webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Kenapa kamu bisa disini...?

Erfly berusaha menjauh dari lelaki yang telah menolongnya. Tatapan lelaki itu masih tetap sama, seperti bertahun-tahun yang lalu saat Erfly mengenalnya.

"Kenapa kamu bisa disini...?", Erfly bertanya bingung menatap lelaki yang ada dihadapannya.

"Bang... Ayo...", seorang perempuan bicara setengah berteriak dari jarak 5 meter dari posisi Erfly dan malaikat penolongnya.

"Ah... Iya", lelaki yang ada di hadapannya Erfly segera menyerahkan kruk Erfly, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Erfly.

"Dek... Ada apa...?", Satia memegang pundak Erfly.

"Em... Mas... Sejak kapan disini...?", Erfly bertanya dengan terbata-bata.

"Baru aja", Satia mengikuti arah tatapan mata Erfly. "Ada apa dek...?!", Satia bertanya dengan bingung.

"G'ak apa-apa mas. Kenapa mas...?", Erfly malah balik bertanya.

"Mas sudah dapat kuncinya, kita bisa masuk sekarang", Satia bicara pelan.

Erfly hanya mengangguk patuh mengikuti Satia.

***

Putri menatap perempuan yang baru saja di tolong oleh Cakya dengan kening yang berkerut, otaknya segera mencari dimana dia pernah melihat perempuan itu.

"Siapa bang...?", Putri memilih untuk bertanya kepada Cakya.

"Apanya...?", Cakya bertanya bingung, segera mengangkat ranselnya.

"Perempuan tadi", Putri bertanya penuh rasa ingin tahu.

"Bukan siapa-siapa, dia hampir jatuh, makanya Cakya tolong", Cakya menjawab sekenanya.

"Oh...", Putri mengangguk penuh keraguan, ada sudut hatinya yang terasa tidak nyaman melihat tatapan Cakya kepada gadis itu. Tapi apa...?

"Kita dapat posisi bersebelahan, di sebelah sana", salah satu teman Putri menunjuk arah selatan.

"Oke", Putri tidak membantah, segera mengekor temannya ke arah yang dia tuju.

***

Dari kejauhan Erfly tidak melepaskan tatapannya dari arah lapangan kaki gunung, tenda-tenda mulai didirikan satu persatu. Hanya dalam hitungan jam, lapangan sudah penuh dikelilingi tenda peserta kemping.

Satia merangkul Erfly dari belakang. "Kamu lihat apa...?", Satia bertanya lembut.

"G'ak, mas butuh apa...?", Erfly bicara dengan terbata-bata.

"Mas g'ak butuh apa-apa, hanya mau ngobrol saja sama kamu dek", Satia bicara lembut, kemudian duduk di kursi tepat disamping Erfly.

"Ada apa mas...?", Erfly bertanya lembut.

"Ternyata yang menjadi panitia bawahan mas waktu di Kalimantan", Satia memulai topik pembicaraan.

"Oh... Ya...? Mas tahu dari mana...?", Erfly bertanya bingung.

"Tadi... Mas sama tim ke rumah kepala desa, mengurus izin kita tinggal disini selama sebulan. Dan... Mas ketemu mereka disana, sedang menyerahkan surat izin keramaian untuk acara kemping", Satia menjelaskan panjang lebar.

"Alhamdulillah", Erfly merasa sedikit lega.

"Makanya... Kamu jangan terlalu khawatir, mas sudah titip si kembar sama mereka. InsyaAllah g'ak akan ada masalah", Satia bicara lembut, mengusap dengan hati-hati punggung tangan Erfly, seolah Erfly kaca yang demikian rapuh.

"Terima kasih mas", Erfly bicara disela senyumnya.

Satia segera merangkul Erfly, sehingga kepala Erfly mendarat di pundak Satia.

"Mas tahu kamu sayang sama anak-anak, InsyAllah mereka sudah besar dek, mereka sudah tahu cara melindungi diri mereka sendiri. Apalagi si kembar tidak sendiri, mereka akan saling jaga, ada banyak orang juga disana. InsyaAllah akan aman dek", Satia berusaha menenangkan istrinya agar tidak terlalu khawatir.

***

Cakya memilih untuk duduk menyendiri di batang pohon tumbang, memilih menjauh dari yang lain. Acara pembukaan akan di lakukan setelah isya, sehingga mereka masih punya banyak waktu luang.

"Om Cakya...", terdengar suara anak perempuan bicara di belakang Cakya.

Cakya menghentikan permainan gitarnya, kemudian menoleh kebelakang mencari sumber suara.

"Erfly...? Hasan Husen...?", Cakya bertanya bingung.

"Erfly udah bilang ini Om Cakya", Erfly bicara kegirangan.

"Assalamu'alaikum om", Hasan mengucap salam, kemudian menyalami punggung tangan Cakya.

"Wa'alaikumsalam", Cakya menjawab lembut, kemudian meraih tangan si kembar bergantian.

Erfly tanpa aba-aba segera menyerbu kepelukan Cakya. Cakya hanya mengusap lembut pucuk kepala Erfly kecil.

Hasan dan Husen memilih untuk duduk tidak jauh dari Cakya.

"Gimana kabar kakek Om...?", Erfly kecil bertanya setelah melepaskan pelukannya.

"Em... Baik", Cakya memilih untuk berbohong kepada Erfly kecil. "Kalian kok bisa disini...?", Cakya bertanya bingung.

"Om g'ak lupa kan kalau kita juga anggota KPA...?", Husen kali ini yang memilih untuk menjawab.

"Saya g'ak nyangka akan ketemu kalian disini", Cakya bicara jujur.

"Kita lagi Om yang heran, kok Om bisa disini. Tadinya Hasan pikir si bungsu hanya halusinasi melihat Om Cakya", Hasan menjelaskan perlahan.

"Om... Hanya ikut mendampingi saja, Yah... Lebih tepatnya mengawal anak pak Jendral Lukman", Cakya memilih untuk menyampaikan alasan sekenanya.

"Om jadi bodiguard sekarang...?", Erfly kecil bertanya antusias.

"G'ak sekeren itu juga, apa ya namanya...? Pak Jendral Lukman itu sudah seperti ayah sendiri untuk Om, jadi... Ya gitu lah", Cakya bingung harus menjelaskan dari mana.

"Gitarnya masih setia aja Om, ikut kemana-mana", Husen lebih tertarik dengan gitar yang ada di pelukan Cakya.

"Kamu bisa main gitar...?", Cakya malah balik bertanya.

"Sedikit", Husen memberikan jawaban beserta isyarat tangan.

Cakya menyerahkan gitarnya ketangan Husen, "Om mau lihat sedikit fersi kamu itu gimana", Cakya bicara pelan.

"Wah... Nantangin nih si om", Husen tertawa renyah.

Husen segera memetik lembut senar gitar. Lantunan melodi lagu miliknya Maudi Ayunda yang berjudul Kamu dan Kenangan.

'Seusai itu senja jadi sendu awan pun mengabu, kepergian mu menyisakan duka dalam hidupku, ku memintal rindu menyesali waktu mengapa dahulu, tak ku ucapkan aku mencintaimu sejuta kali sehari

Walau masih bisa senyum, namun tak selepas dulu, kini aku kesepian

Kamu dan segala kenangan, menyatu dalam waktu yang berjalan, dan aku kini sendirian, menatap dirimu hanya bayangan

Tak ada yang lebih pedih, dari pada kehilangan dirimu, cintaku tak mungkin beralih, sampai mati hanya cinta padamu'.

Husen menghentikan permainan gitarnya, Husen mengerutkan keningnya begitu melihat mata Cakya yang berkaca-kaca.

"Ada apa Om...?", Husen bertanya bingung.

"Em... G'ak", Cakya segera mengalihkan tatapannya, menghapus kasar jejak air matanya.

"Tumben kamu jadi anak metal hari ini, melow total", Hasan memukul pelan pundak kembarannya.

"Hahahaha... Suasananya mendukung, di gunung itu sakralnya mendengarkan lagu-lagu sendu, ya g'ak Om...?", Husen langsung melemparkan pertanyaan kepada Cakya yang tidak siap dengan pertanyaan Husen.

"Ah... Em... Iya", Cakya menjawab terbata-bata, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Dalem banget Om menghayati lagu yang Husen nyanyiin", Husen kembali tertawa renyah.

"Em... Itu... Permainan gitar kamu luar biasa", Cakya membalas sekenanya.

"Hahahaha... Om bisa aja, masih harus banyak belajar Om, masih mahir Om lah dibanding saya", Husen memulai jurus merendahnya.

"Kamu bisa aja", Cakya memaksakan tawanya.

"Om belajar sendiri gitarnya Om...?", Husen memulai wawancaranya.

Cakya hanya mengangguk pelan, "Awalnya hanya iseng, tapi... Makin lama makin jatuh cinta. Ngulik-ngulik sendiri, dulu waktu zaman Om banyak yang jual buku-buku lagu yang langsung ada kuncinya gitu. Sekarang malah lebih gampang lagi kalau mau belajar, udah banyak Vidio-Vidio tutorial di youtube", Cakya menjelaskan panjang lebar.

"Tetap saja Om, kalau g'ak ada gurunya kagok jadinya", Husen bicara lirih.

"Memang nya kamu mau jadi anak band...?", Cakya bertanya asal.

"100 buat om", Husen berteriak kegirangan.

Cakya segera mengerutkan keningnya.

"Kenapa Om...? Ada yang salah dengan Husen punya cita-cita jadi anak band...?", Husen protes dengan reaksi Cakya.

"Aneh aja", Cakya menjawab sekenanya.

"Maksudnya...?", Husen kembali menimpali.

"Anak seorang Jendral besar dan pengusaha sukses punya cita-cita jadi anak band", Cakya bicara pelan.

"Lha... Memangnya ada larangan nya Om, anak seorang Jendral dan pengusaha sukses g'ak boleh jadi musisi...?", Husen kembali bertanya sengit.