku minta suster Nazwa yang kirimkan, apa perlu sekalian aku salamin buat suster Nazwa sekalian...?", Kahfi masih belum puas menggoda Alfa.

"Anak setan", Alfa segera menutup hubungan telfon.

"Malah di tutup", Kahfi tertawa puas telah berhasil membuat Alfa salah tingkah.

Kahfi menghampiri Nazwa, "Suster, bisa minta tolong kirim rekam medis pasien atas nama Erfly, ke nomor ini, walinya minta", Kahfi sengaja tidak memberi tahu kalau itu adalah nomor Alfa.

"Baik dokter, maaf sebentar saya catat dulu nomornya", Nazwa bicara sangat sopan.

Menit berikutnya Nazwa mengembalikan HP Kahfi, "Sudah saya kirimkan dokter", Nazwa bicara lembut.

"Terima kasih suster. Ah... Saya mau ke depan, kalau ada apa-apa langsung telfon saja", Kahfi memberi isyarat telfon dengan jemari tangan kanannya.

"Baik dokter", Nazwa mengangguk patuh.

***

Erfly masih mengelus syal yang menjadi pengikat rambut putrinya.

"Dek... Ini...", Erfly tidak melanjutkan ucapannya karena putrinya sudah menyela terlebih dahulu.

"Punya Om Cakya bunda...", si kecil Erfly menjawab polos.

Air mata Erfly segera menyerbu keluar, ternyata dia tidak salah. Itu syal yang pernah dia beri untuk Cakya semasa sekolah.

Nadhira mulai gelisah begitu mendengar nama Cakya disebut oleh si kecil Erfly.

"Kamu... Ketemu dimana sama...", Erfly tidak bisa melanjutkan ucapannya.

"Om Cakya yang menjadi pemandu kami selama pendakian bunda. Waktu di Gunung tujuh, Om Cakya bersama putra semata wayangnya. Terus... Di gunung Kerinci berdua sama kang Untung.

Bahkan Om Cakya yang menyelamatkan Erfly pas di jurang, terus... Kata suster yang mengobati Erfly, Om Cakya melakukan P3K dengan sangat rapi, kalau terjadi kesalahan... Bisa memperparah luka Erfly katanya.

Karena abang dan kakak harus ke Jakarta untuk lomba. Om Cakya juga yang ngantar Erfly kesini bunda", Erfly bicara panjang lebar, senyum tidak pernah lepas dari bibirnya.

"Cakya... Disini...?", Erfly bicara dengan suara tercekat.

"Tadi katanya mau merokok sebentar keluar", si kecil Erfly menjawab polos.

"Assalamu'alaikum...", terdengar suara pintu terbuka, dan suara salam terucap dengan tegas.

Jantung Erfly serasa akan copot, begitu mendengar suara barusan. Langitnya serasa runtuh, harusnya dia tidak seperti ini. "Astagfirullah...", Erfly berbisik lirih berkali-kali menguatkan hatinya.

"Wa'alaikumsalam...", Erfly menjawab sesaat setelahnya, setelah Erfly berhasil kembali tenang.

Cakya melangkah semakin mendekati Erfly yang sedang duduk di samping tempat tidur si kecil Erfly. Cakya mengulurkan jemari tangan kanannya kehadapan Erfly.

"Apa kabar Butterfly...?", Cakya bertanya lirih, air matanya langsung menyerbu ingin keluar.

Erfly menyambut jemari tangan Cakya, "Alhamdulillah baik", Erfly menjawab pelan, sedingin yang dia bisa. Kemudian kembali menarik tangannya dari genggaman Cakya.

"Erfly... Cakya...", Cakya tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Erfly sudah menyela.

"Kita bicara diluar", Erfly langsung menyela, sebelum Cakya menyelesaikan ucapannya. "Sayang... Bunda keluar sebentar ya, kamu istirahat cantik", Erfly bicara pelan, kemudian mencium kening si kecil Erfly dengan sangat lembut.

Erfly melangkah perlahan di bantu kruknya, "Teh... Aku titip Erfly sebentar", Erfly bicara penuh harap sebelum keluar dari ruangan rawat inap Erfly.

Begitu Erfly dan Cakya menghilang dari balik daun pintu. Nadhira segera mengeluarkan HPnya.

"Em... Tante mau menelfon sebentar keluar, Erfly ditinggal sebentar tidak apa-apa...?", Nadhira bertanya dengan sangat hati-hati.

"Erfly bukan anak kecil lagi tante yang takut sendirian. Erfly mau istirahat capek", Erfly menjawab santai.

"Anak pintar", Nadhira mengusap lembut pucuk kepala Erfly, sebelum berlalu pergi dari hadapan Erfly.

Nadhira menekan salah satu nomor yang ada di HPnya, menunggu sesaat agar telfon terhubung.

"Erfly sudah kembali bersama Satia", Nadhira bicara lirih.

Tidak ada suara dari ujung lain telfon.

"Satia... Kamu g'ak mau kesini...?", Nadhira bertanya dengan sangat hati-hati.

"Satia percaya sama Ilen teh", Satia bicara lirih.

"Satia... Kamu tidak lupakan siapa Cakya...?", Nadhira kembali bertanya gusar.

"Mereka butuh waktu untuk menyelesaikan urusan mereka yang belum selesai. Ilen butuh ruang untuk menata hatinya kembali", Satia bicara dengan nada suara paling pelan.

"Satia... Tapi kan...", Nadhira tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Satia sudah menyela.

"Ilen istri Satia teh, ibu dari si kembar. Satia percaya sama Ilen, apapun keputusan Ilen setelah bertemu dengan Cakya... Satia akan terima", Satia bicara berat, seolah ada yang mengganjal menyekat tenggorokan, menghalangi kata-kata itu untuk meluncur keluar.

"Satia...", Nadhira kembali tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Satia kembali menyela.

"Maaf teh, Satia harus masuk pesawat. Titip Ilen dan Erfly, assalamu'alaikum", Satia dengan tegas mengakhiri hubungan telfon.