webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Kamu siapa...?

Malaikat kecil berlari kecil menghampiri Candra yang masih berbaring di sofa. Karena Candra tidak merespon, malaikat kecil malah menaiki sofa, dan duduk di dada Candra. Karena kaget, Candra terbangun dari tidurnya, tersenyum menatap malaikat kecilnya.

"Malika... Kok malah ganggu papinya. Kasian papinya lagi tidur itu", Tasya berusaha meraih Malika untuk turun dari dada Candra.

Candra perlahan bangun, dengan tetap menjaga malaikat kecil agar tidak jatuh. "G'ak apa-apa kak", Candra bicara disela senyumnya. "Udah mandi si cantik...?", Candra bicara pelan, kemudian mengecup pelan pipi malaikat kecil. Tercium aroma khas minyak telon langsung menusuk hidung Candra.

"Candra... Sarapan dulu, mbak udah masak nih", Sinta berteriak dari arah dapur.

"Iya mbak", Candra melangkah menuju meja makan dengan menggendong malaikat kecil dilengan tangan kanannya.

Tidak ada suara yang keluar saat makan. Semua fokus menghabiskan sarapannya masing-masing. Setelah makan Candra bermain dengan Malika di ruang tengah, Sinta memilih mengurung diri di kamar menyelesaikan laporan, sedangkan Tasya sibuk membereskan perabotan kotor untuk sarapan.

Selang dua jam kemudian, malaikat kecil kelelahan dan tidur memeluk paha Candra, bahkan kepalanyapun berada diatas paha Candra. Tasya menghampiri Candra dari arah ruang cuci.

"Ya ampun ini anak...! Malah tidur disini...", Tasya bermaksud ingin membangunkan Malika, agar pindah ke dalam kamar.

"G'ak apa-apa kak. Kasian kalau dibangunkan", Candra menahan gerakan Tasya.

Tasya memilih untuk duduk dengan membuat sedikit jarak dengan Candra. "Kamu g'ak harus kayak gini Can...! Aku g'ak enak sama kamunya", Tasya bicara lirih.

"Kakak g'ak mikir buat nikah gitu...? Kasian Malaikat kecil, dia juga butuh sosok ayah kak", Candra berusaha memberanikan diri untuk angkat bicara.

"Siapa yang mau sama aku...? Hamil diluar nikah, terus... Ada Malika sekarang", Tasya bicara lirih, dia mengusap pelan pucuk kepala Malika. Malaikat kecil yang telah berhasil menghiasi hari-harinya.

"Maaf kak", Candra bicara pelan, kepalanya tertunduk, tidak berani menatap wajah Tasya.

"Bukan salah kamu Candra...", Tasya kembali mengingatkan Candra.

"Walau bagaimanapun, tetap saja Dirga itu kakak Candra", Candra tersenyum pahit. Mengingat kelakuan kakaknya yang tidak bertanggung jawab.

"Kamu g'ak perlu lagi Can, membiayai hidup kita. Kamu juga g'ak punya kewajiban untuk terus-terusan menjaga kita. Kamu g'ak perlu merasa bersalah, atas kesalahan yang tidak pernah kamu perbuat", Tasya mengingatkan Candra kembali.

"Biar bagaimanapun malaikat kecil tetap keponakan Candra kak. Candra bertanggung jawab atas kehidupan, dan masa depannya Malika", Candra bicara pelan, dan memberikan penekanan pada setiap kata-kata yang dia ucapkan. Candra menatap lembut wajah malaikat kecil, membelai perlahan rambut halus malaikat kecil.

***

Erfly duduk melamun diteras rumahnya. Pikirannya satu persatu kembali memutar kenangannya bersama Cakya. 'Kenapa malah manusia yang satu itu muncul lagi...? Apa lagi rencana Mu Rabb...?', Erfly berkelahi dengan batinnya.

"Erfly...?", Nadhira memberanikan diri memegang pundak Erfly, menarik paksa Erfly dari lamunannya.

"Sudah berapa kali dibilang, jangan panggil nama itu lagi teh", Erfly menatap dingin.

"Ma... Maaf...", Nadhira tertunduk, tidak berani menatap wajah Erfly.

"Teteh mau ngomong apa...?", Erfly kembali bertanya. Berusaha keras kembali mengontrol emosinya.

"Sesuai perintah, saya sudah membeli semua saham yang ada atas nama ayah Elang", Nadhira bicara pelan.

"Terus...?!", Erfly kembali bertanya, tidak mungkin Nadhira berani mendatanginya, kalau tidak ada masalah yang mendesak.

"Em... Untuk pembatalan kerjasama, seperti yang sudah dijelaskan. Kita akan terkena biaya penalti", Nadhira bicara dengan nada paling rendah.

"Berapa...?", Erfly bertanya dingin.

"Pengembalian sesuai jumlah kontrak, plus biaya kerugian 10% dari nilai kontrak", kali ini pak Edy yang angkat bicara.

"Jumlah total", Erfly kembali memberi penekanan pada nada suaranya, dia tidak perduli dengan kontrak atau malah denda. Yang Erfly pedulikan, hanya lepas dari bayang-bayang Elang dan keluarganya.

"Du... Dua miliar...", Nadhira menjawab terbata-bata.

Erfly diam sejenak, kemudian memutar otaknya. Ini resiko atas keputusannya, dan Erfly tidak ingin mengambil sepeserpun uang dari perusahaan. Sedangkan didalam tabungannya sendiri tidak akan ada uang sejumlah itu.

"Kita diberi waktu berapa lama...?", Erfly akhirnya angkat bicara.

"3 hari, terhitung dari kita membatalkan kontrak. Jadi... Lusa kita harus sudah membayar biaya penalti", Nadhira bicara pelan.

Erfly mencubit pelan bibirnya. Otaknya masih memutar mencari solusi paling cepat. Erfly langsung menghubungi salah satu nomor di HPnya.

"Assalamu'alaikum...", terdengar suara lelaki dari ujung telfon sebrang.

"Wa'alaikumsalam, apa kabarnya Mang...?", Erfly bicara pelan.

"Alhamdulillah sehat, tumben teteh telfon, ada yang bisa Mamang bantu...?", suara diujung lain telfon kembali bertanya.

"Erfly mau minta tolong Mang", Erfly bicara lirih.

"Sok atuh, silakan", suara diujung telfon bicara santun. (Iya, silahkan)

"Orang yang lusa kemarin nawar Vila, masih nunggu atau sudah dapat yang lain Mang...?", Erfly bertanya ragu.

"Masih teh. Malah tadi pagi dia dari sini. Katanya dia serius mau ngambil Vilanya teteh", suara lelaki diujung telfon menjawab apa adanya.

"Erfly minta tolong Mang, kasih kabar ke yang mau beli. Erfly mau lepas Vilanya. Besok Erfly kesana", Erfly bicara pelan.

"Atuh, teteh beneran ini...? Ntek sayang kituh...?", lelaki diujung telfon menyayangkan keputusan Erfly. (Aduh, kakak benar ini...? Tidak sayang begitu...?)

"InsyAllah nanti ada gantinya Mang", Erfly menjawab santai.

***

Cakya duduk melamun ditepi pantai. Menatap kosong ke tengah laut. Gama menepuk pelan pundak Cakya. "Kenapa...? Om perhatiin, kamu sering ngelamun sekarang...?", Gama bertanya pelan, kemudian duduk disamping Cakya, menghisap rokoknya.

Karena sudah sore, mereka bisa santai setelah pulang dari pabrik dodol. Hanya tinggal membuat laporan saja, sebelum lusa mereka harus kembali pulang ke Sungai Penuh.

"Cakya... Hanya bingung Om", Cakya bicara jujur.

"Bingung...? Kenapa...?", Gama bertanya heran.

"Gadis kemarin itu...", Cakya tidak melanjutkan ucapannya. Karena dia sendiripun tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.

"ILEN...?", Gama hampir salah menyebutkan nama didepan Cakya.

HP Gama berbunyi, sebelum Cakya melanjutkan ucapannya. Setelah mengangkat telfon, Gama diam sejenak, kemudian kembali menutup hubungan telfon. Kemudian memasukkan HPnya lagi kedalam saku celananya.

"Kamu di cariin anak-anak. Katanya mereka mau jalan-jalan cari oleh-oleh", Cakya bicara pelan, kemudian beranjak dari posisi duduknya semula.

Cakya tetap bertahan dengan posisinya semula, "Om aja. Cakya capek, mau istirahat di vila aja", Cakya bicara pelan.

Gama hanya menepuk pelan pundak Cakya, memberikan semangat kepada keponakannya.

Setelah Gama pergi, Cakya memutuskan untuk kembali ke vila. Akan tetapi Gama melihat Erfly yang hilang keseimbangan, karena tersandung batu. Cakya sigap berlari, menangkap tubuh Erfly.

"Astagfirullah...", Erfly merasa lega, ada yang menangkap tubuhnya, sehingga kepalanya terhindar dari membentur batu besar.

"Cakya...", Erfly kaget begitu melihat wajah malaikat penolongnya.

Cakya tidak bersuara, hanya menatap lekat wajah Erfly. 'Kenapa wajah ini tidak asing bagiku...? Tapi... Dimana...? Dan... Kapan kami pernah bertemu...?', Cakya bertanya kepada dirinya sendiri.

Erfly menjentikkan tangannya tepat dimuka Cakya, sehingga membuyarkan lamunannya.

"Ah...", Cakya bicara kaget. Lalu melepaskan genggamannya dari lengan Erfly.

"Terima kasih...", Erfly bicara pelan, melemparkan senyuman terbaiknya.

Cakya tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Erfly kembali melanjutkan langkahnya, mendekati bibir pantai. Menatap matahari terbenam, rutunitasnya setiap hari selama 2 tahun terakhir.

Cakya malah mengikuti Erfly, duduk tepat disamping Erfly. "Kamu siapa...?", Cakya bertanya dengan tatapan penuh tanya kepada Erfly.

"Maksudnya...?", Erfly bicara bingung, tidak mengerti kemana arah pembicaraan Cakya.

"Mengapa Cakya rasa pernah bertemu kamu sebelumnya...? Mengapa Cakya merasa ada perasaan tidak rela saat mendengar kamu tunangan orang lain...? Mengapa Cakya merasa begitu sedih saat melihat kamu...? Kamu siapa...?", Cakya mulai meracau panjang lebar.

"Aku...? ILEN", Erfly mengulurkan tangan kanannya, berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan Cakya.

Cakya menyambut tangan Erfly, dia tidak menyebutkan namanya, malah menggenggam jemari tangan kanan Erfly dengan kedua telapak tangannya yang panjang. Sehingga menenggelamkan tangan Erfly yang mungil.

Erfly berusaha dengan keras menahan air matanya agar tidak menetes.

Cakya meletakkan telapak tangan Erfly kepipi kirinya, memejamkan matanya. Berusaha keras mengingat siapa gadis yang ada dihadapannya saat ini. Memanggil dengan paksa semua ingatannya yang telah hilang.