Cakya mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan jalan pikiran Husen.
"Ayo lah Om, hidup ini singkat. Tidak akan berdosa seorang anak Jendral bermimpi ingin menjadi pemain musik profesional", Husen tertawa remeh.
"Bukan begitu, maksud saya... Seorang anak Jendral besar, biasanya akan mengikuti jejak ayahnya", Cakya segera mengoreksi ucapannya sendiri.
"Om hidup di zaman kapan...? Cukup hanya bang Hasan yang terobsesi menjadi seperti ayah. Anak-anak punya jalannya sendiri yang akan dia pilih sendiri om", Husen kali ini tertawa renyah.
Cakya menggaruk dagunya yang tidak gatal, "Em... Kamu ada benarnya", Cakya bergumam pelan.
"Kita punya dunia sendiri Om, dan... Kita bukan replika orang tua. Om harus catat itu peraturan khusus dari kita anak-anak", Husen bicara dengan memasang wajah serius.
Cakya tertawa lepas, "Iya-iya-iya... Om akan ingat itu", Cakya kembali tertawa renyah.
Tawa Cakya seketika terhenti begitu bola matanya menatap sorot mata Erfly yang menatapnya tanpa berkedip.
"Ada apa...? Apa ada kotoran di wajah Cakya...?", Cakya mengusap kasar mukanya dengan kedua telapak tangannya yang panjang dan kurus.
"G'ak...", Erfly kecil bicara lirih.
"Lalu...?", Cakya bertanya bingung, kembali menatap lekat wajah Erfly menagih jawaban dari pertanyaannya.
"Udah ada yang pernah bilang, kalau Om itu ganteng kalau tertawa...?", Erfly kecil bicara tanpa berkedip.
Cakya kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan si bungsu. Cakya malah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Om pernah kehilangan seseorang ya?", kali ini Erfly kecil bertanya diluar dugaan semua orang.
"Maksud kamu...?", Cakya malah balik bertanya, berusaha menghindar dari menjawab pertanyaan Erfly.
"Kata orang, orang yang jarang tertawa dan tersenyum dia pernah kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya", Erfly kecil bicara lirih.
"Sok tahu kamu", Cakya berusaha keras untuk tertawa.
"Erfly memang tahu Om", balas Erfly sengit tidak mau kalah.
"Apa yang kamu tahu tentang saya...?", Cakya kembali balik bertanya, menatap dalam ke bola mata Erfly.
"Om pernah mencintai seseorang sepenuh hati, bahkan bagi Om dialah dunia Om. Makanya saat dia pergi, dia lupa mengembalikan dunia Om, sehingga Om kehilangan setengah dari dunia Om, yaitu kebahagiaan. Yang tertinggal hanya luka dan tangis kehilangan", Erfly kecil bicara panjang lebar.
Cakya mengalihkan tatapannya kearah lain, berusaha keras menahan air matanya yang segera ingin menyerbu keluar.
"G'ak sopan dek ngomong kayak gitu", Hasan segera mengingatkan si bungsu.
"Kayaknya kamu lebih cocok jadi Sikolog dek ketimbang jadi dokter hewan", Husen nyeletuk asal.
Tawa Hasan dan Husen segera pecah mendengar ucapan Husen.
"Butuh pemikiran khusus ini", Erfly kecil menggaruk dagunya lembut.
Hasan dan Husen kembali tertawa mendengar ucapan Erfly kecil.
***
Erfly duduk di teras rumah, menatap kearah si kembar. Ada perasaan aneh yang mencubit sudut hatinya melihat seluet Cakya.
"Kamu kenapa Erfly...? Apa karena jantung ini...? Asri... Kamu yang tenang, Erfly minta maaf kalau harus seperti ini", Erfly bergumam sendiri.
Satia yang berada tidak jauh dari Erfly hanya mampu menatap sedih kepada Erfly, bahkan sampai hari ini Satia tidak berani mengatakan kalau jantung yang dia miliki saat ini adalah jantung ayahnya Cakya.
Satia menghampiri Erfly, kemudian merangkul Erfly dengan lembut. "Dek... Anginnya kencang di luar, kamu g'ak mau masuk saja...?", Satia bertanya lembut.
"Ilen mau di sini sebentar lagi mas", Erfly bicara pelan.
Satia kemudian mengambil selimut dan menyelimuti paha Erfly.
Pasya menghampiri Satia, hanya diam menatap Satia.
"5 menit lagi saya menyusul", Satia langsung mengerti apa yang Pasya ingin ucapkan.
Pasya mengangguk patuh, kemudian berlalu meninggalkan Satia dan Erfly.
"Dek... Mas ada pertemuan sama kesatuan", Satia memberikan informasi.
"Ilen g'ak apa-apa kok mas", Erfly kembali meyakinkan Satia.
Satia mengecup kening Erfly lembut, kemudian berlalu menyusul Pasya yang terlebih dahulu masuk kedalam mobil.
***
Erfly kecil mendapat giliran membantu memasak di dapur umum. Dengan hati-hati Erfly kecil memotong sayuran yang berada di hadapannya.
"Hati-hati dek sama pisau", Putri tiba-tiba angkat bicara.
Erfly kecil hanya tersenyum membalas ucapan Putri.
"Saya Putri", Putri segera mengulurkan tangan kepada Erfly.
Erfly kecil menyambut tangan Putri, "Erfly", Erfly bicara pelan.
"Erfly...?", Putri kembali mengulang ucapan Erfly kecil.
"Kenapa kak...?", Erfly kecil mengerutkan keningnya.
"G'ak apa-apa", Putri memaksakan senyumnya. "2 anak cowok yang bersama kamu tadi...", Putri tidak melanjutkan ucapannya, karena Erfly kecil kembali menyela.
"Kak Hasan dan bang Husen...?", Erfly kecil memastikan siapa yang dimaksud Putri.
"Em... Kalian...", Putri tidak tahu harus mulai dari mana.
"Kita kembar tiga kak", Erfly kecil kembali menebak apa yang mau diucapkan oleh Putri selanjutnya.
"Oh...", Putri mengangguk pelan. "Kalian sudah lama kenal sama....", Putri kembali menggantung ucapannya.
"Om Cakya...?", Erfly kecil kembali menyelesaikan ucapan Putri.
"Yah...", Putri kembali tersenyum kaku.
"G'ak juga, kita hanya pernah bertemu beberapa kali. Awalnya ketemu pas ekspedisi di gunung Tujuh dan Gunung Kerinci", Erfly kecil kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Cakya.
"Tapi... Kelihatannya sudah begitu dekat?", Putri kembali bertanya.
Erfly tertawa renyah, "Erfly hutang nyawa sama Om Cakya kak", Erfly kecil bicara jujur kali ini.
"Maksudnya...?", Putri bertanya bingung.
"Waktu pendakian di gunung Kerinci, Erfly jatuh ke jurang. Dan... Om Cakya yang menyelamatkan Erfly, bahkan... Om Cakya juga yang akhirnya mengantarkan Erfly pulang ke Lombok, karena kak Hasan dan bang Husen harus ikut lomba di Jakarta", Erfly kecil mulai bercerita panjang lebar.
Putri tersenyum lembut, ingatannya kembali ditarik ke kejadian saat Cakya menyelamatkannya dari anak berandalan yang sedang mabuk.
"Kenapa kak...? Kok malah senyum-senyum sendiri...? Kakak kenal Om Cakya...?", Erfly kecil membuyarkan lamunan Putri.
"Dia... Kakak angkat saya", Putri lebih memilih untuk tidak mengungkapkan hubungannya dengan Cakya lebih dari sekedar teman biasa, atau hubungan kakak adik semata.
"Kak, Om Cakya pernah kehilangan orang yang sangat dia sayang ya...?", Erfly kecil tiba-tiba bertanya diluar dugaan Putri.
"Om Cakya udah pernah menikah sebelumnya, dan... Mereka akhirnya memutuskan untuk pisah", Putri bicara penuh keraguan.
"Em... Om Cakya mencintai mantan istrinya...? Lalu kenapa mereka memutuskan untuk pisah...?", Erfly kecil kembali bertanya.
Putri menggeleng pelan, "Putri pernah dengar dari ayah kak Putri, katanya jauh sebelum Cakya memutuskan untuk menikah dengan mantan istrinya. Cakya pernah kehilangan seorang perempuan yang sangat dia cintai, em.... Katanya perempuan itu tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar, setelah perempuan itu menerima lamaran Cakya", Putri kembali teringat cerita ayahnya.
Pak Jendral Lukman begitu menyayangi Cakya begitupun halnya Putri. Akan tetapi pak Jendral Lukman selalu enggan menyetujui hubungan Cakya dengan Putri. Kata pak Jendral Lukman, di hati Cakya sudah terisi seorang perempuan, dan akan sangat sulit untuk di tembus oleh orang lain.
"Siapa kak...?", Erfly kecil kembali bertanya dengan rasa ingin tahunya yang besar.