Cakya keluar kamar saat jam sudah menunjukkan pukul 10.05 Wib. Cakya segera mandi, karena ada jadwal kuliah jam 10.30 Wib.
Cakya mencari ibunya untuk pamit, saat mendengar bau masakan, Cakya dengan segera menuju arah dapur. Ibu Cakya menghentikan pekerjaannya, saat sadar Cakya ada di belakangnya.
"Abang mau kemana...?", ibu Cakya bertanya pelan.
"Cakya ada kuliah", Cakya menjawab pelan, seperti biasanya.
"Abang g'ak makan dulu...?", ibu Cakya bertanya lagi.
"Nanti saja di kampus, Assalamu'alaikum", Cakya mencium punggung tangan ibunya. Kemudian berlalu pergi dalam menit berikutnya.
Cakya mengendarai motornya dengan perlahan, karena jarak dari rumahnya ke kampus hanya 10 menit, jadi Cakya masih punya cukup waktu.
Seorang perempuan menghampiri Cakya saat Cakya baru saja mematikan mesin motornya. "Cakya...?", wanita itu bertanya berusaha memastikan kalau orang yang ada dihadapannya saat ini orang yang benar.
Cakya tidak menjawab, melainkan hanya mengangguk pelan.
"Aku Sinta, bisa ngomong sebentar...?", wanita yang ada di hadapan Cakya memperkenalkan diri, sekaligus meminta untuk menyita waktu Cakya.
"Saya ada kuliah", Cakya menjawab pelan, sebagai tanda penolakan.
Cakya turun dari motor, kemudian langsung berlalu dari hadapan wanita yang ada di hadapannya. Hampir 2 jam Cakya duduk konsentrasi mengikuti kuliah, hingga dosen akhirnya mengakhiri pertemuan minggu ini.
Satu per satu teman-temannya langsung berlarian keluar kelas. Gama langsung menghampiri Cakya, sebelum Cakya sempat beranjak dari kursinya.
"Tadi... Waktu Gama masuk, Gama melihat ada sekretarisnya Candra...?!", Gama bicara ragu-ragu. Gama tidak cukup yakin dengan apa yang dia lihat.
Cakya tidak merespon, malah langsung beranjak dari kursinya menuju kearah parkiran.
Cakya tidak menyangka, Sinta masih setia duduk dibangku taman kampus. Begitu melihat Cakya keluar dari gerbang, Sinta langsung berlari menghampiri Cakya.
"Aku mau ngomong, bisa minta waktunya sebentar...?", Sinta bicara dengan sangat sopan.
Cakya menoleh kearah Gama yang ada di sampingnya.
Gama menoleh kanan kiri, "Kantin depan saja, sepertinya masih sepi", Gama memberikan saran.
Cakya, Gama dan Sinta melangkah menuju kantin yang dimaksud Gama. Hanya perlu menyeberang jalan untuk sampai ketempat yang mereka tuju.
Setelah duduk, Sinta memanggil pelayan kantin. "Mau pesan apa...?", Sinta menawarkan.
"Saya g'ak punya banyak waktu", Cakya bicara dingin, mukanya terlihat datar tanpa ekspresi seperti biasanya.
Sinta dengan sopan meminta pelayan untuk pergi.
Sinta meletakkan kedua tangannya ke atas meja dengan lembut, sebelum memulai pembicaraan.
"Sinta kesini karena Candra...", Sinta mulai jujur.
Cakya tidak mengeluarkan sepatah katapun, malah menyilangkan kedua lengannya di dada.
"Candra pernah salah memilih teman semasa muda. Dan... Dia... Juga sudah membayar atas semua kesalahannya di penjara", Sinta bicara kata perkata dengan sangat hati-hati.
Cakya tetap diam membisu, tak bergeming sedikitpun.
"Selama ini, Candra sudah cukup menderita untuk membayar semua kesalahannya dimasalalu.
Anak sekecil itu sudah harus menerima beban yang begitu besar. Mengurus perusahaan sepeninggalan ayahnya. Mengambil tanggung jawab atas perempuan yang dihamili oleh kakaknya.
Bahkan... Anak sekecil itu dipaksa harus menanggung beban diluar batas kemampuannya sendiri.
Selama ini dia tidak pernah sekalipun mengeluh atau bahkan putus asa.
Candra... Orang yang bertanggung jawab, dia banyak belajar dari kesalahannya. Candra juga sudah saya anggap seperti adik sendiri.
Saya yang tahu jatuh bangunnya Candra, karena hanya saya satu-satunya orang yang berada disampingnya Candra selama ini.
Candra berjuang keras untuk hidupnya sendirian, bahkan orang tuanya lepas tangan sejak Candra masuk penjara.
Selama ini... Candra demikian kuat. Sampai dia mengenal Wulan, Candra menemukan sosok perempuan yang dia cari pada Wulan.
Keibuan, ringan tangan, bahkan rajin ibadah. Candra sudah jatuh cinta, sejak pertama kali melihat Wulan saat terjadi kebakaran wisma pegawai di Jambi.
Wulan sendirian berlari kesana kemari membantu para korban. Candra... Sama sekali tidak tahu kalau Wulan adiknya Cakya, saksi dari kasusnya kemarin", Sinta menjelaskan panjang lebar.
Sinta merubah posisi duduknya agar lebih nyaman, kemudian menarik nafas panjang untuk mengisi pasokan oksigen ke otaknya.
"Candra sama sekali tidak tahu menahu dengan penyerangan yang dilakukan ayahnya. Semua itu... Murni bentuk kasih sayang seorang ayah kepada putranya.
Bahkan... Candra dengan ikhlas menjalani hukuman penjara, tanpa mengeluh sedikitpun, walaupun dia tahu... Itu tidak adil untuknya. Candra... Harus menerima hukuman atas perbuatan ayahnya", Sinta kembali menambahkan.
"Lalu...? Anda harap saya merelakan adik kesayangan saya begitu saja...?", Cakya bertanya dingin, mukanya datar tanpa ekspresi sedikitpun.
"Saya tidak berani sejauh itu", Sinta tersenyum canggung.
Cakya mengerutkan keningnya karena tidak mengerti dengan apa yang di inginkan Sinta sebenarnya.
"Saya hanya berharap, Cakya membuka diri untuk lebih mengenal Candra dari sisi yang lain.
Untuk restu dan lainnya, saya tidak punya hak untuk mencampuri keputusan mutlak Cakya dan keluarga", Sinta menjelaskan tujuan dia mengajak Cakya bertemu hari ini.
Sinta menatap lekat wajah Cakya, menunggu Cakya untuk merespon ucapannya. Setelah menunggu beberapa menit, tidak ada satupun suara yang keluar, baik dari mulut Sinta ataupun Cakya dan Gama.
"Kalau anda sudah selesai, saya permisi", Cakya langsung angkat bicara, menyelesaikan pertemuannya dengan Sinta.
Sinta mengulurkan tangan kanannya kehadapan Cakya, "Terima kasih, telah bersedia membiarkan saya menyita waktu berharganya", Sinta bicara lembut.
Cakya menjabat tangan Sinta, kemudian detik berikutnya langsung berlalu pergi meninggalkan Sinta sendirian.
Gama mengekor dibelakang Cakya. Saat Cakya sudah menaiki motornya, Gama berusaha menahan Cakya karena penasaran.
"Ada apa sebenarnya...?", Gama bertanya bingung.
"Om bawa motor...?", Cakya bertanya pelan.
Gama menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Naik", Cakya memberi perintah.
Gama hanya patuh mengikuti perintah Cakya. Motor Cakya melaju perlahan menyusuri jalan menuju rumah Gama.
Cakya turun setelah memarkirkan motornya, kemudian merebahkan tubuhnya diatas kursi yang ada di teras rumah Gama.
"Mau minum apa...?", Gama bertanya pelan.
"Gado-gado Mak Inah sekalian Om", Cakya bicara pelan.
"Kamu belum makan...?", Gama bertanya bingung, Cakya tidak pernah bercanda dengan ucapannya.
Cakya hanya menggeleng pelan.
"Mau Om beliin nasi aja sekalian...?", Gama kembali menawarkan.
"Apa aja", Cakya menjawab asal, kemudian menyadarkan punggungnya ke punggung kursi. Mulai menghisap rokok yang baru saja dibakarnya.
Gama tidak berani bertanya lagi, saat melihat wajah kasut Cakya. Gama memutuskan untuk pergi secepat kilat menuju warung nasi, membelikan makanan untuk makan siang Cakya.
Setelah memesan makanan, Gama memutuskan untuk menelfon Erfly.
"Assalamu'alaikum bang...", terdengar suara Erfly menyahut dari ujung lain telfon.
"Wa'alaikumsalam, bagaimana keadaan kamu dek...?", Gama bertanya pelan.
"Alhamdulillah baik bang, ada apa...?", Erfly balik bertanya, karena mendengar suara Gama yang tidak seperti biasanya.
"Sepertinya... Cakya lagi ada masalah dek", Gama bicara diluar dugaan Erfly.
Tidak ada jawaban dari ujung lain telfon.